Dahlan Iskan: untuk Melahirkan UU Kesehatan Tidak Perlu 1.000 Kali Rapat

Kamis, 13 Juli 2023 – 09:10 WIB
Tangkapan layar Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena menyerahkan laporan pembahasan RUU Kesehatan kepada Ketua DPR RI Puan Maharani dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). ANTARA/Fauzi Lamboka

jpnn.com, JAKARTA - Kolumnis kondang Dahlan Iskan menyoroti proses lahirnya UU Kesehatan yang baru saja mendapat persetujuan paripurna dari DPR.

Menurut Dahlan, pembuatan UU Kesehatan dengan konsep omnibus law itu tidak seruwet demokrasi di Indonesia.

BACA JUGA: DPR Menyetujui RUU Kesehatan menjadi UU Meski 2 Fraksi Ini Menolak

"DEMOKRASI itu ruwet. Tetapi di tangan Presiden Jokowi menjadi sangat simpel. UU Kesehatan bisa disahkan dengan cepat. Secepat Ya-Wan," tulis Dahlan, Disway edisi Kamis (13/7).

Dia membandingkan dengan demokrasi di Korea Selatan. Di mana, Wali Kota Seoul Lee Myung-bak pernah jadi 'korban' demokrasi ketika ingin membenahi satu bagian kotanya yang kumuh dan berbau busuk.

BACA JUGA: Tidak Ingin Kasus Panji Gumilang Berlarut-larut, Mahfud MD: Selesaikan!

Demokrasi membuat sang wali kota tidak bisa begitu saja merombak wilayah itu. Tetapi dia teguh dengan konsepnya. Dia jalani proses demokrasi itu.

"Dia pun harus mengadakan rapat lebih 1.000 kali. Sampai warga di situ setuju," lanjut Dahlan.

BACA JUGA: Pembunuh Janda Muda di Madiun Ditangkap di Pekanbaru, Sadis! Ini Motifnya

Proyek pun berjalan. Wilayah itu kemudian menjadi kawasan yang sangat cantik. Jadi tujuan wisata baru.

Nah, di Indonesia, lanjut Dahlan, untuk melahirkan UU Kesehatan tidak perlu 1.000 kali rapat. Mungkin tidak sampai 100 kali. Jangan-jangan tidak sampai 40 kali.

"Yang jelas, di tangan Presiden Jokowi, UU yang begitu penting selesai dalam 6 bulan," tulisan Dahlan.

Selain itu, Dahlan menilai caranya memang canggih. Yakni, Desember lalu dibocorkanlah draf RUU Kesehatan. Semacam Omnibus Law bidang kesehatan.

Masyarakat ramai membicarakan. Anehnya, sumber draf itu misterius. Dari pemerintah, tidak. Dari DPR tidak.

Maka tidak harus ada yang bertanggung jawab. Ibarat sebuah kolam pancing, ada yang memancing tetapi tidak terlihat orangnya.

Akan tetapi pancingan itu mendapatkan ikan besar. Bentuk ikannya: reaksi pro-kontra di masyarakat. Terutama dari kalangan dokter. Lebih khusus lagi dari organisasi tunggal dokter: IDI (Ikatan Dokter Indonesia).

Muncul pula perlawanan pada IDI, bahkan ada semacam kampanye khusus pembusukan IDI.

"Kesannya: IDI otoriter. IDI berbisnis. IDI sumber kesulitan. IDI penyebab mahalnya jasa kesehatan. Dan banyak lainnya," tulisan Dahlan.

Pro dan kontra pun kian panas di publik, tetapi terukur, hingga akhirnya mereda sendiri.

"Lantas: Tok! UU Kesehatan disahkan Selasa kemarin. Aklamasi. Tidak ada oposisi. Tidak ada interupsi. Semulus rel kereta cepat Ya-Wan nan permai," tulisan Dahlan.

Senjata IDI Dilucuti UU Kesehatan

Menurut Dahlan, dengan lahirnya UU Kesehatan maka perubahan besar segera bergulir. Izin praktik dokter tidak lagi perlu rekomendasi IDI, bahkan kata IDI tidak lagi ada di UU Kesehatan yang baru.

Seperti izin dagang lainnya, izin praktik dokter akan dikeluarkan  oleh pemerintah.

Siapa yang dimaksud pemerintah masih harus menunggu ketentuan lebih lanjut. Mungkin Dinas Kesehatan kabupaten atau kota.

"Izin itu akan berlaku seumur hidup. Tidak harus memperpanjang setiap lima tahun," tulisan Dahlan.

Ketika IDI didirikan pada 1950, jumlah dokter yang hadir di muktamar pada saat itu 181 dokter. Pejabat pemerintah di bidang kesehatan pasti dokter. Pasti anggota IDI. Maka antara IDI dan kekuasaan di bidang kesehatan seperti manunggal.

Sedang jumlah dokter saat ini sudah lebih 151.000 orang –meski tetap belum cukup. Bidang spesialisasi pun kian banyak. Dokter spesialis punya organisasi sendiri-sendiri pula.

Menurut Dahlan, dari IDI yang paling diperlukan adalah di bidang penegakan kode etik. IDI adalah polisi kode etik, tetapi organisasi itu perlu senjata. Setidaknya pentungan.

"Rekomendasi IDI adalah senjata itu. Bagi dokter yang bandel tidak akan mendapat rekomendasi IDI untuk berpraktik. Senjata itu kini dilucuti. Tanpa senjata, IDI tentu akan lebih sulit menegakkan kode etik," lanjutnya.

Sekarang, senjata itu di tangan pemerintah. Pemerintah tidak berhak menjaga kode etik. Yang dijaga pemerintah adalah peraturan dan perundangan.

"Hanya dokter yang melanggar peraturan yang bisa ditindak oleh pemerintah," tulisan Dahlan.

Dokter Bisa Praktik meski Dipecat dari IDI

Dahlan menilai dengan hilangnya senjata itu, IDI praktis hanya akan jadi paguyuban.

Konon IDI memang masih bisa memecat dokter yang melanggar kode etik. Yakni dipecat dari keanggotaan IDI.

"Namun, tidak jadi anggota IDI toh tetap bisa berpraktik atas izin pemerintah," tulisan Dahlan.(disway/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler