Seratus orang hanya bermimpi, berikan aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia! Nukilan pidato Bung Karno, Presiden RI I itu mirip dengan kata-kata Dr (HC) Ir Ciputra kepada mantan Gubernur DKI Ali Sadikin 1977-1981. Ciputra meminta izin untuk serius membina bulutangkis saja, dari tiga cabang –sepak bola dan atletik—yang diperintahkan gubernur fenomenal itu.
Apa yang terjadi? Ciputra sempat dicemooh dan dicaci maki oleh masyarakat olahraga. Pertama, kala itu klub sepakbola Jaya Raya sedang berkibar dan berpotensi merebut papan paling terhormat di pentas kompetisi nasional. Kedua, sepak bola dianggap olahraga rakyat, olahraga yang paling popular, alat pemersatu bangsa, dan satu-satunya cabang yang dalam 90 menit bisa mengumpulkan lebih dari 100 ribu pasang mata di satu stadion. Ketiga, Ciputra tetap bersikeras menutup klub sepak bola yang sudah terlanjur menjadi kebanggaan Jakarta itu.
Ciputra juga dianggap keliru, melepas pembinaan dan pendampingan cabang atletik. Karena atletik yang meliputi lari, lempar, dan lompat adalah ibu-nya olahraga, olahraga paling tua, sudah dipertandingkan sejak Olimpiade tahun 776 SM, paling murah, paling terjangkau, dan menjadi tambang medali terbanyak di PON, Sea Games, Asian Games, sampai Olimpiade. Atletik, bagi daerah, dianggap lumbung medali paling strategis, selain renang.
BACA JUGA: Komitmen Itu Energi Inti yang Kekuatannya Melebihi Kasih
Ada puluhan nomor, dari lari sprint, 100 meter, 200 meter, 400 meter. Ada lari jarak menengah, 800 meter sampai 3.000 meter, 800 meter, 1.500 meter, 1 mil dan 3.000 meter. Ada jarak jauh 5.000 meter, 10.000 meter. Ada lari berhalang, ada estafet 100 meter, 200 meter, 400 meter, dan 800 meter. Lari marathon, lari cross country, trilomba (triathlon), pancalomba (pentathlon), heptathlon dan dasalomba (decathlon). Juga ada nomor-nomor semacam tolak peluru, lempar martil, lempar lembing, lompat jauh, lompat tinggi, lompat galah, dan lainnya.
Lalu mengapa Ciputra saat itu berani berseluncur di atas gelombang polemik olahraga nasional? Sementara Bang Ali dikenal sebagai gubernur yang sangat tegas, sangat agresif membangun ibu kota di semua lini, termasuk olahraga. “Bang Ali paham saya, kalau mengerjakan sesuatu itu harus dari dalam hati. Beliau tahu, tanpa energi dari hati, sesuatu itu tidak akan sukses. Sama dengan saya mengoleksi karya lukisan Hendra Gunawan dan membangun museum. Itu bukan sekedar janji saya, tapi itu sudah menjadi cita-cita saya,” jawab Pak Ci, sapaan akrab pemilik nama Tjie Tjin Hoan ini.
BACA JUGA: Perkawinan Art dan Entrepreneur Melahirkan Artpreneur
Lebih lanjut Ciputra selalu menggaris bawahi makna penting wawasan ke depan. “Itu yang sering saya sebut “vision.” Kemampuan melihat masa depan. Dan itu baru terjawab belakangan ini, butuh 37 tahun untuk membuktikan kebenaran visi yang pernah saya sampaikan ke Bang Ali. Prestasi gemilang bulutangkis kita saat ini adalah salah satu buah dari vision yang kami yakini sejak 4 dekade silam,” jawab Ciputra, Bapak Entrepreneur Indonesia ini.
Tidak mudah, bersilang pendapat dengan seorang Letnan Jenderal KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) yang dipercaya Presiden Soekarno saat itu. Bang Ali dikenal sangat revolusioner, pemberani dan visioner dalam membangun metropolitan Jakarta. Karena itu, banyak ikon kota hasil karyanya yang masih eksis sampai kini, seperti Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, Kota Satelit Pluit Jakarta Utara, pelestarian budaya Betawi di Condet, dan lainnya.
BACA JUGA: Reformasi Birokrasi, Taruhannya Nasib Bangsa
“Saya tidak sedang mencari popularitas saat itu. Saya hanya mengejar prestasi dunia, saya ingin Indonesia Berjaya. Sampai sekarang pun, saya tidak mengejar citra atau image. Saya sudah 83 tahun, dan tidak berambisi menjadi presiden atau menteri. Saya konsisten menjaga spirit untuk mengejar prestasi di mata internasional. Kita guncang dunia dengan prestasi,” ungkap pengusaha properti yang pernah jatuh di krisis 1997 itu.
Pemikiran Ciputra saat itu memang fundamental. Biarkan sepak bola dan atletik diampu orang lain. Biarlah juara-juara nasional dikelola orang lain. Dia melihat bulutangkis adalah cabang yang memiliki prospek menjadi juara dunia. Ciputra ingin menancapkan nama Indonesia di mata dunia melalui badminton, cabang olahraga yang berasal dari London 1850-an itu. Satu trik untuk menaikkan pamor Merah Putih di mata internasional. Cara untuk mendengarkan alunan lagu Indonesia Raya di podium akbar Olympic Games.
Postur orang Indonesia dan rata-rata Asia itu tidak sebesar orang Eropa dan Amerika. Tetapi punya kelebihan dalam hal kelincahan, kecepatan, kelenturan, daya tahan, dan berada di iklim tropis yang panas. Bulutangkis, lebih cocok dikembangkan di Indonesia untuk merebut juara dunia, daripada sepak bola dan atletik. Persaingan ke depan lebih sulit dan berat. “Dengan program latihan yang baik, ditambah merekonstruksi visi atlet bulutangkis yang tepat, pasti akan menemukan pemain kelas dunia,” ucap pria yang pernah dinobatkan sebagai Entrepreneur of The Year 2007 versi Ernst & Young itu.
Komitmen kakek yang lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931 itu terhadap bulutangkis tak perlu diragukan. Sampai saat ini pun masih concern dengan bulutangkis. “Tiap tahun, kami budgetkan Rp 12 M untuk mencetak juara-juara yang siap mengguncang dunia. Kini kami sedang membangun pusat pelatihan yang lebih besar dari Sekolah Atlet Ragunan, persisnya di Bintaro Jaya, Jaksel dengan anggaran Rp 32 M lebih. Kalau sudah jadi, budget pengembangan kami bisa dua kali lipatnya,” ungkap pemilik Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group itu.
Tidak heran, jika di pentas Asian Games 2014 Inchoen, Korea Selatan lalu, tiga pemain Jaya Raya berhasil mengharumkan nama Indonesia. Di nomor ganda wanita, pasangan Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari (dua-duanya dari klub Jaya Raya), dan ganda pria Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan (Jaya Raya/Djarum) berhasil merebut medali emas. Tiga pemain berasal dari Jaya Raya, klub milik Ciputra yang didirikan setelah terinspirasi dari sukses Rudy Hartono, legenda bulutangkis yang 8 kali juara All England dan 7 kali berturut-turut itu.
Awal Oktober lalu, Ciputra mengapresiasi para juara itu dengan bonus masing-masing Rp 500 juta. Dikemas dalam acara Apresiasi Peraih Emas Asian Games 2014 di Bintaro Jaya Xchange Mall, Bintaro Jaya, Banten, pria jebolan ITB Bandung itu menyerahkan sendiri hadiah simboliknya. Jaya Raya yang dibangun sejak 1975 itu sudah tercatat dalam sejarah prestasi dunia pebulutangkis Indonesia. Sebut saja Susy Susanti, peraih emas Olimpiade 1992, Mia Audina medali perak Olimpiade Atlanta 1996, Chandra Wijaya/Tony Gunawan merebut emas di Olimpiade Sydney, ganda Markis Kido/Hendra Setiawan emas di Olimpiade Beijing.
Lalu bagaimana masa depan bulutangkis kita? Terus maju dan menjadi jawara dunia.(*)
Don Kardono
Pemimpin Redaksi Indopos
BACA ARTIKEL LAINNYA... Muhasabah Olah Sampah
Redaktur : Tim Redaksi