jpnn.com - Kondisi dan situasi dunia sedang dalam ketidakpastian. Konflik bersenjata Rusia Vs Ukraina yang dimulai pada 24 Februari 2022 telah berefek pada perekonomian dunia.
Situasi akibat perang di Ukraina yang diikuti sanksi ekonomi dan embargo terhadap Rusia memberikan dampak atas pasokan pangan dan energi dunia. Kondisi itu langsung berimbas pada kenaikan harga yang menyebabkan inflasi melonjak.
BACA JUGA: Ulas Rusia Vs Ukraina, Pak SBY Khawatir soal Perang Nuklir
Pergerakan risiko dan efek dari konflik Rusia dengan Ukraina memang bersifat sangat individual bagi masing-masing negara. Namun, golongan ‘advanced country’ seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, Inggris, Kanada, Prancis, Itali, dan beberapa negara maju mengalami cost push inflation dengan inflasi yang sangat tinggi pada perekonomian mereka.
Kondisi itu menggerus daya beli konsumen, padahal gaji di pasar tenaga kerja belum mengalami kenaikan. Akibatnya, inflasi memukul kinerja ekonomi ‘developed countries’ karena pada saat sama bank sentral masing-masing negara maju tersebut menaikkan tingkat bunga acuan, sedangkan surat utang negara juga mengalami kenaikan.
BACA JUGA: Sri Mulyani Merasakan Tanda Kuat Pelemahan Ekonomi Global
Inflasi melemahkan kinerja ekonomi makro advanced country secara sangat signifikan. Sebagai contoh ialah Itali yang harus mengeluarkan surat utang dengan tingkat bunga pada kisaran 3-4 persen. Tingkat bunga itu sangat tinggi untuk ukuran advanced country di Eropa Barat.
Di AS, inflasi sudah melewati level 9 persen, sebuah angka yang belum pernah terjadi sejak Perang Dunia II. Pertumbuhan ekonomi AS yang sempat di kisaran 3 persen, sekarang kembali ke posisi nol koma sekian.
BACA JUGA: Misbakhun: Banyaknya Produk Jasa Keuangan Tak Diimbangi dengan Literasi
Indonesia pun tak luput dari efek itu. Namun, sejauh ini situasi ekonomi makro kita masih terkendali.
Terdapat bauran kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang terkoordinasi sebagai respons antisipatif atas situasi ekonomi global yang sedang berlangsung. Tentu saja antisipasi dan respons yang sedang dijalankan atas situasi itu telah memperhitungkan berbagai risiko.
Jauh-jauh hari Menteri Keuangan dan Bank Indonesia (BI) menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang skema burden sharing yang memungkinkan dukungan pembiayaan melalui Surat Berharga Negara (SBN). BI menindaklanjuti SKB itu dengan membeli SBN di pasar perdana.
Sinergi pemerintah dengan BI itu menjadikan ruang fiskal dalam pembiayaan APBN lebih leluasa, termasuk untuk mengatasi defisit ketika pemerintah memilih tetap memberikan subsidi yang besar pada saat harga bahan bakar minyak (BBM) dunia jauh di atas asumsi makro APBN 2022. Pilihan subsidi pada BBM menghasilkan respons positif karena inflasi -baik di administered price inflation maupun volatile food inflation- tetap terkendali.
BI juga tetap mempertahankan 7 days repo rate pada posisi 3,5 persen yang membuat likuiditas tetap terjaga. Hal itu mampu memberikan daya dukung kepada pemulihan ekonomi yang secara perlahan-lahan mulai dirasakan di masyarakat dunia usaha.
Likuiditas yang tersedia di pasar ini begitu penting dan menjadi salah satu bentuk dukungan kebijakan yang sangat akomodatif bagi ekonomi riil di semua sektor usaha, baik yang berskala mikro, kecil, sedang, bahkan sampai besar. Likuiditas merupakan aliran darah segar bagi dunia usaha.
Oleh karena itu, respons BI mempertahankan 7 days repo rate merupakan langkah sangat tepat, sembari menunggu seberapa kuat dampak dan pengaruh bauran kebijakan fiskal dari subsidi yang besar di APBN untuk sektor energi dan BBM terhadap kondisi ekonomi riil di masyarakat. Jika dampak-dampak itu bisa diukur secara tepat, respons berikutnya ialah bauran kebijakan moneter yang akan melengkapi kebijakan fiskal.
Dengan demikian, tidak ada tumpang tindih kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal yang akan memperoleh respons negatif dari pasar yang kebingungan. Strategi saling melengkapi yang terbentuk dari sinergi BI dan pemerintah itu sangat terasa efektivitasnya untuk situasi sekarang.
Dus, kurang tepat bila kemudian ada yang mengatakan setiap kenaikan The Fed Funds Rate harus diikuti dengan kenaikan 7 days repo rate BI. Harus dicatat bahwa dampak situasi ekonomi global sangat ini berbeda pada setiap negara, sehingga respons dan kebijakannya juga tak bisa disamakan.
Indonesia masih diuntungkan dari kenaikan harga komoditas batu bara, mineral, crude palm oil (CPO) dan hasil perkebunan lainnya. Resource-based economy Indonesia ini tidak dimiliki oleh negara lain.
Hal itu bisa dilihat pada Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang memperkuat cadangan devisa dan likuiditas dalam negeri. Penerimaan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan dari pajak (PPh korporasi dan PPN) juga memberikan penguatan pada kinerja ekonomi makro.
BI telah melakukan langkah berani dengan risiko yang terukur sehingga supply side memberikan daya dukung yang seimbang pada demand side. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang terkonsolidasi dengan baik membuat fundamental ekonomi makro maupun daya beli masyarakat terjaga.
Menjaga daya beli masyarakat merupakan langkah penting karena konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi. Baru di era saat ini saya melihat sebuah kombinasi kebijakan yang sangat bagus dari 2 arah, yaitu moneter dan fiskal. (**)
*Penulis adalah anggota Komisi XI DPR yang membidangi keuangan
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi