Dakwaan e-KTP Ibarat Senapan Mesin, Awas Salah Bidik

Minggu, 12 Maret 2017 – 15:19 WIB
Bambang Soesatyo. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengibaratkan sidang perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) seperti senapan mesin, yang memuntahkan peluru ke berbagai arah dan sudah mencederai banyak orang.

Karenanya, kata dia, sudah menjadi tugas para jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk membuktikan apakah semua nama yang disebut itu memang layak dilukai reputasi dan kredibilitasnya.

BACA JUGA: KPK Tak Peduli dengan Bantahan Menteri Yasonna

Pria yang karib disapa Bamsoet itu mengatakan, bantahan yang disampaikan oleh orang yang namanya disebut harus direspons KPK melalui proses pembuktian oleh para JPU.

Untuk menjaga kredibilitas dakwaan KPK, pembuktian terhadap keterlibatan itu harus terang menderang. "Alat bukti harus jelas, siapa, kapan dan di mana," kata Bamsoet, Minggu (12/3).

BACA JUGA: Terbaring di RS, Jupe Punya e-KTP

Seperti diketahui, JPU KPK memaparkan puluhan nama dan sejumlah institusi yang diduga menerima dana hasil korupsi proyek e-KTP.

Selain mantan menteri dan mantan ketua DPR, puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 juga disebut menerima fee dari dana yang dianggarkan dalam proyek e-KTP. Di antara mereka, ada yang kini menjabat menteri dan gubernur. "Konsekuensi dari penyebutan nama-nama itu tentu saja pembuktian," kata Bamsoet.

BACA JUGA: ICW Ungkap Pelanggaran Gamawan Fauzi dalam Proyek e-KTP

Dalam konteks pembuktian, lanjut dia, perkara e-KTP ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi KPK. Proyek ini sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu. Kemudian, tentang aliran dana hasil korupsi proyek ini, belum jelas benar apakah KPK juga memiliki bukti kuat yang bersumber dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), rekaman CCTV, sadapan atau alat bukti lainnya.

Faktor lain yang juga cukup menentukan adalah berkurangnya jumlah saksi. Dua anggota Komisi II DPR yang tahu detail pembahasan dan penganggaran proyek ini pada 2009 sudah meninggal dunia. Keduanya adalah Burhanuddin Napitupulu dan Mustoko Weni.

"Bahkan sebuah peristiwa digambarkan di dalam dakwaan, seolah-olah saksi yang sudah meninggal dunia itu masih hidup dan ikut membagi-bagi uang," katanya.

Secara fakta memang terbukti bahwa penyelesaian proyek e-KTP melenceng jauh dari target waktu. Bahkan tidak ada yang tahu kapan proyek ini akan rampung. Artinya, jelas bahwa ada masalah besar dalam proyek ini. Karena itu, langkah KPK membawa kasus ini ke Pengadilan Tipikor Jakarta sudah tepat. "Hanya saja jangan salah bidik," tegas politikus Partai Golkar itu.

Wajar jika sejumlah orang yang disebutkan dalam dakwaan itu tidak bisa menerima begitu saja dan langsung membuat bantahan. Masuk akal karena mereka merasa sebagai korban pembunuhan karakter. Oleh mereka, dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor itu dimaknai sebagai tuduhan. Secara personal masing-masing sudah merasa dilukai dakwaan yang sudah menyebar luas ke publik saat persidangan itu.

Mereka sadar bahwa bertitiktolak dari publikasi dakwaan itu, publik akan mencibir dan menuduh sebagai orang-orang yang ikut menikmati dana hasil korupsi proyek e-KTP. "Begitulah risikonya ketika sebuah nama dikaitkan pada sebuah kasus korupsi," katanya.

Tentu saja KPK juga sudah menyimak bantahan dari sejumlah orang itu. Sudah barang tentu bantahan sejumlah orang itu harus direspons KPK melalui proses pembuktian. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Buah Bu Mega Dorong KPK Tancap Gas soal e-KTP


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler