Saat Umat Muslim Salat Jumat, Warga Hindu Tutup Warung

Selasa, 24 Mei 2016 – 00:19 WIB
PENJAGA Kuil Palani Andawer di Gampong Keudah, Banda Aceh. Foto: ARIFUL AZMI USMAN/RAKYAT ACEH/Jawa Pos Group

jpnn.com - ACEH merupakan provinsi yang menerapkan syariat Islam. Namun, warga Hindu keturunan India-Tamil hidup dan beribadah dengan aman di daerah berjuluk Serambi Mekah itu. Di Sulawesi Utara, Bukit Kasih menjadi simbol terpagarinya wilayah tersebut dari konflik sektarian.   

ARIFUL AZMI USMAN, Banda Aceh
ANDREAS PINONTOAN, Minahasa

BACA JUGA: Jelang Eksekusi Mati, Nusakambangan Rawan Rusuh, Begini Cara Meredam

SAPAAN itu langsung menghentikan langkah Rada Khrisna menuju kuil yang terletak persis di seberang rumahnya. ”Hai, apa kabar, Pak?” sapanya sembari menyalami Rakyat Aceh (Jawa Pos Group).   

Keduanya belum saling kenal sebenarnya. Tapi, di Gampong Keudah, ”orang asing” adalah konsep yang tidak dikenal. Siapa pun yang berkunjung ke sana, dari mana pun asalnya, apa pun latar belakangnya, akan selalu disambut dengan terbuka. 

BACA JUGA: Ganasnya Nusakambangan, Anak Sipir Meninggal 10 Hari sebelum Nikah

”Kami berbaur dengan semua orang. Seperti juga dulu warga Aceh yang mayoritas Islam sangat terbuka menyambut leluhur kami yang pendatang,” kata Rada. 

Gampong Keudah adalah contoh bagaimana Aceh yang menerapkan syariat Islam tak sampai kehilangan tradisi keterbukaannya terhadap kelompok liyan. Berada di tengah ibu kota Banda Aceh, kampung tersebut merupakan kantong para keturunan India-Tamil seperti Rada. Selama berabad-abad mereka hidup aman di provinsi berjuluk Serambi Makkah tersebut. Termasuk dalam menjalankan kepercayaan sebagai pemeluk Hindu. 

BACA JUGA: Rayuan Gombal di Nusakambangan, Uang, Alphard, Macan Tutul

Toleransi itu bahkan terpampang langsung pada Minggu pagi (8/5), ketika Rakyat Aceh berkunjung ke sana. Rada, yang merupakan pinandhita alias pelayan umat, baru membuka Kuil Palani Andawer di seberang rumahnya setelah selesai bergotong royong dengan warga kampung. Semua terlibat, tak peduli apa pun latar belakang mereka. 

Jejak kerukunan antarumat beragama di Aceh itu terekam sejak berabad silam. Menurut Mohammad Said dalam bukunya, Aceh Sepanjang Abad, ada bekas peninggalan Hindu di Lamuri, Aceh Besar, yang telah rusak karena serangan Raja Rajendra Chola I dari India pada abad ke-11. 

Pengaruh Hindu pun terlihat di kebudayaan Aceh. Mizuar Mahdi, ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh, mencontohkan penamaan ”maharaja” untuk menteri dalam Kesultanan Aceh. Misalnya Maharaja Setia di Ulee Tui ketika Kesultanan Aceh dipimpin Alauddin Saidil Mukammal.

”Dapat pula dilihat corak-corak nisan Aceh yang berbentuk seperti pahatan Hindu pada Makam Kandang 12 (makam sultan-sultan Aceh, Red),” ujarnya.

Abad demi abad berlalu, harmoni antaragama itu ternyata langgeng. Rada mencontohkan lancarnya perayaan ritual Pangguni Uthiram yang dilaksanakan umat Hindu Tamil di Banda Aceh setiap tahun.

”Tahun ini kami laksanakan ritual sembahyang terbesar di Sumatera. Umat dari Medan dan Sumatera lain juga kami undang ke Aceh pada April lalu dengan tiga bus serta sejumlah kendaraan pribadi lain,” kata pria 54 tahun itu.

Sebagai timbal balik, umat Hindu di Banda Aceh juga sangat menghormati lingkungan besar di luarnya yang muslim. Ketika ada salat Jumat, misalnya, Rada mengatakan bahwa dirinya dan rekan-rekannya yang nonmuslim memilih untuk menutup warung. 

”Lagi bulan puasa, kami tidak makan di luar karena sadar bahwa saudara-saudara muslim kami berpuasa. Semuanya sukarela, dari dulu sudah begitu,” tambahnya. 

Saat ini diperkirakan ada sekitar 150 warga keturunan India-Tamil di Banda Aceh. Mayoritas dari mereka lahir dan besar di Aceh serta menguasai bahasa Aceh. Jadi, sejatinya mereka orang Aceh juga. 

Tapi, dengan jumlah sekecil itu, sebenarnya bisa dengan gampang mereka ”diabaikan”. Atau tak ”dianggap”. Namun, Rada mengaku tak sekali pun dirinya dan warga keturunan India-Tamil diperlakukan secara diskriminatif oleh kelompok mayoritas.  

”Bahkan, jika ada orang yang meninggal pun, semua sama-sama saling membantu. Termasuk dalam hal menggali kubur,” katanya. 

Hanya sebagai sebutan, orang Aceh non keturunan India-Tamil menyebut rekan-rekannya seperti Rada sebagai India keling. Profesi utama mereka adalah berdagang. 

Kuil yang sehari-hari dijaga Rada itu didirikan pada 1934. Ketika tsunami menghantam Aceh pada 2004, kuil tersebut ikut porak-poranda. Baru pada 2006, kuil kembali dibangun dengan dana dari Kementerian Agama, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, dan Pemerintah Kota Banda Aceh.

”Kuil itu sudah menjadi bagian keseharian warga di sini. Tak pernah ada masalah,” ujar Pipiek, warga Gampong Keudah. 

Ribuan kilometer jauhnya dari Banda Aceh, nun di Minahasa, Sulawesi Utara, pesan perdamaian dan kerukunan antarumat juga bergaung dari Bukit Kasih. Lima agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha berinteraksi dengan akrab. Tempat ibadah lima agama itu terdapat di destinasi wisata religius di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoan, tersebut. 

Menurut staf tata kelola Ivan yang mewakili Kepala Pengelola Wisata Bukit Kasih Aldo Mawitjere, pengunjung yang datang bukan hanya warga lokal atau wisatawan domestik. Ada juga turis mancanegara.

”Setiap pengunjung yang datang umumnya memanfaatkan rumah ibadah yang ada. Kalau acara bersama, jarang,” tutur dia.   

Ivan mencontohkan momen perayaan Kenaikan Isa Almasih dan Isra Mikraj yang berurutan pada 5-6 Mei lalu. Ketika itu jumlah jemaat yang datang membeludak kendati tak ada acara khusus yang dihelat di sana. ”Mereka datang untuk beribadah dan berwisata,” ungkapnya kepada Manado Post (Jawa Pos Group).

Menurut Hengky Sondakh, salah seorang pemandu pengunjung, awalnya bukit tersebut dibangun sebagai Bukit Doa oleh Jemaat Gmim Bukit Sion Kanonang pada 3 Desember 1999. Baru tahun berikutnya namanya berubah menjadi Bukit Kasih, menyusul terpilihnya Adolf Jouke Sondakh sebagai gubernur Sulawesi Utara periode 2000–2005.

”Perubahan itu untuk meredam efek konflik horizontal yang terjadi di Maluku dan Poso,” ujar Hengky. 

Lewat Bukit Kasih, lanjut Hengky, Gubernur Jouke Sondakh bermaksud merawat pluralisme dan toleransi. Upaya untuk tidak saling terpancing dengan isu miring yang beredar dari pihak yang berniat merusak kedamaian di Sulut.

Karena itu, ada tugu di kompleks tersebut yang dilengkapi nukilan pesan perdamaian dari tiap-tiap agama. Juga, doa-doa yang dipanjatkan di bukit yang puncaknya bisa didaki dengan menaiki 944 anak tangga itu pun seperti turut menjaga kondusivitas Sulawei Utara. 

Hingga kini, provinsi yang beribu kota di Manado tersebut aman dari gelombang pasang kerusuhan bermotif sektarian yang kerap meletup di banyak sudut negeri ini. 

Malwan, pengunjung dari Sorong, Papua, pun mengaku bahwa dirinya dan rekan-rekannya sangat menikmati tingginya nuansa toleransi di Bukit Kasih. ”Kebersamaan antarumat beragama sangat terasa di sini,” ujarnya. (*/JPG/c11/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketahuilah, di Nusakambangan Para Napi Terorisme Kerap Berulah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler