jpnn.com - Ada satu poin emas yang hampir tidak pernah terbaca oleh public, dari sekian banyak kelebihan Dr (HC) Ir Ciputra. Dia menyebut ”komitmen,” semacam keteguhan hati, kemantapan sikap, kekuatan prinsip yang dijaga, dijalankan dan dipupuk secara terus menerus sepanjang hayat. Komitmen itu segalanya, melebihi kasih, melewati batas-batas cinta.
BACA JUGA: Perkawinan Art dan Entrepreneur Melahirkan Artpreneur
Suasana perayaan Ulang Tahun Perkawinan yang ke-60 yang dilangsungkan di Ci putra Artpreneur, Ciputra World I, Jl Satrio Kav 3-5, Jakarta bulan lalu, masih membekas di benak. Bagi kakek 83 tahun yang masih aktif olahraga berenang hampir setiap hari itu, api abadi yang menjadi energi inti seseorang adalah ”komitmen.” Tidak ada yang melebihi itu.
Dia menggambarkan kehidupan berumah tangganya, sampai terjaga utuh selama 60 tahun, dan masih tetap aktif mendidik anak cucunya berbisnis sampai sekarang. Bukan lagi sekedar cinta, atau kasih, yang menjadi sumber perekat abadi hubungan membangun keluarga itu. Cinta bisa pudar, seperti warna asli lukisan dan patung-patung. Kasih bisa berkurang, karena usia.
BACA JUGA: Reformasi Birokrasi, Taruhannya Nasib Bangsa
”Tetapi yang namanya komitmen, itu semakin lama semakin membatu, semakin memfosil, semakin kuat,” ucap Ciputra serius.
Energi ”komitmen” itulah yang menjadi obor dalam segala hal, termasuk dalam mem bangun keluarga bersama sang istri Dian Sumeler. Ciputra mengaku dua kali di babtis, dua kali dilahirkan sebagai Kristen, selama ini. Pertama, saat dia lahir dari keluarga Kristen.
BACA JUGA: Muhasabah Olah Sampah
Kedua, saat bisnisnya sedang runtuh, asetnya ludes di krisis ekonomi hebat mengguncang negeri tahun 1998. ”Sejak itu saya lebih banyak beribadah, pergi ke gereja, hidup seimbang, menjaga hak dan kewajiban dalam hubungan sebagai manusia dengan Tuhan, serta dan hubungan antarmanusia,” ungkapnya.
Badai krisis ekonomi kala itu, memang menghantam semua bisnis propertinya. Terutama tiga grup yang menjadi back bone usahanya, Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group. Bank Ciputra yang didirikannya pun terpaksa harus mengakhiri operasionalnya.
Asuransi Jiwa Ciputra Allstate yang baru dirintis menjelang krisis pun ikut terhempas. Setelah mengubah komitmen hidupnya, Ciputra seperti lahir kembali dengan spirit bekerja yang sama kerasnya. Hubungan dengan maestro pelukis Hendra Gunawan, yang sekitar 130-an karyanya dia koleksi, juga sangat menarik dikupas.
Ciputra menemukan hasil coretan Hendra itu sebenarnya tidak sengaja, saat melihat lukisan itu di rumah seorang saudara. Ciputra lama menatap lukisan itu, yang sangat menginspirasi. ”Lukisan yang visioner. Dia membuat lukisan itu cepat, sekali sket, sekali gores, tidak ditum puk-tumpuk, original, gambar itu seperti sudah ada di kepalanya, lalu di depan kanvas dan cat, dia mentransfer meaning yang ada di otaknya ke dalam bentuk lukisan,” kenang Ciputra.
Lukisan Hendra Gunawan itu seperti apa sih? Bagi orang awam, melihat lukisan itu menemukan kesan dan point of view yang beragam. Ada yang melihat, rambut tebal alami seperti sedang ditiup angin ke depan atas. Bi birnya tebal, menor dan menantang.
Lekukan payudara yang menonjol montok, dengan baju dalaman dan bra yang sedikit terin tip mata. Pantat yang mirip bentuk biola yang seksi. Motif desain baju dan pakaiannya, berwarna-warni, cerah, ceria, dan dinamis. Tema-tema keluarga, ada ayah, ibu, anak, adalah topik yang paling menyentuh hati Ciputra.
Ayah dan ibu mengajak main dua anak lakinya yang kembar, dengan binatang peliharaan, ikan dan anjing. Itu mengingatkan konglomerat yang masa kecilnya acap disapa Hoan itu, pada dua anak kembarnya, Cakra dan Candra Ciputra. ”Hidup di Bali dengan alam pantai, pasir dan langit yang indah juga mempengaruhi tema-tema lukisan Hendra Gunawan.
Tidak heran kalau temanya berkutat pada kehidupan di kampung nelayan. Main ikan, digigit ke piting, empat perempuan menunggu suami nya datang melaut dengan ngerumpi, sambil mencari kutu di rambutnya. Ibu menggendong anaknya yang berkesan damai, family, dan bahagia dalam kesederhanaan,” jelas Insinyur yang lulus ITB pada tahun 1960 itu.
Komitmen Ciputra dengan keluarga Hendra Gunawan pun, tak lekang di makan waktu. ”Tahun 80-an, saya sudah berkomitmen untuk memiliki museum pribadi, untuk memamerkan koleksi Hendra Gunawan. Itu pernah saya tulis dalam sebuah surat kepada Hendra, dan setelah 40 tahun, saat ini, museum ini benar-benar berdiri,” kenang Ciputra yang sudah meresmikan Ciputra Artpreneur itu.
Bukan hanya sampai di situ. Ciputra pun komit untuk menghidupi, keluarga sang maestro Hendra Gunawan sampai sekarang. Ciputra merasakan, Hendra adalah salah satu bagian dari konstruksi kebesaran visi dan nama Ciputra saat ini. Karya-karya Hendra turut menaikkan spirit dan inspirasi dalam memilih jalan hidupnya. ”Itulah kekuatan komitmen, yang melebihi cinta dan kasih,” ucap Ciputra.
Buat Ciputra, ambisi itu sebenarnya sudah tidak ada. Dia tidak ingin menjadi politisi, tidak ingin jadi presiden, jadi menteri, atau anggota DPR RI. Dia tidak mengejar menjadi board dari organisasi-organisasi social, profesi, apalagi politik. Tetapi komitmen hidupnya untuk memajukan negeri, dengan memperbanyak jumlah dan kualitas entrepreneur, itu tidak akan berhenti sampai kapan pun.
Sampai hal yang kecil-kecil, soal desain, soal pilihan warna, soal teste, soal flowing, soal projek developing, dan lainnya, Ciputra masih ikut memikirkan. Jangan heran kalau di rumahnya, Jalan Bukit Utama Golf, Pondok Indah, Jakarta Selatan itu masih sering ada karyawannya yang konsultasi ini-itu.
”Iya, itu namanya proses penularan. Entrepreneurship itu tidak cukup diajarkan di bangku sekolah. Ada tiga jalur yang bisa dilakukan. Pertama, penularan lewat keluarga. Kedua, mensuasanakan dalam lingkungan. Ketiga, pendidikan melalui sekolah. Di situlah virus entrepre neur ship itu dibenihsebarkan,” ungkap Ciputra.
Pertanyaannya: kita berada di mana? Sebagian dari rakyat Indonesia ini berada di bagian mana? Berapa banyak yang orang tua dan keluarga besarnya pengusaha? Yang mau menularkan ilmu usahanya kepada anak dan keluarganya? Berapa banyak tempat, lokasi, kawasan yang mendorong iklim berbisnis? Lalu, bagaimana dunia pendidikan kita mendorong entrepreneur berkembang?
”Banyak pekerjaan yang masih harus kita lakukan untuk mencetak wirausahawan baru, entrepreneur muda, yang lulus kuliah sudah menciptakan pekerjaan dan membuka lapangan kerja buat orang lain. Bukan sekadar berburu pekerjaan, menjadi PNS saja. Negeri ini kaya, dan kita harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ungkap Ciputra yang juga pengagum pelukis yang eksis di Jogja, Affandi Koesoema itu. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Potensi Penggunaan Panas Matahari untuk Pendingin
Redaktur : Tim Redaksi