jpnn.com, JAKARTA - Kolumnis kondang Dahlan Iskan mengaku terkejut dengan ucapan Syekh Panji Gumilang saat ditanya soal kapan mimpi membangun Pesantren Al Zaytun ini bermula? Apakah sewaktu sekolah di Gontor Ponorogo?
Pertanyaan itu dilontarkan Dahlan kepada Syekh Panji pada Jumat malam lalu, saat mereka semobil selama lebih satu jam menuju Pesantren Al Zaytun di pedalaman Indramayu.
BACA JUGA: Dahlan Iskan Tidak Menyangka Syekh Panji Pendiri Ponpes Al Zaytun Jago Bahasa Mandarin
Dahlan menduga demikian lantaran begitu banyak alumnus pondok modern Gontor yang membangun pesantren di daerah asal masing-masing. Mereka ingin mengadopsi sistem yang ada di Gontor yang mereka anggap sangat unggul.
Namun, jawaban yang didengar Dahlan dari Syekh Panji justru mengejutkannya. "Saya ini justru ingin mengoreksi Gontor," tulisan Dahlan mengutip ucapan Syekh Panji, dilansir dari Disway edisi Selasa, 23/5).
BACA JUGA: Dahlan Iskan di Ponpes Al Zaytun: Ucapan Assalamualaikum Tak Sebanyak Pekikan Merdeka
Panji enam tahun sekolah di Gontor. Dia tamatan 1966. Saat itulah dia melihat dan merasakan terlalu banyak kekerasan di sana.
"Hukuman kepada siswa terlalu keras. Sampai ke pemukulan saat itu," lanjut Dahlan menggambarkan penjelasan Syekh Panji.
BACA JUGA: Siapa Pendamping Anies? Din Langsung Sebut Nama, PKS Yakin Memberi Efek Kejut
Konon penegakan disiplin memang sangat ketat di Gontor. Santri yang ketahuan berbicara tidak menggunakan bahasa Inggris atau Arab dihukum, apalagi yang meninggalkan asrama. Atau mengambil barang teman seasrama.
Syekh Panji Gumilang pun menanamkan tekad: kalau kelak mendirikan pesantren tidak boleh ada kekerasan. Sedikit pun.
"Di Al Zaytun damai sekali," demikian Dahlan mengutip ucapan Syekh Panji.
Selain itu, Syekh Panji juga ingin mengoreksi soal makanan santri di Gontor kala itu yang dia anggap sangat tidak cukup untuk ukuran anak SMP-SMA.
"Itu mengakibatkan siswa berbohong," tulisan Dahlan mengutip penjelasan Panji.
Syekh Panji sendiri mengakui ketika di Gontor, dia menjadi sering berbohong. Selesai salat Isya dia sering minta makanan ke dapur untuk dibawa ke asrama. Alasannya untuk makan sahur. Besoknya akan berpuasa.
Namun ketika paginya ketahuan ikut sarapan, Panji ditegur: katanya puasa. "Maka saya berbohong lagi. Saya bilang lupa," lanjut Dahlan menuliskan kisah Panji saat jadi santri Gontor.
Sejak itulah tertanam dalam tekad Syekh Panji, kalau kelak mendirikan pesantren, maka santri harus cukup makan. Untuk mewujudkan itu harus punya sumber makanan sendiri.
Di Ponpes Al Zaytun, konon santri mendapat sarapan pagi. Lalu dibekali kue yang cukup untuk dibawa ke kelas. Pukul 10.00, saat istirahat, santri makan kuenya tadi.
Lalu, siang hari santri mendapat makan siang. Lantas dibekali kue lagi untuk dibawa ke kelas guna dimakan saat istirahat sekitar jam 15.00.
Kemudian, malam hari dapat makan malam yang cukup. Nilai gizinya pun dihitung secara modern. Harus cukup gizi.
Dari penjelasan Syekh Panji, kontrol kedisiplinan di Gontor memang ketat. Yakni melalui struktur kepengurusan santri. Yang senior diberi wewenang untuk mengawasi yang junior. Mereka juga punya wewenang menjatuhkan hukuman bagi para pelanggar.
"Pada saatnya Panji Gumilang menjadi senior di Gontor. Dia duduk di struktur kepengurusan santri. Dia pun bertekad selama setahun kepengurusannya tidak boleh terjadi satu pun kekerasan kepada junior," tulisan Dahlan.
Ketika tamat dari Gontor, Panji dilarang orang tua meneruskan ke IAIN Jakarta. Terlalu jauh, mahal, tidak ada keluarga dekat. Terlebih, saat itu situasi lagi tidak aman.
"Tahun 1966 Jakarta sangat kacau. Tegang. PKI baru saja dibubarkan. Bung Karno harus diturunkan," tulisan Dahlan.
Namun, Panji muda nekat ke Jakarta, bahkan ketika tidak diberi uang oleh orang tua. Akan tetapi, dia tahu cara dapat uang. Panji datang ke jaringan dagang ayahnya di Lamongan.
Panji pun pinjam uang ke rekan dagang ayahnya itu senilai beras 1,5 kuintal, karena dia tahu ayahnya pasti kirim hasil panen ke orang itu. Panji berterus terang: pinjaman itu sebagai siasat agar orang tuanya memberi uang untuk kuliah.
Menurut Dahlan, sejak di Gontor, Panji sudah mendengar: begitu hebat IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. IAIN Ciputat jadi buah bibir melebihi IAIN lainnya.
Boleh dikata cita-cita santri Gontor umumnya ingin melanjutkan kuliah ke sana. Setidaknya ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Di UIN Syarif Hidayatullah (sebelumnya IAIN) Ciputat itulah Panji bertemu banyak pemikir Islam. Terus berdiskusi dengan mereka. Dia ikut jadi aktivis, menjadi pengurus cabang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Panji pun ikut mengusung tokoh pembaruan pemikiran Islam Dr Nurcholish Madjid terpilih kembali menjadi ketua umum HMI. Nurcholish, sebagaimana Bung Karno, Gus Dur, Cak Nun, dan pelawak terkenal Srimulat Asmuni, adalah orang Jombang.
Ciputat juga sangat memengaruhi Panji. "Di Ciputat begitu banyak diskusi. Begitu banyak gagasan. Termasuk bagaimana harus membangun masa depan bangsa dan umat," tulisan Dahlan mengutip ucapan Syekh Panji di dalam mobil itu.
Maka, dari gabungan Gontor dan Ciputat lahirlah ide mendirikan Pesantren Al Zaytun. Ditambah dengan perjalanan hidupnya yang lebih 10 tahun di luar negeri.
"Pondok besar, sekolah besar, universitas besar melahirkan gagasan besar. Juga tindakan besar. Terutama di tangan orang yang isi kepalanya besar," tulisan Dahlan.
Tulisan Dahlan Iskan ini versi lengkap bisa dibaca di kolom disway atau melalui tautan ini: Zaytun Gontor. (fat/disway/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam