Cyber Diplomacy: Menjaga Negara via Dunia Maya

Oleh Prof. Dr. Kamaluddin, M.Pd*

Selasa, 19 September 2023 – 08:28 WIB
Prof. Dr. Kamaluddin, M.Pd. Foto: dokumentasi pribadi

jpnn.com - Perang antara Rusia versus Ukraina -dengan dukungan NATO- sudah berlangsung satu tahun lebih. Hingga kini, belum ada tanda-tanda konfrontasi yang dimulai pada 20 Februari 2022 itu akan mereda dalam waktu dekat, bahkan kedua belah pihak terus melancarkan serangan untuk saling mengalahkan.

Indonesia sebagai kekuatan penting di barisan Kerja Sama Selatan-Selatan sejak awal telah menunjukkan sikapnya atas situasi tersebut.

BACA JUGA: Inilah Sistem Demokrasi Indonesia

Saat perang Rusia vs Ukraina masih di awal konflik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi Moscow dan Kiev untuk menyampaikan pesan perdamaian.

Lawatan Presiden Jokowi ke kedua negara yang sedang berperang itu tentu saja penuh risiko. Itu juga tercatat sebagai kunjungan pertama pemimpin dunia ke war zone tersebut.

BACA JUGA: Satrio Piningit

Tidak jelas benar pihak mana yang berhasil menekan musuh sampai hari ini. Satu yang pasti, kedua negara menggunakan internet dan social media atau medsos sebagai media propaganda untuk mengeklaim “kemenangan” masing-masing.

Rusia yang mendapat sanksi berlipat dari Barat, memanfaatkan plalform medsosnya, Telegram, untuk menyebarkan berbagai video tentang gerak maju pasukannya menghancurkan kota-kota di Ukraina.

BACA JUGA: Langkah Berani BI Jaga Ekonomi Indonesia dari Efek Perang Rusia Vs Ukraina

Tidak hanya itu, Moscow juga “menyewa” para “juru bicara” di banyak negara guna mengamplifikasi kepentingan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan menggunakan bahasa lokal.

Di Indonesia, propaganda Kremlin terasa setidaknya melalui sejumlah akun di X (Twitter) yang setiap hari mengunggah potongan video dari garis depan.

Ketika bos tentara bayaran Wagner Group Yevgeny Prigozhin mengalami kecelakaan pesawat, akun-akun tersebut -di semua negara- sibuk melakukan “klarifikasi” bahwa Putin tidak terlibat. Selebihnya mereka menyalahkan Prigozhin yang dianggap sebagai pengkhianat negara.

Rusia melakukan penetrasi besar-besaran di medsos karena tidak mendapatkan akses di media mainstream yang dikendalikan AS dan sekutunya.

Hal itu berkebalikan dengan Ukraina yang dengan dukungan Barat menggunakan media-media mainstream, seperti CNN, BBC, Fox News, Euronews, dan sejenisnya, untuk mengimbangi propaganda Rusia di medsos.

Media-media tersebut berkali-kali memberitakan mobilisasi alutsista canggih buatan Barat untuk membantu Ukraina. Sesekali mereka meng-capture keberhasilan pasukan Ukraina dengan dukungan NATO merebut kembali beberapa kota di Ukraina dari pendudukan Rusia.

Apa yang bisa kita pelajari dari perang tersebut?

Perang modern tidak hanya menggunakan tank, rudal, dan roket pihak yang berperang, tetapi juga melibatkan cyber army di dunia maya. Penggunaan cyber army itu untuk kepentingan pembentukan opini skala global yang di-drive melalui internet dan media sosial.

Cyber diplomacy atau juga biasa disebut sebagai digital diplomacy merupakan strategi diplomasi baru yang mulai dikenal sejak 2000-an. Keberadaan internet sebagai “teknologi canggih” memaksa negara-negara besar memodifikasi strategi diplomasinya agar relevan dengan perkembangan zaman.

Definisi & Teori
Ada sejumlah definisi mengenai pendekatan baru tersebut. Misalnya, Fergus Hanson menyebutnya sebagai “the use of the Internet and new information communication technologies to help achieve diplomatic objectives”.

Adapun The UK Foreign and Commonwealth Office menerjemahkan diplomasi siber sebagai “solving foreign policy problems using the internet”.

Secara umum, digital diplomacy -sebagaimana ditulis Wilson Dizard- memiliki tiga peran. Pertama, peran digital diplomacy ialah memunculkan isu-isu tentang kebijakan luar negeri yang melibatkan sumber informasi dan komunikasi yang menggunakan teknologi canggih.

Kedua, berbagai perubahan dalam pengaturan sumber informasi di lingkungan kementrian luar negeri dan biro-biro terkait kebijakan luar negeri lainnya. Ketiga, lonjakan perananan diplomasi publik khususnya yang menggunakan teknologi digital dalam memengaruhi opini publik.

Dari tiga peran tersebut, sangat jelas perbedaannya dengan pendekatan diplomasi lama yang bertumpu pada negara (state oriented). Maka tidak mengherankan, bertolak dari tiga peran di atas, Kementerian Luar Negeri Kanada menyebut “barang ini” sebagai “Calls it Open Policy”.

Amerika Serikat (AS) sejak 2002 telah membentuk desk khusus yang dikenal sebagai e-Diplomacy. Sejak itu, pembangunan opini melalui internet dan televisi untuk mendukung misi luar negeri Paman Sam tersebut berlangsung secara masif.

Sebagai contohnya ialah saat muncul sentimen negatif atas serangan AS ke Irak dan Afghanistan pada awal 2000-an. Serangan yang awalnya dikecam dunia itu perlahan-lahan bisa dinetralkan.

Di sini penulis tidak setuju dengan serangan tersebut. Namun, fakta menunjukkan bahwa terjadi operasi opini untuk memperbaiki citra AS melalui media televisi dan internet.

Secara teknis, saat itu AS menyusun propaganda terstruktur dan rapi melalui CNN, VoA maupun internet. Walhasil publik dunia terpengaruh untuk menganggap serangan AS ke kawasan tersebut untuk memerangi terorisme, membasmi senjata pemusnah massal, dan menyuburkan demokrasi.

Belakangan kita tahu bahwa sebagian propaganda tersebut ternyata bohong. Dalam masalah Irak, tidak pernah ada senjata pemusnah massal yang ditemukan, meski hal itu menjadi alasan serangan.

Indonesia juga menghadapi serangan cyber diplomacy pada kasus yang dikenal sebagai Bali Nine pada 2005. Bali Nine adalah komplotan penyelundup narkoba yang semua anggotanya warga negara Australia.

Dua anggota Bali Nine yang dijatuhi hukuman mati -Andrew Chan dan Myuran Sukumaran- telah dieksekusi pada 2015. Setelah keduanya dieksekusi, Australia melancarkan diplomasi digital untuk menyelamatkan warganya yang terlibat Bali Nine.

Setelah lobi resmi gagal, Canberra akhirnya menggunakan diplomasi elektronik melalui media. Langkah yang dilakukan, antara lain, pemerintah dan warga Australia mengancam memboikot pariwisata di Bali jika eksekusi mati tetap dilakukan.

Menlu Australia saat itu, Julia Bishop, dan Senator Independen Jacqui Lambiea mengancam akan memberhentikan bantuan internasional kepada Indonesia jika Renae Lawrence tetap dieksekusi mati.

Hasilnya? Hukuman mati untuk Lawrence dibatalkan oleh pengadilan. Vonisnya diringankan menjadi penjara hingga 2026.

Pada 2018, Lawrence menghirup udara bebas lebih cepat setelah mendapatkan pemotongan masa hukuman. Sulit untuk tidak mengatakan Lawrence juga dibantu oleh cyber diplomacy yang terus menekan Indonesia.

Melawan Penyesatan
Ada dua isu strategis terkait hal tersebut. Pertama ialah melawan penetrasi opini Papua Merdeka yang disiapkan oleh gerakan separatis di luar negeri.

Dalam hal ini, pihak Barat bersikap ambigu dengan memberi perlindungan kepada para aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) baik di Eropa maupun Australia. Namun, kita tak cukup hanya memaki saja tanpa melakukan pengimbangan opini yang signifikan.

Pada masalah OPM yang gerakan politiknya direpresentasikan oleh The United Liberation Movement For West Papua (ULMWP), mereka bahkan beberapa kali hadir sebagai peninjau di forum PBB.

Terbaru, aksi Benny Wenda cs. di The Melanesian Spearhead Group (MSG) Summit di Port Villa, Vanuatu 23 Agustus 2023 lalu memaksa delegasi Indonesia walk out dari ruang pertemuan.

Meski MSG secara resmi tidak mendukung OPM memisahkan diri dari Indonesia, tetapi sejumlah negara anggotanya mendukung gerakan tersebut secara terbuka maupun tertutup. Vanuatu merupakan salah satu negara yang secara terang-terangan menyerang Jakarta.

MSG juga berhasil meloloskan tuntutan ke Komisi HAM PBB untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM di Papua. Tentu saja opini ini harus dilawan secara sistematis, karena bila tidak, akan memicu internasionalisasi isu Papua.

Dalam hal ini, netizen Indonesia yang dikenal solid (meski terkadang tidak sopan) harus dioptimalkan menjadi cyber army yang kuat untuk mewarnai opini global.

Caranya bisa dengan mendekatkan Kemlu ke komunitas digital Indonesia, lalu memasok data dan fakta pembangunan di provinsi-provinsi Papua, termasuk mengounter isu pelanggaran HAM yang dituduhkan ULMWP.

Selanjutnya, netizen akan menggunakan data tersebut sebagai “amunisi” untuk membalik opini atau klaim ULMWP bahwa Indonesia hadir dan berperan dalam pembangunan di Papua.

?Kedua, meski sejumlah sel teroris -terutama setelah serangan bom Thamrin 2016- telah dilumpuhkan,  mereka tidak benar-benar hilang. Internet menjadi media untuk merekrut pengikut baru, termasuk penggalangan dana dari internasional.

Oleh karena itu, Kemlu dan pemerintah perlu masuk lebih dalam ke dunia maya guna mengidentifikasi berbagai perkembangan di sana. Data Kementerian Kominfo menunjukkan selama 2018 terdapat 10.499 konten yang mengandung radikalisme dan terorisme.

Tak berhenti di situ, pemerintah  dalam hal ini BNPT- perlu menggencarkan literasi agar anak-anak muda tidak mudah menjadi korban propaganda para teroris.

Dari semua narasi di atas, kita sampai pada satu kesimpulan bahwa cyber diplomacy saat ini bukan hanya perlu. Lebih dari itu, pendekatan baru ini akan menjadi instrumen utama dalam hubungan internasional di masa depan.

Oleh karena itu, potensi yang kita miliki hari ini harus dimaksimalkan, sehingga menjadi deterrent effect bagi negara lain. Efek yang menggetarkan bagi negara tetangga, kawasan dan dunia.(***)

*Penulis adalah Guest Lecturer Australia International Institute of Workplace Training Perth, Australia

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sandingkan & Bandingkan


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler