Mengenal Tukirin Partomihardjo, 34 Tahun Meneliti Biota Krakatau

Bertiga Nyaris Mati Dihujani Batu Berapi

Senin, 08 Juni 2015 – 05:05 WIB
PENGABDI KRAKATAU: Tukirin Partomihardjo di depan miniatur Gunung Krakatau di kantornya, LIPI Cibinong. Foto: Tri Mujoko Bayuaji/Jawa Pos

jpnn.com - Anak Gunung Krakatau merupakan salah satu fenomena yang menjadi perhatian dunia. Ratusan pakar pernah datang untuk meriset gunung berapi yang masih aktif tersebut. Salah satunya Tukirin Partomihardjo yang separo hidupnya didedikasikan untuk Krakatau.

Laporan Tri Mujoko Bayuaji, Cibinong

BACA JUGA: Judit Nemeth-Pach, Duta Besar Termuda Hungaria yang Senang Olahraga Ekstrem

USIANYA tidak lagi muda, 63 tahun. Sosok Tukirin Partomihardjo boleh dibilang salah seorang peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Meski sudah sepuh, Tukirin sampai saat ini masih aktif bolak-balik mengunjungi anak Gunung Krakatau di kawasan Selat Sunda untuk meneliti biota laut di sana.

’’Sekitar dua bulan lalu saya baru dari sana. Tahun lalu tiga kali saya ke sana,’’ ujar Tukirin ketika ditemui Jawa Pos di Pusat Penelitian Biologi LIPI di Cibinong, Jawa Barat, Kamis (4/6).

BACA JUGA: 19 Tahun Gagap Bicara Sekarang Jadi Pembicara

Secara fisik, Tukirin ternyata masih kuat untuk melakukan penelitian langsung di Krakatau. Bahkan, dia mengaku sanggup diadu dengan peneliti muda sekalipun. ’’Resepnya sederhana, banyak makan buah dan sayuran, mengurangi gula, istirahat yang cukup, dan hidup yang santai,’’ ujar suami Sumarhani itu, lantas tertawa.

Perkenalan Tukirin dengan anak Gunung Krakatau dimulai pada 1981. Ketika itu, Tukirin mendapat tugas training yang diadakan LIPI bekerja sama dengan badan PBB UNESCO. Subjek penelitiannya saat itu terkait dengan Selat Sunda, termasuk anak Gunung Krakatau.

BACA JUGA: Hindari Makan Nasi, Daud Yordan Konsumsi 9 Kg Semangka

’’Waktu itu, saya baru tahu bahwa Krakatau sudah menjadi objek peneliti dunia, bahkan sejak letusan monumental pada 1883,’’ katanya.

Tukirin yang waktu itu berusia 29 tahun dan masih berstatus peneliti muda menyatakan langsung jatuh hati pada gunung berapi tersebut. Dengan status salah satu gunung paling aktif di dunia, lingkungan sekitar Krakatau saat ini masih menjadi habitat tumbuhan dengan sistem yang sederhana.

’’Krakatau menjadi tempat yang tepat buat saya. Sebab, jenis tumbuhan di sana tidak terlalu kompleks karena suksesi awal itu,’’ jelasnya.

Pada perjalanan waktu, hampir setiap tahun Tukirin mengunjungi ’’kekasih hatinya’’ itu. Paling lama, kunjungannya ke Krakatau berjarak dua tahun. Selebihnya dilakukan hampir setahun sekali. Selama itu, Tukirin sering dimintai bantuan untuk mendampingi para peneliti dari berbagai negara.

’’Ada yang dari Kagoshima University di Jepang, ada yang dari Australia, serta dari Inggris seperti Oxford, Leeds, dan Nottingham. Lalu, dari Belanda, ada yang dari Utrecht University,’’ ungkapnya.

Mendampingi peneliti dari berbagai negara itu sekaligus menjadi sarana bagi Tukirin untuk ikut belajar. Tukirin banyak terinspirasi cara peneliti asing saat melakukan penelitian, yakni mereka memiliki target tinggi untuk bisa memublikasikan hasil karyanya. Keseriusan Tukirin itu berbuah ajakan dari Kagoshima University untuk melanjutkan studi doktoralnya di sana.

’’Saya menyelesaikan studi doktoral saya di Kagoshima University pada 1992 sampai 1995. Penelitian saya adalah studi biota Krakatau,’’ katanya.

Bagi Tukirin, ketertarikan dunia internasional terhadap Krakatau tampak seperti ironi bagi bangsa Indonesia. Hampir setiap tahun ada saja peneliti yang datang meminta pendampingan untuk meneliti biota Krakatau. Sementara itu, dari dalam negeri, relatif jarang atau hampir tidak ada penelitian berkelanjutan mengenai Krakatau. ’’Memang terkadang ada, tapi hanya temporer,’’ ujarnya.

Bukan hanya penelitian ilmiah, Krakatau tidak jarang menarik minat stasiun televisi internasional untuk diabadikan dalam film dokumenter. Dalam hal ini, lagi-lagi Tukirin juga diminta mendampingi. Sebab, sampai saat ini, hanya dialah orang Indonesia yang memiliki data biota lengkap anak Gunung Krakatau dari tahun ke tahun.

’’Di Krakatau itu terjadi penghancuran oleh alam sekaligus upaya perbaikan oleh alam yang terjadi berulang-ulang. Di daerah tropis, hal itu satu-satunya hanya terjadi di Krakatau,’’ tutur bapak dua anak itu.

Karena objek penelitiannya adalah lingkungan gunung yang aktif, tidak jarang Tukirin harus berhadapan dengan letusan-letusan Krakatau. Dia mengaku sudah berkali-kali harus berhadapan dengan fenomena erupsi anak Gunung Krakatau. ’’Kalau mau dihitung 10 kali (berhadapan dengan letusan anak Gunung Krakatau) juga ada,’’ ujarnya, lalu tertawa.

Salah satu letusan Krakatau yang masih terkenang sampai saat ini adalah letusan pada 1999. Saat itu, Tukirin bersama ahli vulkanologi Indonesia, Gede Swastika, mendampingi kru dari Zebra Film. Kru film asal Australia tersebut bermaksud mendokumentasikan aktivitas letusan Krakatau. Selama lima hari pertama, kru hanya mengabadikan letusan Krakatau dari Pulau Sertung, tidak jauh dari lokasi erupsi.

’’Setelah letusan mereda, kru ingin masuk ke lokasi erupsi, mendokumentasikan dampak letusan di sekitar lokasi,’’ ungkap Tukirin.

Malam sebelum bertolak, Swastika selaku ahli vulkanologi melakukan observasi. Disimpulkan bahwa besok anak Gunung Krakatau aman untuk didatangi. Sebagai tim awal, berangkatlah Swastika, Tukirin, bersama juru kamera Zebra Film yang bernama Simon ke lokasi.

’’Kami tiba untuk mengecek letusan terjauh mencapai area mana. Nanti kru film tidak melampaui batas itu,’’ paparnya.

Paginya, tiga orang itu mendarat dengan speedboat. Speedboat kemudian menunggu di tengah laut saat mereka melakukan observasi lapangan. Tim kecil itu lalu berpencar. Swastika dan Simon ke kanan, sedangkan Tukirin melangkah ke kiri.

’’Setengah jam saya mengecek wilayah erupsi, termasuk vegetasinya. Tiba-tiba terdengar suara dhuaaar...! Letusan besar sekali,’’ ujar Tukirin.

Krakatau meletus saat tiga orang itu masih berada di pulau tersebut. Tukirin melihat ratusan batu meluncur cepat dari atas kawah Krakatau. Dia pun bingung. Sebab, sebelum berpencar, tidak ada brifing bila tiba-tiba Krakatau meletus.

’’Dalam kepanikan itu, saya sempat berpikir akan mati saat itu,’’ kenangnya.

Letusan tersebut hanya berlangsung beberapa menit. Tiga orang yang tengah berada di sekitar Krakatau selamat. Tukirin, misalnya, beruntung karena terhindar dari hujan batu besar panas yang berjatuhan di pantai Selat Sunda, tempat dirinya mengamankan diri. ’’Bayangkan kalau batu itu menimpa saya,’’ ungkapnya.

Namun, kepanikan Tukirin cs belum selesai. Setelah erupsi, datanglah abu vulkanis yang turun dengan cepat. Tukirin beruntung lagi karena abu vulkanis itu bukan awan panas yang bisa menghanguskan apa saja yang dilewati, termasuk tubuh manusia.

’’Kami langsung naik ke speedboat. Lucunya, saya dipeluk erat-erat oleh Pak Swastika sambil ditanya, ’Ini Pak Tukirin, bukan?’ Saya jawab iya, lha ini kaki saya,’’ ujarnya, lalu tertawa mengenang jawaban seadanya tersebut.

Sejak saat itu, kata Tukirin, Swastika tidak bersedia lagi mengeluarkan rekomendasi untuk mengunjungi gunung yang masih aktif tersebut. ’’Sebab, aktivitas gunung itu tidak bisa diprediksi sama sekali, berbeda dengan teori manusia,’’ kenang Tukirin.

Seusai peristiwa itu, Tukirin sempat ditanya Swastika, bagaimana cara dirinya selamat dari letusan Gunung Krakatau. Saat mendengar bahwa Tukirin memilih berjalan, Swastika langsung mengingatkan bahwa cara itu salah.

”Cara yang benar saat menghadapi erupsi adalah berhenti dahulu, melihat ke atas untuk mengetahui ke mana arah batu erupsi melayang, baru berjalan menghindar,” kata Tukirin menirukan jawaban Swastika.

Tukirin mengatakan, sejatinya alam sudah memberikan kesempatan kepada manusia untuk kembali meneliti Krakatau. Pascaerupsi 1883, Krakatau sebenarnya sudah hilang, hanya menyisakan tiga pulau kecil yang menjadi kaki gunung, yakni Rakata, Sertung, dan Panjang. Namun, alam kemudian menunjukkan lagi Gunung Krakatau pada 1930, saat muncul kaldera baru yang kini dinamai Anak Gunung Krakatau.

”Ini sebenarnya kesempatan bagi para peneliti muda untuk melihat bagaimana sebuah bangunan alam yang hancur, lalu berangsur-angsur terbentuk kembali. Saya percaya suatu saat pasti ada (penerus saya, Red),” kata Tukirin.

Karena itulah, Tukirin masih menunggu generasi baru yang mau melanjutkan penelitiannya terhadap perilaku Krakatau. Tukirin bisa memahami bahwa kebijakan pemerintah masih cenderung memprioritaskan penelitian yang langsung memberikan dampak kepada masyarakat.

”Sementara penelitian terkait Krakatau adalah ilmu dasar, science for science. Jadi, memang jarang pemerintah mau mendanai penelitian seperti itu,” ujarnya.

Di sisa masa tugasnya yang tinggal dua tahun lagi sebagai peneliti LIPI, Tukirin memiliki obsesi untuk menyelesaikan buku yang khusus membahas pengalaman dirinya meneliti biota di Krakatau.

”Saya mencoba menulis agak ilmiah, tapi dengan bahasa populer. Ini memang sudah jadi tugas dan janji saya. Semoga sebelum pensiun sudah selesai,” tandas dia. (*/c5/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Agus Johanes Setyabudi Si Pencinta Batu Alam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler