"Dagangan Pengungsi" Ala Ban Ki-moon dan Recep Tayyip Erdogan

Kartu Truf Turki Menuju Uni Eropa

Selasa, 24 Mei 2016 – 12:05 WIB
Sekjen PBB Ban Ki-moon (kanan) dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kiri) dalam ajang World Humanitarian Summit (WHS) di Hotel Hilton Istanbul, Turki. FOTO: AFP

jpnn.com - Jutaan pengungsi tengah membanjiri Eropa. Gara-garanya terjadi krisis di Timur Tengah dan Afrika Utara. Siapa yang akan memenangkan ke­pentingan? Berikut catatan Direktur Utama Jawa Pos Group SUHENDRO BOROMA dari ajang World Humanitarian Summit di Istanbul, Turki. 

---

BACA JUGA: Saat Umat Muslim Salat Jumat, Warga Hindu Tutup Warung

ISTANBUL sedang bergairah. Dingin pada Senin pagi (23/5) justru membuat ribuan orang bergegas ke Istanbul Convention Center (ICC). Antrean mengular, melewati penjagaan dan pemeriksaan ketat menuju venue pembukaan World Humanitarian Summit (WHS) di Hotel Hilton Istanbul 

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Sekjen PBB Ban Ki-moon menjadi "tuan rumah". Keduanya semringah. Menyambut Kanselir Jerman Angela Merkel dan puluhan kepala negara/kepala pemerintahan dengan sukacita. Antusias mempersilakan ribuan delegasi dari ratusan negara, lembaga-lembaga kemanusiaan, swasta, LSM, dan tokoh masyarakat semua usia yang mengikuti pertemuan tingkat tinggi tersebut.

BACA JUGA: Jelang Eksekusi Mati, Nusakambangan Rawan Rusuh, Begini Cara Meredam

Tujuh puluh tahun berdiri, itulah kali pertama PBB menggelar hajatan bertajuk World Humanitarian Summit. Para diplomat di Istanbul menuturkan, itulah summit yang tidak melalui pembicaraan dan kesepakatan antarkepala negara/kepala pemerintahan anggota PBB. Langsung diluncurkan oleh Sekretariat Jenderal PBB, disambut Presiden Turki Recep Tayyip Erdo­gan, dan didukung negara-negara Eropa. 

Mungkin ganjil. Tapi, bisa jadi sangat urgen. Krisis di Iraq, Syria, Yaman, Palestina, Nigeria, Afghanistan, dan Lebanon yang berkepanjangan telah menimbulkan efek berantai di Eropa serta Amerika Serikat. Jutaan pengungsi dan pencari suaka kini hilir mudik di depan rumah mereka. Dengan segala risiko: tambahan beban hidup, juga berpindahnya medan perang -ancaman bom kepada penduduk sipil. Di rumah sendiri.

BACA JUGA: Ganasnya Nusakambangan, Anak Sipir Meninggal 10 Hari sebelum Nikah

Dunia sudah punya kekayaan pengalaman panjang mengatasi berbagai konflik dan akibatnya bagi manusia. Tetapi, migrasi beruntun dan bergelombang ke Eropa baru kali pertama terjadi sejak Perang Dunia II. Sebuah masalah dan beban baru setelah masa penjajahan berakhir pada pertengahan abad ke-20.

Pada 2006, konflik politik di berbagai belahan dunia telah menyeret 278 juta orang dalam pusaran masalah. Pada 2015 naik menjadi 409 juta orang. Data PBB menyebutkan, mereka yang terusir gara-gara berbagai konflik itu sebanyak 37 juta orang pada 2005, lalu menjadi 60 juta orang pada 2014.

Belakangan dunia makin lekat dengan konflik senjata. Parahnya, 70 persen korbannya warga sipil dan 90 persen konfik itu berkecamuk di wilayah sipil. 

Turunan masalah tersebut mengalir hingga Eropa dan Amerika. Bukan cuma di meja perundingan dan gudang bantuan logistik. Tetapi juga menghadirkan masalah baru: manusia perahu, pengungsi, dan pencari suaka.

Hingga pertengahan 2016, sebanyak 60 juta orang terusir dari tempat tinggal masing-masing. Mereka yang kehilangan tempat tinggal mencapai 38 juta orang, yang mengungsi 20 juta orang, dan yang sedang mencari suaka 2 juta orang.

Negara-negara Eropa paling dibuat repot dengan krisis itu. Puluhan juta orang sudah masuk ke Eropa dan jutaan lagi antre masuk. Soal-soal mudah hingga pelik silih berganti muncul. Tanpa kepastian. Timbangan antara kemanusiaan, keamanan, keselamatan, masa depan, hingga masalah yang bernuansa suku, agama, ras, dan hak bekerja belum mendapat solusi permanen.

Turki punya "kartu kunci" untuk urusan itu. Lebih dari 10 juta pengungsi kini sedang berada di Turki. Eropa sedang berharap kebaikan dan ketegasan Turki: agar tidak membuka pintu perbatasan. Sekali longgar saja, jutaan pengungsi itu akan mengalir ke Eropa. Masalah baru, pelik, dan berkepanjangan.

Tragedi tak berakhir di situ. Konflik selalu melindas mereka yang lemah: perempuan dan anak-anak. Di area konflik, 70 persen korban adalah perempuan dan anak-anak. Hanya 43 persen perempuan di daerah konflik yang punya akses ke pelayanan kesehatan reproduksi. Yang menyedihkan, hanya 0,5 persen donatur yang meluncurkan bantuan berbasis gender.

Daftar ancaman bagi kemanusiaan kian panjang: bencana alam. Sulit diperkirakan. Melibas negara damai atau sedang berperang. Pada periode 2008-2014, sebanyak 184 juta orang tercerabut dari tempat tinggalnya karena bencana alam. 

Dalam catatan PBB, tiap detik satu orang menjadi korban bencana. Kini 20 persen penduduk dunia tinggal di kawasan rawan bencana. Juga, 125 juta orang berisiko bermasalah dalam pendidikan dan kesehatan, sulit memiliki rumah yang layak, serta hidup tanpa masa depan.

Kawasan ASEAN penyumbang terbesar. Pada periode 2008-2014, sekitar 50 persen bencana di dunia terjadi di ASEAN. Tragedi tsunami di Aceh dan Sumut tempo hari berkontribusi signifikan pada angka kejadian tersebut.

Berapa biaya yang diperlukan untuk menanggulangi tragedi kemanusiaan akibat konflik dan bencana itu? Hingga April 2016, PBB butuh USD 20 miliar (sekitar Rp 273 triliun) untuk melaksanakan program-program kemanusiaan bagi 88,7 juta orang di 38 negara. Kebutuhannya naik empat kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Sayang, dana PBB hanya bisa membiayai 55 persen dari kebutuhan per tahun.

Ban Ki-moon melihat masalah itu sebagai krisis kemanusiaan "dimensi baru" yang memerlukan perubahan fundamental untuk mengatasinya. Hingga dicetuskanlah event dunia di Istanbul pada 23-24 Mei 2016: World Humanitarian Summit.

Presiden Erdogan menyambar peluang itu. Sang presiden sedang memegang kartu truf yang menakutkan bagi negara-negara Eropa: lebih dari 10 juta pengungsi. Istanbul mendapat dukungan Eropa untuk menjadi tuan rumah. 

PBB dan banyak negara menggelontorkan dana. Bukan sekadar untuk suksesnya WHS. Melainkan juga untuk jangka panjang: tetap menahan selama mungkin lebih dari 10 juta pengungsi itu agar tak pergi ke Eropa. 

Erdogan, putra pelaut yang menjadi politikus cemerlang, kini berada di atas angin. Mantan wali kota Istanbul kelahiran 26 Februari 1954 itu punya senjata ampuh untuk menekan Eropa: memperjuangkan Turki untuk masuk sebagai anggota Uni Eropa.

Turki tidak sendirian. Dunia akan mendukungnya. Kanselir Jerman Angela Merkel mungkin akan jadi motornya. Sekjen PBB Ban Ki-moon akan menggunakan pengaruhnya.

Erdogan sedang menuju puncak. Suami Emine Gulbaran yang punya empat anak itu pernah hidup getir. Dia dipenjara empat bulan gara-gara penguasa tersinggung dengan puisinya. Saat alumnus Universitas Mannara Turki tersebut menjadi wali kota Istanbul, kota bernama Konstantinopel pada masa imperium Romawi Timur itu diubahnya hanya dalam lima tahun: bersih, tertib, hijau, dan indah dengan prostitusi diberantas serta penjualan alkohol diberangus. 

Setelah menjadi perdana menteri Turki, Erdogan memenangi pemilihan presiden dengan suara 52 persen pemilih. Dia mengalahkan dua kandidat lain pada pilpres langsung pertama yang digelar di Turki. 

Sudah lama Turki mendambakan diterima sebagai anggota Uni Eropa (UE). Selalu saja kandas. Kini WHS memberi energi dan momentum bagi Erdogan.

Akan halnya Ban Ki-moon, mungkin ini tinta emas bagi mantan menteri luar negeri dan perdagangan Korsel itu. Melengkapi karir cemerlangnya yang sudah dua periode menjadi Sekjen PBB.

Saat berusia enam tahun, Ban mengirim surat kepada Sekjen PBB Dag Hammarskjoeld. Tak jelas suratnya sampai atau tidak. Pada 1962, alumnus Universitas Harvard kelahiran 13 Juni 1944 itu menjadi juara esai Palang Merah Dunia. Hadiahnya, dia tinggal beberapa bulan di San Francisco. 

Dalam kunjungan tersebut, Ban berkesempatan bertemu dengan Presiden John F. Kennedy. "Saya mau jadi diplomat," katanya kala itu.

Kesuksesan WHS mungkin akan membuat dia menjadi diplomat paripurna. Sekaligus mengharumkan nama Korea Selatan. Seperti Samsung, Hyundai, dan berbagai produk elektronik Korsel yang kini merajai dunia.

WHS dan berbagai produk ikutannya juga akan diterima dan dirasakan manfaatnya oleh warga dunia. Ban akan gembira di pengujung jabatannya tahun ini.

Mungkin juga Erdogan. Turki kian tak terbendung untuk menjadi anggota Uni Eropa. Sejak membuka WHS kemarin dan menutupnya hari ini, bahkan setelah itu, Ban dan Erdogan terus semringah. Keduanya mempersembahkan sesuatu yang amat berharga bagi masa depan umat manusia. Sekaligus meraih keinginan dan kepentingan masing-masing. 

Lewat momentum WHS. Sebuah event hasil kepedulian dan kreativitas tingkat tinggi. Campuran antara diplomasi dan "kiat dagang" merek Ban-Erdogan. Cap Istanbul. (*) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rayuan Gombal di Nusakambangan, Uang, Alphard, Macan Tutul


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler