jpnn.com - Akhir-akhir ini penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sangat rajin berkunjung ke Jawa Timur.
Desember tahun lalu KPK mencokok Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak yang tertangkap tangan melakukan korupsi dana bantuan hibah.
BACA JUGA: Fitra Jatim Sesalkan Bancakan Dana Hibah, Madura Tetap Jadi Kantong Kemiskinan
KPK kemudian menggeledah ruang kerja Gubernur Jawa Timur Khofidah Indar Parawansa dan ruang kerja Wakil Gubernur Jatim Emil Elistianto Dardak.
Pekan ini KPK kembali melakukan penggeledahan lagi.
BACA JUGA: Geledah Gedung DPRD Jatim, KPK Amankan Uang Rp 1 Miliar dan Barbuk Elektronik
Yang menjadi sasaran adalah rumah pribadi ketua DPRD Jatim Kusnadi, dan rumah para wakil ketua, Anwar Sadad, Muhamamad Iskandar, dan Aniek Maslachah.
Melihat rentetan penggeledahan yang dilakukan KPK bisa dilihat bahwa kasus dana hibah ini mengalir sampai jauh dan melibatkan banyak orang.
BACA JUGA: Kronologis Uang dari Sampang Sampai ke Tangan Sahat Tua Simanjuntak, Sontoloyo!
Indikasi awal menunjukkan bahwa kasus ini tidak hanya melibatkan Sahat Simanjuntak saja.
Kalau KPK benar-benar serius mengungkap kasus ini, maka KPK akan bisa mendapatkan serenteng tersangka lain.
Ibarat berburu, KPK sedang berburu di kebun binatang, arahkan senapan ke mana pun akan mendapat target.
Penyelewengan dana hibah ini punya potensi menjadi skandal mega-korupsi yang melibatkan banyak pimpinan dan anggota DPRD Jatim.
Kalau KPK serius mengembangkan kasus ini tidak mustahil akan terulang kasus korupsi-kolektif di DPRD Kota Malang pada 2018.
Ketika itu roda pemerintah daerah lumpuh karena dari total 45 anggota dan pimpinan DPRD Kota Malang 41 di antaranya ditangkap KPK.
Kasus korupsi dana hibah di DPRD Jatim pernah terjadi pada 2008. Ketika itu Ketua DPRD Fatchurrasyid ditangkap dan dipenjara karena terbukti melakukan korupsi dana hibah.
Banyak kolega Fatchurrasyid di DPRD yang dicurigai terlibat dalam korupsi kolektif, tetapi Fatchurrasyid menjadi satu-satunya yang dikorbankan sampai masuk penjara.
Kasus dana hibah kali ini berpotensi menjadi kasus mega-korupsi.
Total anggaran hibah pemerintah Jawa Timur setiap tahun mencapai Rp 7,8 triliun.
Dana itu dicurigai bocor sampai 30 persen.
Hal itu ditengarai dari kasus yang melibatkan Sahat Simanjuntak.
Dari penyelidikan KPK terungkap bahwa Sahat menerima fee 20 persen dari penerima hibah, dan tim makelar yang mengurus dana hibah mendapat jatah 10 persen.
Kalau modus ini terjadi secara umum maka bisa jadi dana yang bocor dimakan koruptor mencapai Rp 2,3 triliun.
Sahat diketahui melakukan ijon terhadap dana hibah itu.
Dia mempunyai makelar yang bekerja di daerah mencari sasaran penerima dana hibah untuk tahun anggaran 2023.
Dana hibah belum cair, tetapi fee sudah diterima Sahat.
Dari hasil ijon itu, Sahat sudah menerima Rp 5 miliar. Pola semacam ini sangat mungkin menjadi modus operandi yang jamak dilakukan di lingkungan DPRD Jatim.
Dalam kasus terbaru kali ini, publik akan melihat apakah pola lama yang dialami Fatchurrasyid akan terulang kembali.
Apakah bola akan berhenti pada Sahat Simanjuntak saja, atau akan makin banyak korban yang menyusul.
Melihat gerakan yang dilakukan KPK seharusnya bola tidak berhenti di kaki Sahat saja.
Penggeledahan di rumah Ketua DPRD Kusnadi dan wakil ketua lainnya bisa menjadi indikasi awal akan ada tambahan tersangka yang menyusul Sahat.
Sebuah video beredar di media sosial menggambarkan penggeledahan di rumah Kusnadi di Lamongan.
Narasi video itu menaksir nilai rumah besar itu Rp 8 miliar.
Dari laporan masyarakat diketahui jatah dana hibah Kusnadi pada 2021 sekitar Rp 120 miliar.
Dana itu diperuntukkan bagi kelompok masyarakat di Lamongan, meskipun Kusnadi berasal dari daerah pemilihan Sidoarjo.
Modus operandi penyelewengan dana hibah bermacam-macam.
Pemotongan fee 30 persen konon sudah menjadi standar.
Selain itu, proyek pembangunan dari dana hibah itu juga dikerjakan oleh kerabat anggota atau pimpinan DPRD.
Semua anggota DPRD Jawa Timur mendapat jatah dana hibah masing-masing, dan mereka mempergunakannya untuk memperkuat suara di konstituen, dan sekaligus mencari dana untuk memelihara suara di konstituen.
Para politisi yang bertarung di daerah pemilihan harus melakukan praktik ijon untuk persiapam maju lagi pada kontestasi pemilihan anggota legislatif 2024.
Politik uang atau money politics, dan praktik jual beli suara atau vote buying, menjadi bagian yang tidak bisa dihindarkan dalam kontestasi politik Indonesia.
Para politisi bersikap pragmatis dan para pemilih pun bersikap pragmatais.
Dalam sistem proporsional terbuka yang sekarang berlaku, persaingan terbuka dan cenderung brutal terjadi di antara calon legislatif sesama partai dan persaingan melawan sekian banyak calon dari sekian banyak partai lain.
Hubungan pemilih dengan politisi yang dipilih adalah hubungan beli putus.
Hubungan pragmatis ini dikenal sebagai NPWP, nomor piro wani piro, nomor berapa dan berani bayar berapa.
Per kepala pemilih sudah dihargai dengan nilai rupiah tertentu.
Hubungan anggota legislatif dengan pemilihnya bersifat transaksional, karena pemilih tidak merasa terwakili oleh anggota legislatif yang dipilihnya.
Anggota legislatif lebih merasa sebagai wakil partai ketimbang menjadi wakil rakyat di konstituennya
Partai politik bertindak sebagai kendaraan pada saat kontestasi politik 5 tahun sekali.
Setelah pemilu 5 tahunan partai politik terputus hubungan dengan konstituennya.
Pola hubungan yang putus-nyambung ini melahirkan politik pragmatisme yang serbatransaksional.
Ilmuwan politik Australia Edward Aspinall dan Ward Berenschot melakukan penelitian panjang di Indonesia, India, dan Meksiko mengenai pola hubungan pemilih dan para politisi di masing-masing negara.
Hasil penelitian komparatif itu dituangkan dalam buku ‘’Democracy fo Sale: State and Clientelism in Indonesia’’ (2018).
Aspinall dan Berenschot menemukan bahwa partai politik di Indonesia tidak bekerja sebagai penyambung aspirasi publik kepada pemerintah untuk menyuarakan berbagai kebutuhannya.
Partai politik hanya berfungsi sebagai kendaraan bagi para politisi yang ingin menjadi kepala daerah atau menjadi anggota legislatif.
Dalam kasus pemilihan calon kepala daerah, partai politik menjadi kendaraan untuk memenuhi syarat pendaftaran.
Calon kepala daerah memenuhi biaya mahar untuk mendapatkan rekomendasi partai.
Setelah rekomendasi didapat, calon kepala daerah itu membentuk tim sukses yang berasal dari orang-orang kepercayaannya sendiri.
Tim sukses dan tim pemenangan inilah yang bekerja sebagai penyalur uang untuk vote buying dan keperluan money politics.
Para anggota tim sukses ini juga yang nanti akan mendapat reward ketika menang pemiihan kepala daerah.
Reward utama yang mereka terima adalah berbagai macam proyek dari APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah). Dari situlah klientelisme mulai terbangun.
Pola hubungan transaksional jual beli yang pragmatis ini menjadi pola yang baku dalam kontestasi politik di Indonesia.
Setiap lima tahun sekali pola ini terulang. Fenomena inilah yang oleh Aspinall dan Berenschot disebut sebagai fenomena khas Indonesia yang tidak terjadi di India maupun Meksiko.
Di dua negara itu, partai politik bekerja sepanjang tahun dan menjadi jujugan publik untuk mengadukan berbagai kepentingan sehari-hari.
Hubungan klientelisme tercermin dari para anggota parlemen yang mengandalkan APBD sebagai sumber untuk mendapatkan modal untuk pertarungan politik.
Untuk mendapatkan modal politik ini para anggota parlemen mambangun hubungan klientelisme dengan kepala daerah berdasarkan prinsip tahu sama tahu.
Kasus dana hibah di DPRD Jatim menjadi salah satu bukti baru mengenai praktik politik transaksional dan klientelisme di Indonesia.
Kalau KPK bisa mengungkap kongkalikong anggaran antara pimpinan legislatif Jawa Timur dengan pimpinan eksekutif, maka sempurnalah sudah praktik jual beli demokrasi di Indonesia. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror