jpnn.com - PEMERINTAH pusat akan menyalurkan dana desa sebesar Rp 20 triliun, April mendatang. Jika dibagi jumlah desa yang saat ini diperkirakan mencapai 74 ribu di seluruh Indonesia, maka tiap desa baru akan menerima Rp 120 juta hingga Rp 170 juta per tahun.
Menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT), Marwan Jafar, jumlah tersebut memang belum maksimal. Apalagi mengingat dari total jumlah desa yang ada, 33 ribu di antaranya desa tertinggal. Sementara 7600 lainnya masuk kategori desa sangat tertinggal.
BACA JUGA: Bukan Saatnya Coba-coba Pemain Muda
Meski begitu, Marwan berharap tiap desa diharapkan dapat memaksimalkan penggunaannya. Antara lain dengan membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan untuk membangun sejumlah infrastruktur dasar. Seperti jalan kampung, irigasi, air bersih, dan lainnya yang bermanfaat bagi warga desa.
Marwan mengatakan hal tersebut, karena pemanfaatan dana desa sepenuhnya berada di tangan masyarakat desa. Kementerian DPDTT hanya berperan mendorong, membangkitkan dan memfasilitasi.
BACA JUGA: Delay Ini jadi Catatan Kami
Untuk mengatasi persoalan kapasitas desa yang masih sangat terbatas, pihaknya akan memberikan pelatihan dan pendampingan, sebagaimana amanat Undang-Undang Desa.
Seperti apa perekrutan tim pendampingan, bagaimana tantangannya dan seperti apa solusi bagi pendampingan desa, berikut penuturan Menteri DPDTT Marwan Jafar kepada wartawan JPNN, Ken Girsang, di Jakarta, Senin (2/3).
BACA JUGA: Polri Sudah Stabil di Dalam
Kapan tenaga pendamping efektif mulai bekerja?
Kita rencanakan bersamaan ketika nanti dana desa dikucurkan. Pendampingan ini diperlukan untuk memaksimalkan pemanfaatan dana desa. Terutama terkait kesiapan dan kapasitas desa yang masih terbatas.
Artinya dalam waktu dekat tenaga pendamping sudah akan direkrut?
Keterbatasan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2015, menyebabkan proyeksi satu desa satu pendamping tidak tercapai. Jumlah dana yang tersedia Rp 1,2 triliun. Meski begitu, perlu diketahui sekarang ini terdapat sejumlah mantan fasilitator dan pendamping PNPM Mandiri. Untuk tenaga ahli tiga hingga empat per kabupaten, total tersedia 1.386 orang untuk 434 kabupaten. Operator komputer untuk data dan pelaporan, 868 orang. Kemudian pendamping desa (sarjana) dua orang per kecamatan. Jadi juga terdapat 12.764 orang untuk 6.384 kecamatan. Untuk pendamping lokal, baru mampu disediakan satu orang per kecamatan, dengan jumlah 5.301 orang. Tapi baru sebagian kecil mantan fasilitator/pendamping PNPM itu yang terlatih sesuai dengan substansi UU Desa.
Jadi artinya tenaga pendamping tetap akan direkrut?
Saat ini kami sedang menyiapkan manajemen untuk rekrutmen ulang terhadap mantan fasilitator/pendamping PNPM. Kami juga sedang menyiapkan materinya. Kemudian setelah itu kita akan menyelenggarakan pelatihan secara berjenjang untuk mereka. Untuk langkah-langkah tersebut, kita menjajaki kemungkinan bekerja sama dengan DFAT/AusAID. Juga termasuk dengan perguruan tinggi, NGO-NGO (Non Government Organisation) dan organisasi masyarakat. Mereka menyiapkan dana dan sumberdaya secara mandiri.
Seberapa penting peran tenaga pendamping?
Sangat penting, karena dana desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan semangat, roh dan misi UU Desa. Dana Desa juga merupakan bentuk komitmen dan keberpihakan negara kepada desa, sebagai investasi untuk kemandirian desa dan kesejahteraan masyarakat. Tapi pemahaman terhadap UU Desa tetap tidak boleh terjebak hanya pada dana desa.
Sebenarnya dana masuk desa bukan hal baru. Tahun 2012 lalu survey tim RUU Desa atas data mikro APBDes, menemukan bahwa desa telah mengelola dana rata-rata Rp 1,1 miliar. Baik itu pendapatan asli desa, alokasi dana desa, bantuan langsung masyarakat maupun dana CSR dari perusahaan. Dana Desa dari APBN merupakan konsolidasi dari banyak bantuan langsung (BLM) yang selama ini dikelola oleh kementerian/lembaga. Karena itu Dana Desa bukanlah proyek kementerian, melainkan menjadi hak dan kewenangan desa.
Dari kajian Kementerian DPDTT, sejauh mana pengalaman desa mengelola dana?
Cukup bervariasi. Desa yang tidak memeroleh pelatihan dan pendampingan secara memadai, kapasitas dan efekvitasnya sangat rendah. Sementara desa yang memeroleh pelatihan dan pendampingan, baik oleh Pemerintah Kabupaten maupun NGO, kapasitas dan efektivitasnya relatif baik. Pelayanan dasar, infrastruktur desa, maupun ekonomi desa tumbuh dengan baik. Selain itu, desa-desa yang memiliki kepala desa progresif dan pegiat desa.
Artinya ada cukup banyak tantangan dalam penggunaan dana desa?
Cukup banyak. Karena itu serderhananya, kalau infrastruktur desa jelek, kalau BUMDes yang sudah ada tidak semakin baik dan kalau BUMDes baru tidak bisa tumbuh, maka kami bisa disebut gagal. Karena untuk tahap awal, kita prioritaskan penguatan 1.022 BUMDes yang sudah ada dan pembentukan BUMDes baru sebanyak 20 ribu hingga 40 ribu. Kami juga akan mengembangkan bekas sumur migas dan tambang yang telah ditinggalkan BUMN, menjadi BUMDes.
Karena sesuai platform Kementerian Desa, kita harus memfasilitasi dan memastikan desa memakmurkan masyarakat desa dengan mengembangkan sumber-sumber penghidupan seperti pangan, energy, ikan, kebun, hutan, tambang dan sebagainya. Kita juga memiliki platform akselerasi pembangunan kawasan pedesaan untuk membuka akses desa, menumbuhkan ekonomi lokal dan membuka lapangan pekerjaan.
Bagaimana Anda menghadapi sikap pesimistis sebagian kalangan mengenai kemampuan pemerintah pusat memakmurkan masyarakat desa?
Dengan kerja keras dan memaksimalkan peran yang diatur dalam undang-undang, kami meyakini perubahan desa bukanlah kemustahilan. Melainkan sebuah keniscayaan. Kami telah berdiskusi dengan banyak NGO’s maupun pegiat desa. Kami juga terus melakukan monitoring. Ternyata pendampingan menjadi modalitas utama terhadap perubahan desa. Karena itu kami akan intensifkan pendampingan desa untuk tahun 2015 ini. Kami juga akan melakukan perluasan dan penguatan untuk tahun 2016 dan tahun-tahun berikutnya. ***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahok Lagi Cari Panggung
Redaktur : Tim Redaksi