Dalam beberapa tahun terakhir, sanksi dagang Tiongkok telah memberikan pukulan telak bagi sejumlah industri di Australia.
Dari lahan gandum di Australia Barat hingga industri lobster di Tasmania.
BACA JUGA: COVID-19 Renggut Nyawa Setiap 4 Menit di India, Thailand Khawatirkan Gelombang Ketiga
Di sebuah lokasi dekat Bandara Hobart, para pekerja sibuk memilah lobster menurut ukuran, warna dan kualitasnya.
Sekitar 10.000 ekor yang dikelola di sini akan dihasilkan sekitar 7000 kilogram daging lobster.
BACA JUGA: Uni Eropa Izinkan Warga AS yang Sudah Divaksinasi untuk Melakukan Perjalanan
Sampai beberapa waktu yang lalu, Tiongkok menyerap 96 persen ekspor lobster jenis southern rock ini.
'Tiongkok memiliki sejarah panjang tentang lobster spesial kita ini," ujar Michael Blake, yang mengelola fasilitas pemrosesan itu.
"Warnanya merah, diterjemahkan sebagai naga dan sangat bergengsi di Tiongkok. Cara mereka menunjukkan penghargaan pada seseorang yaitu mengajaknya pergi makan lobster mahal kita ini," kata Michael.
Pada bulan November lalu, ekspor ke Tiongkok telah berhenti. Kehilangan pasar seperti itu memukul usaha yang dijalankan Michael ini.
Di tengah meningkatnya ketegangan hubungan kedua negara, Tiongkok menyerang sejumlah industri Australia dengan sanksi dagang dan tuduhan miring terhadap produk tertentu.
Secara mengejutkan, pihak berwenang Tiongkok mengklaim sampel lobster karang Australia ini mengandung kadmium logam berat yang berlebihan.
Perdagangan langsung ditutup, dengan akibat berton-ton lobster hidup senilai jutaan dolar kini terlantar di Tiongkok menunggu izin masuk.
"Saya sangat kaget lobster southern rock yang merupakan spesies air dingin, memiliki kadar kadmium di dalamnya," ujar Michael terheran-heran.
Program Four Corners ABC mendapatkan informasi pengujian oleh lembaga pemerintah Australia sama sekali tak menemukan bukti adanya kontaminasi pada lobster tersebut.
Tanpa pasar Tiongkok, harga lobster anjlok. Nelayan yang sebelumnya menerima harga $80 per kilo sekarang dibayar $25.
Dari sekitar 150 kapal armada lobster di Tasmania , Michael khawatir sepertiganya harus meninggalkan industri ini.
"Saya mendapat telepon setiap hari. Terakhir tadi malam, ada seorang nelayan yang sampai menangis, bingung bagaimana dia akan membayar tagihannya. Ini baru permulaan," ujarnya.
Lobster hanyalah salah satu industri yang terkena sanksi perdagangan Tiongkok, selain daging sapi, anggur, dan jelai gandum.
Profesor Rory Medcalf dari Australian National University menyebut Tiongkok sedang mencoba memaksa Australia untuk mendukung kepentingan Tiongkok.
Meskipun Tiongkok menganggap tindakannya sah-sah saja, ada pandangan luas bahwa sanksi tersebut digunakan sebagai senjata untuk menghukum Australia karena mengadopsi kebijakan dan posisi yang tidak disukai Tiongkok.
"Saya melihat semua ini tampak seperti hukuman," kata Profesor Jane Golley, direktur Center on Tiongkok in the World di ANU.
"Akan semakin memburuk jika semuanya terus berlanjut seperti sekarang," katanya.
Michael Blake masih ingat persis ketika lobsternya dinikmati para petinggi pemerintah Tiongkok.
"Ketika Presiden Tiongkok Xi Jinping ada di sini, kami memasok lobster dari fasilitas ini untuk jamuan resmi dengan pemerintah Tasmania," katanya.
Sekarang berakhir seperti begini.
Stok lobster premium yang tadinya akan diekspor ke Tiongkok sekarang dipasarkan secara lokal di kegiatan olahraga atau penjual kaki lima di seluruh Australia.
Lebih 2.000 kilometer dari Hobart, tepatnya di Casino, pusat industri daging sapi New South Wales, industri lain juga menghitung kerugian akibat perang dagang.
Daging sapi merupakn produk ekspor agrikultur terbesar Australia sebelum sanksi dagang. Pasar Tiongkok untuk produk ini saat itu juga semakin meningkat.
Pada bulan Mei 2020, Tiongkok secara sepihak menghentikan impor daging sapi yang berasal dari pemotongan hewan terbesar bersama tiga produsen daging lainnya.
Simon Stahl, Dirut Koperasi Perusahaan Daging Northern Co-op, menyatakan perlunya pendekatan diplomasi untuk menyelesaikan permasalahan ini.
"Menurut saya tidak menguntungkan siapa pun bila menyuarakannya di depan umum dan berdebat secara terbuka," katanya.
"Saya sangat fokus mengerjakan apa yang harus saya lakukan, dalam bongkar muat, untuk memastikan ketika produk keluar dari sini, dapat diterima pasar di seluruh dunia, termasuk Tiongkok," jelasnya.
Impor daging sapi dari Northern Co-op ditangguhkan oleh Tiongkok dengan dalih kesalahan label pada beberapa karton daging sapi. Di masa lalu, jenis pelanggaran teknis seperti itu bisa diselesaikan dalam hitungan bulan.
Kali ini, setelah hampir setahun berlalu, belum ada kemajuan berarti. Pihak berwenang Tiongkok bahkan tidak mengangkat telepon.
"Ini sangat membuat frustrasi," kata Dirut Dewan Industri Daging Australia, Patrick Hutchinson.
Penangguhan ini merugikan pabrik daging sebesar 10 persen dari perdagangannya.
"Biasanya kami menjalin komunikasi yang kuat, sekarang tidak ada. Ini memprihatinkan bagi kami sebagai industri karena hanya dialog yang membuat kami beroperasi secara efektif dalam perdagangan," ujarnya.
"Jika tidak ada dialog, maka hampir mustahil untuk memperbaikinya," kata Patrick.
Terhentinya dialog ini meluas ke tingkat menteri.
Menteri Perdagangan Dan Tehan menulis kepada mitranya di Tiongkok pada bulan Januari untuk meminta adanya dialog tentang masalah perdagangan. Hingga kini dia belum menerima balasan.
Dr Scott Waldron dibesarkan di lahan peternakan daging sapi.
Ia juga seorang ekonom, pakar Tiongkok, dan peneliti pada University of Queensland.
"Hambatan perdagangan yang diberlakukan Tiongkok terhadap Australia pada tahun 2020 merupakan kasus pemaksaan ekonomi," ujarnya.
Desakan Pemerintah Australia untuk penyelidikan independen tentang asal-usul wabah virus korona tahun lalu disebut sebagai katalisator perang dagang yang dilancarkan Tiongkok.
Pada kenyataannya ketegangan hubungan ini lebih dalam dan sudah lebih lama.
"Tujuan Tiongkok ingin mengubah kebijakan Australia, termasuk dalam isu Laut Tiongkok Selatan, Hong Kong, Xinjiang, Huawei, dan isu campur tangan asing (di Australia)," kata Dr Waldron.
Dr Waldron yakin sanksi perdagangan itu berasal dari tuntutan Partai Komunis Tiongkok untuk membalas segala ancaman terhadap kepentingan Tiongkok.
"Apa yang disebut sikap tempur itu telah tertanam dalam partai, termasuk Kementerian Perdagangan dan administrasi bea cukai dan karantina negara itu," jelasnya.
Dia mengatakan bagi birokrat Tiongkok, tak banyak insentifnya untuk mencapai kesepakatan dengan pejabat perdagangan Australia.
Barossa Valley merupakan kawasan produksi wine premium di Australia, terkenal di seluruh dunia.
Tak ada kawasan produksi yang mengalami pukulan seberat Barossa setelah Tiongkok mengenakan tarif pada bulan November tahun lalu.
Tiongkok menyerap 40 persen ekspor wine Australia dan 50 persen ekspor wine merah sebelum adanya tarif ini. Sekarang hampir nol.
Tony Battaglene, ketua Asosiasi Buah Anggur dan Wine Australia, menjelaskan tarif 212 persen yang dikenakan Tiongkok berdampak menghancurkan.
"Kami harus menemukan tujuan ekspor baru untuk anggur senilai $1,1 miliar," jelasnya.
Jason Zhao memiliki Anggur Anggrek, terletak di perbukitan di atas kotapraja Barossa.
Dia pindah ke Adelaide dari Tiongkok 16 tahun lalu untuk melanjutkan kuliah di bidang anggur.
Setelah lulus, Zhao bekerja untuk dua produsen wine sebelum mendirikan usahanya sendiri, memproduksi, membotolkan, dan mengekspor wine.
Dia menggunakan koneksi dan pengetahuannya untuk membangun ekspor ke Tiongkok, tapi ketergantungan pada pasar itu membuat Orchid Wines terekspos berbahaya.
Kini ada ribuan botol wine di gudangnya yang tidak bisa diekspor.
"Usaha kami turun 95 persen," katanya.
"Kami hanya memiliki 5 persen penjualan wine curah ke pasar Inggris dan pasar AS. Itu tidak cukup untuk menopang bisnis," ujar Zhao.
Di seluruh wilayah Barossa, ada investasi Tiongkok yang signifikan dalam industri wine. Salah satu ironi sanksi perdagangan Tiongkok telah memukul para investor tersebut.
Orangtua Zhao bergabung dengan anaknya di Australia setelah mereka pensiun. Zhao banyak mendapat nasehat dari mereka soal bisnis.
"Orangtua saya masih menyemangati, katanya, ini bukan akhir dari dunia. Jika bekerja keras, melakukan hal yang benar, suatu hari, semuanya akan kembali," katanya.
"'Tundukkan kepalamu dan teruslah bekerja keras," tambah Zhao menirukan ucapan orangtuanya.
Tak jauh dari kebun anggur Zhao terdapat Château Tanunda yang bersejarah, yang dibangun pada tahun 1890-an.
Château dan merek yang menyandang namanya kini berada di tangan John Geber.
Château Tanunda dengan susah payah membangun hubungan di Tiongkok selama belasan tahun sebelum tarif diberlakukan. Tarif tersebut merugikan usahanya sebesar 15 persen.
Di Château terpajang foto bersejarah saat Presiden Barack Obama minum segelas anggur pemenang penghargaan Château Tanunda bersama Presiden Tiongkok Xi Jinping di KTT G20 Brisbane pada tahun 2014.
"Itu momen yang sangat membanggakan," ujar John Geber.
Seperti perusahaan lainnya, Château Tanunda bekerja sama dengan penyelidikan Tiongkok dan membuka pembukuannya kepada para pejabat Tiongkok, dengan harapan dapat menyangkal tuduhan soal dumping di pasar Tiongkok.
"Ada pemeriksan forensik, jauh lebih sulit daripada uji tuntas jika seseorang membeli perusahaan atau kami membeli perusahaan lain," katanya.
Sebagai imbalan, Château Tanunda menerima pengurangan tarif menjadi 160 persen. Namun jumlah ini tetap akan mematikan usahanya.
"Kita merasa telah bekerja keras dan tiba-tiba pada suatu hari mendapat serangan. Rasanya sangat tidak nyaman," ujar John.
"Ini permainan panjang," tambahnya.
Tiongkok belum lama ini mengumumkan tarif terhadap impor wine asal Australia akan tetap berlaku lima tahun ke depan.
Tak jauh dari Barossa, produsen wine lainnya juga bergelut menghadapi tuduhan telah melakukan dumping harga di pasar Tiongkok.
Dr Waldron menjelaskan tudingan Tiongkok terhadap industri wine Australia itu palsu.
"Harga wine Australia yang diekspor ke Tiongkok lebih tinggi daripada semua negara besar lainnya," ujarnya.
"Lebih tinggi dari Prancis, atau Chile, atau Spanyol, dan jauh lebih tinggi dari harga wine domestik Tiongkok," tambahnya.
Australia akan menggugat tarif tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia WTO, namun hal itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Daerah Salt Lake, sekitar empat jam di tenggara Perth, merupakan kawasan yang pertanian gandum yang sangat subur.
Wilayah ini dikenal sebagai Wheatbelt, tapi dalam beberapa tahun terakhir terjadi lonjakan permintaan barley dari Tiongkok, terutama untuk gandum malt kelas premium yang digunakan dalam pembuatan bir.
Seluruh proses produksi diarahkan untuk memenuhi pasar Tiongkok.
Risiko strategi seperti ini terungkap pada Mei tahun lalu ketika Tiongkok memberlakukan tarif lebih dari 80 persen untuk jelai Australia. Dalihnya, Australia melakukan dumping ke pasar Tiongkok.
"Taris itu sangat besar. Ini akhir dari ekspor kami ke Tiongkok," kata Doug Smith, ketua Grains Group Australia Barat.
Waktu pengumuman tarif itu juga memperburuk keadaan, karena disampaikan saat tanaman sudah tumbuh.
"Apakah saat pengumuman itu suatu strategi, saya kira begitu," katanya.
"Kami mengekspor sekitar 6 juta ton jelai ke Tiongkok, dari seluruh Australia. Australia Barat saja mengekspor sekitar tiga setengah juta ton," jelas Doug.
"Jadi, pada dasarnya kami telah meninggalkan semua pasar lain karena hanya itu yang dapat kami lakukan untuk menghasilkan cukup banyak produk untuk memenuhi pasar Tiongkok," tambahnya.
Informasi rinci yang diberikan eksportir Australia untuk menyangkal tudingan Tiongkok sama sekali tidak digubris.
Kabar baiknya bahwa jelai telah menemukan pasar baru dan, dalam menghadapi sanksi, ekonomi Australia terbukti sangat tangguh.
Ironisnya, nilai keseluruhan ekspor Australia ke Tiongkok justru meningkat tahun lalu. Tapi sebagian besar ditopang ekspor bijih besi.
Jika bagian dari tujuan sanksi perdagangan adalah untuk memprovokasi industri yang terkena dampak agar melobi pemerintah untuk melunakkan kebijakan dan menenangkan Tiongkok, strategi seperti itu terbukti gagal.
"Kalangan industri yang terdampak berurusan dengan saya dengan cara sopan," ujar Menteri Perdagangan Dan Tehan.
"Beberapa industri mengalami kerugian sangat besar, tapi mereka paham bahwa kedaulatan Australia sangat penting. Mereka berusaha menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi," katanya.
Perlawanan Australia terhadap tekanan politik dan ekonomi tak akan menutup tagihan bagi produsen yang mata pencahariannya terpukul oleh sanksi Tiongkok.
Namun bukannya menyerah pada tekanan ekonomi Tiongkok, pemerintah Australia malah meningkatkan serangan.
Pekan lalu, pemerintah federal membatalkan perjanjian negara bagian Victoria dengan Tiongkok dengan alasan keamanan nasional.
Industri lobster karang dan pembuatan wine, serta bisnis lainnya yang sangat bergantung pada pasar Tiongkok, akan berusaha untuk bisa bertahan.
Meskipun mengalami kesulitan, beberapa industri yang paling terpukul menyatakan tidak punya pilihan selain tetap teguh.
"Sayangnya," kata Michael Blake, "demi demokrasi kita, demi jalan hidup kita, demi segala yang kita cintai tentang Australia, saya kira kita harus tetap menegakkan kepala." Kredit Oleh: , dan Fotografer: Produser Digital: Sinematografi: Louie Eroglu ACS Penerjemah:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Batalkan Kerja Sama Pembangunan Infrastruktur dengan Tiongkok