Dahlan dan Dasep jadi Tersangka, Sungguh Aneh

Jumat, 10 Maret 2017 – 19:53 WIB
Ekonom Faisal Basri menjadi salah seorang pembicara pada diskusi bulanan MMD Initiative yang mengangkat thema "Menolak Kriminalisas Kebijakan" di Jalan Dempo, Jakarta Pusat, Jumat (10/3). Foto: Ken Girsang/jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Faisal Basri menilai, langkah kejaksaan menetapkan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama, Dasep Ahmad sebagai tersangka kasus mobil listrik, membuktikan negara tidak mendukung kemajuan.

Pasalnya, tidak ada satu pun negara besar yang berhasil tanpa memajukan industri.

BACA JUGA: Inovasi Dikriminalisasi Bikin Ilmuwan Takut

Dan kemajuan tersebut baru dapat dicapai, jika inovasi terus dilakukan dan pemerintah mendukung upaya-upaya yang ada.

Namun anehnya, langkah Dahlan dan Dasep bersedia mengambil peran mengembangkan sebuah inovasi, malah ditetapkan sebagai tersangka, atas dugaan merugikan negara.

BACA JUGA: Kasus Dahlan, Pembunuhan Karakter Paling Menyedihkan

"Padahal Dahlan cuma mengajak BUMN memercikkan dana, bukan mengalirkan. Jadi ini saya kira bukan sekadar masalah Dahlan atau Dasep. Tapi soal kepentingan bangsa. Mereka pelopornya, jangan sampai menimbulkan ketakutan. Peneliti ini kan tidak bisa cari uang," ujar Faisal pada diskusi yang digelar MMD Initiative, Jalan Dempo, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/3).

Menurut Faisal, Indonesia saat ini membutuhkan ribuan inovator seperti Dahlan maupun Dasep.

BACA JUGA: Rhenald Kasali: Dahlan Rela Masuk Penjara Asalkan…

Karena faktanya, pertumbuhan ekonomi terus melambat. Tidak pernah lagi tumbuh di atas tujuh persen. Masalahnya, tak lain karena Indonesia saat in kekurangan energi dan daya.

"Di Indonesia itu yang maju sektor jasa. Sementara industri dan pertanian memble. Lihat saja ngurus cabai enggak selesai-selesai. Industri manufaktur loyo terus. Ini jenis pemimpin yang tidak punya visi jangka panjang. Akhirnya yang maju sektor dagang. Kalau perlu yang didagangkan produk asing," ucap Faisal.

Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini kemudian mencontohkan kondisi perekonomian Tiongkok, pendapatan per kapitanya telah mencapai Rp 8 ribu.

Sementara Indonesia hanya Rp 3.400. Tidak lain karena sektor industrinya kuat.

Padahal baik Tiongkok maupun Indonesia sama-sama bangkit dari keterpurukan ekonomi pada 1998 lalu. (gir/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Adhie Massardi Yakin Dahlan Tak Bersalah


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler