Daoed Joesoef, Sosok Pengabdi Dunia Pendidikan

Jumat, 12 September 2008 – 13:09 WIB
Daoed Joesoef.

Daoed Joesoef yang bulan lalu genap 82 tahun masih aktif berkaryaLewat tulisan, mantan mendikbud yang menghapus libur puasa di sekolah ini tetap kritis menyoroti problem pendidikan

BACA JUGA: Beri Pesan Jangan Korupsi Jabatan

Ia juga memfasilitasi sang anak membuka sekolah dengan konsep baru di lahan rumahnya.

RIDLWAN HABIB, Jakarta

BUNGA kamboja merah (plumeria rubra) yang sedang mekar dan aneka tetumbuhan menghiasi bangunan bertingkat di Jalan Bangka VII, Jakarta Selatan
Selain asri, rumah milik Daoed Joesoef, menteri pendidikan dan kebudayaan 1978-1983 itu memang luas

BACA JUGA: Denny Indrayana Masuk Lingkaran Istana

Rumah yang hampir menyatu dengan SD Kupu-Kupu itu terhampar di atas lahan sekitar 8.500 meter persegi

Pagi itu Daoed yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadan sudah menunggu di beranda rumah

BACA JUGA: Doktor Asal Jombang Menangkan Kompetisi Teknologi Militer

”Ayo duduk, apa yang bisa saya bagi untuk Jawa Pos,” kata lelaki kelahiran Medan, 8 Agustus 1926 yang dikenal selalu on timeKicau burung-burung menambah segar suasana pagi itu
Menurut Daoed, bentuk bangunan, jenis tanaman, susunan taman, pot-pot bunga yang ada di rumah adalah hasil karya istrinya, Sri Soelastri”Rumah ini saya beli tahun 1959Satu tahun  setelah menikah, (pembayarannya) diangsur-angsur sampai 1964 sebelum saya studi ke Prancis,” katanyaHarga tanah saat itu masih Rp 40 per meter persegi.
Daoed membelinya dari Departemen KeuanganSebab,  kebetulan di instansi itu Daoed mengajar ilmu keuangan moneter”Meskipun saya bukan pegawai Depkeu, saya memang ditawari untuk beli tanah ini,” kata kakek dua cucu itu
Lahan itu makin luas setelah warga Kemang, Jakarta, pemilik tanah yang menjorok ke bawah dekat kavling Daoed ikut menawarkan lahannya”Pada 1973 saya pulang dari Prancis lalu bangun rumah sampai 1975Jadi, rumah, tanah, dan mobil saya miliki sebelum jadi menteriIni perlu untuk dicatat,” katanya
Daoed memiliki latar belakang yang unikOrangtuanya, pasangan Moehammad Joesoef dan Siti Jasiah, meski hanya bisa baca tulis huruf Arab sangat memperhatikan pendidikanSetelah masuk SD Melayu lima tahun di kota kelahirannya, Medan, Daoed mengikuti SD peralihan yang dibuka oleh Kesultanan Deli”Saat itu sulit sekali cari sekolah di SumateraSetiap hari saya jalan kaki 20 kilometer,” tuturnya.
Anak keempat dari lima bersaudara itu lalu masuk sekolah Belanda, HIS dilanjutkan ke MULOSaat  revolusi fisik Daoed ikut angkat senjata, hingga dia meninggalkan Sumatera menuju Jogja”Emak (Ibu) saya mengajarkan untuk selalu mencatat kejadian penting setiap hariItu juga saya lakukan, tapi sayang ada beberapa yang hilang karena dipinjam teman,” kata Daoed
Hijrah di Jogja, Daoed berkenalan dengan seniman-seniman di sanaBahkan, di kawasan Malioboro Daoed  dikenal sebagai pelukis yang anti penjajahDia bersahabat dengan Affandi, Tino Sidin, dan Nasyah DjaminDaoed juga sempat memimpin Seniman Muda Indonesia di Jogja.
Saat pendudukan Belanda pada 1948, Daoed melawan dengan membuat poster-poster penolakan terhadap pemerintah pendudukan NICA (Nederland Indies Civil Administration)Dia sempat ditangkap tapi lolosDaoed lalu hijrah ke Jakarta melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia”Saya dan Ibu (Soelastri, istrinya)  dulu satu SMA di JogjaLalu sama-sama kuliah di UISaya di ekonomi, Ibu di Fakultas Hukum,” katanya.  
Awalnya, kata Daoed, Soelastri disarankan sang paman masuk Fakultas Kedokteran”Tapi, sama dengan saya, Ibu takut darahNgeri dah pokoknya,” katanya lalu terkekeh
Saat kuliah, keduanya sama-sama berprestasiSoelastri jadi asisten Prof Hazairin, guru besar hukum adat, sedangkan Daoed jadi asisten Prof Soemitro Djojohadikoesumo yang terkenal sebagai begawan ekonomiSetahun sebelum lulus mereka menikah pada 9 Juli 1958.
”Tahun ini tepat 50 tahun pernikahan kamiKebetulan tanggal 9 Juli-nya juga RabuJadi persisHanya pasarannya saya lupa, pon, wage, atau kliwon,” kata pria berdarah Aceh itu lalu tersenyum. 
Enam tahun setelah nikah mereka ke Paris, Prancis, karena Daoed memperoleh beasiswa Ford Foundation.  Dia diterima di Universite Pluri-disciplinaire de Paris I, Pantheon-Sorbonne”Sebenarnya Ibu juga dapat beasiswa dari Rockefeller FoundationTapi, karena anak kami Yanti (Sri Soelaksmi Damayanti)  baru umur satu tahun dua bulan, maka Ibu mengalah walaupun juga ikut ke Paris,” katanya
Apalagi, lanjut Daoed, kelahiran putrid tunggalnya itu sudah dinanti-nanti selama lima tahun”Ibu itu orang Jawa, takut kualat,” tambahnya
Daoed sukses mendapat dua gelar doktor sekaligusYakni, doktor untuk ilmu hubungan internasional dan keuangan internasional serta doktor untuk ilmu ekonomiSewaktu di Prancis itulah, pria yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis ini kerap mengadakan diskusi tentang ekonomi dan politik tanah airPulang dari Prancis, pada 1971, klub diskusi itu dilembagakan menjadi Center for Strategic and International Studies (CSIS), dan Daoed diangkat sebagai ketua dewan direksiSaat memimpin CSIS, pada 1978 Daoed menerima penugasan dari Presiden Soeharto sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Daoed yang masih aktif menulis artikel di media massa itu mengaku cemas dengan kondisi pendidikan sekarang”Saya khawatir kalau dana ditambah (menjadi 20 persen dari total APBN) justru semakin kacau, karena konsep dasarnya belum ada,” katanya
Dia juga prihatin dengan kondisi guru di IndonesiaAlasannya, guru  itu bukan orang sembaranganAda penelitian di Inggris, kata Daoed, rata-rata guru dalam setiap mata pelajaran membuat keputusan 300 kali”Sekarang ini ada anak-anak yang benci matematika karena gurunya salah mengajar,” katanya
Menurut Daoed, saat ini tidak ada pegangan yang jelas bagi dunia pendidikanDia lalu memberi contoh anaknya sendiri, Sri Soelaksmi DamayantiYanti, nama panggilan anaknya, adalah doktor di bidang ilmu mikrobiologi yang dulu dosen di IPB”Tapi, sekarang keluarDia tidak setuju kok universitas seperti perusahaan (biayanya mahal, Red)Anak-anak miskin bagaimanaPendidikan sekan-akan jadi komoditas,” katanya
Yanti akhirnya memilih mendirikan SD Kupu Kupu di lahan depan rumah merekaItu karena cucunya (anak Yanti), Garin, susah mencari sekolah yang tepat”Ada yang mengajarkan agama secara ekstremTapi, ada juga sekolah internasional yang semuanya diajarkan dengan bahasa Inggris tanpa peduli dengan sejarah kebangsaanJadi sekan-akan anak Indonesia hanya diajari keterampilan mengeduk kekayaan saja,” katanya.
Saat jadi menteri Daoed memang dianggap kontroversialDialah yang menghapus kebijakan libur sekolah selama satu bulan puasa yang sudah berlaku puluhan tahun”Saat itu saya sempat dihujatKatanya nama saya campuran nama dua nabi dan berdarah Aceh kok melecehkan IslamSaya bilang, siapa yang melecehkan, saya justru mengembalikan kemuliaan Islam,” katanya
Bagi Daoed, Islam adalah agama paling modernKarena itu, mengapa harus memaksakan keimanan kepada orang lainMeski sekarang ini sekolah tetap aktif selama Ramadan, ada yang tetap membuatnya khawatir”Sekarang kalau puasa, tempat hiburan dipaksa tutupRumah makan dipaksa tutupPadahal, kalau kita melihat orang makan sebenarnya justru menjadi ujian keimanan,” kata Daoed
Menurut dia, Islam harus dipandang sebagai religion of love (agama penuh cinta)”Tapi yang terjadi hari ini religion of fear, agama yang menyebabkan ketakutan,” katanya
Saat jadi menteri, Daoed juga pernah membuat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang dikritik banyak kalangan sebagai mematikan demokrasi”Bagi saya itu justru menormalkan kampus sebagai komunitas intelektualBukan untuk politik praktis dan ditunggangi politisi pengecut yang memakai nama anak kampus,” katanya
Tapi, bukankah pemuda masa lalu juga sudah berpolitik?  Menurut dia, konteksnya lainDia mencontohkan Mohammad Hatta yang menunda lulus di Sekolah Tinggi Dagang Belanda karena ada mata kuliah baru: tata negara”Beliau tahu untuk membangun negara perlu ilmu ituJadi, rela menunda lulus,” katanya
Daoed mengaku bersyukur dikaruniai umur panjangSetiap pagi, selama 20 menit, dia selalu menyempatkan berjalan-jalan di sekitar rumah.Untuk menjaga kesehatan, dia selalu menjaga makanMisalnya, tak boleh makan terlalu banyak garam dan lebih banyak melahap sayur-sayur beningIni memang melawan kebiasaan orang Sumatera yang suka  masakan bersantan”Sekarang ini saya makan bukan lagi untuk mencari nikmat,” katanya(el)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Andreas: Aku Paparkan Fakta, Selanjutnya Terserah Anda...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler