Dari Pinisiq hingga Phinisi

Senin, 05 Desember 2016 – 11:31 WIB
Kapal Pinisi Pusaka Indonesia. Foto: Tawakkal/FAJAR

jpnn.com - BERDASARKAN penelitian Antropolog Jerman Horst H Liebner, sejarah kapal Pinisi bermula pada Abad 19. Apa betul?

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Bukan Sulawesi, Pinisi Berasal dari Daerah ini?

Pada awal Abad 19, Horst memulai kisah, seorang pelaut melarikan diri dari sebuah kapal layar berukuran besar asal Eropa. Namanya Martin Perrot. 

"Kalau bukan Prancis, dia orang Jerman," pengajar di Universitas Hassanudin itu mengira-ngira. "Ada yang bilang ia tak mau ikut ke Jawa ketika Malaka diserahkan ke Inggris."

BACA JUGA: Pinisi "Kapal Baru Kemarin" (1)

Orang itu ke Trengganu, Malaya. Bekerja sebagai tukang besi dan menikah dengan gadis setempat. Suatu hari, Sultan Baginda Omar, Raja Terengganu meminta si bule membantu membangun sebuah perahu yang paling modern.

Maka, dibangunlah sebuah kapal sekunar. Menyerupai kapal gaya Barat. Terutama layarnya. Begitu jadi, dipakai sebagai perahu kerajaan. Horst berpendapat inilah perahu Pinisi pertama.

BACA JUGA: RIP Fidel Castro, Hasta Siempre Comandante...

"Pada 1846, saat berlabuh di Kuala Terengganu, seorang nakhoda Inggris jumpa dan Martin Perrot. Saat itulah ia bercerita tentang kisah tersebut," papar Horst. 

Menurut tradisi Melayu, Horst memperkuat asumsinya, perahu itulah yang dijadikan contoh untuk membangun perahu sejenis yang dinamakan pinas atau penis. 

"Mungkin sekali meniru kata pinasse yang dalam bahasa Prancis dan Jerman pada zaman itu menandai sejenis kapal layar berukuran sedang," katanya. 

"Pembuat kapal di Sulawesi juga mengatakan, pinisi bukan nama lambung kapal. Tapi sebutan untuk layarnya," sambung Horst. 

Mudah ditebak. Dia sedang mengajukan teori bahwa pinisi berasal dari kata pinnasee.

Literasi Tertulis

Untuk memperkuat teorinya, Horst mengajukan sumber-sumber tertulis. Bahwa berdasarkan catatan Hindia Belanda, keberadaan Pinas pertama tercantum dalam almanak 1864.

Tertulis dengan ejaan Pinisch. Berasal dari Belitung (kawasan Selat Malaka). Jumlahnya 4 buah. Seluruhnya milik dan dinakhodai orang Melayu dan Tionghoa. 

Menurut catatan itu, perahu-perahunya berukuran kecil. Yang paling besar Pinisch Paulina milik Tjen Kang Ngie yang dapat memuat 50T, artinya, panjang kira-kira 17M. 

Daya muat tiga perahu lainnya tak melebihi 20T. Tahun-tahun berikutnya, makin banyak perahu jenis ini terdaftar kawasan Kepulauan Belitung-Riau.

"Hingga 1872, tipe ini telah tersebar ke pulau Bali. Namun sampai saat itu, perahu sejensis belum terdaftar di pelabuhan Makassar, ungkap Horst dalam Beberapa Catatan akan Sejarah Pembuatan Perahu dan Pelayaran Nusantara.

Bila benar begitu, kenapa kapal Phinisi identik dengan pelaut Bugis? Bahkan hingga kini sentra pembuatannya berada di kawasan Sulawesi? 

"Kampung Ara satu di antara pusat pembuatan perahu di Sulawesi," Horst yang puluhan tahun menetap di Sulawesi punya jawaban menarik. 

Di kampung itu ada tradisi lisan, "pada 1906 perajin perahu Ara dan Lemo-Lemo membangun perahu Pinisiq (ujungnya dilafalkan sic) pertama untuk seorang nakhoda Bira, kampung asal pelaut terkenal."

Nah, sekian dekade berikutnya, perahu jenis ini marak di sana. Sehingga kata pinisi mulai disamakan dengan para pelaut Bugis--maksudnya pelaut asal Sulawesi meski berbahasa Bugis, Makassar, Mandar dan Konjo. 

"Secara harafiah, bagi para pelaut Sulawesi istilah pinisi hanya menandai layar dan tali temali. Yakni tujuh sampai delapan helai layar, terpasang pada dua batang tiang," tandas Horsts. 

Kini, ia utuh dikenal sebagai jenis kapal; Kapal Pinisi atau Perahu Pinisi. Ejaannya pun menjadi Phinisi. 

Sebab, "kalau ditulis Pinisi, orang Amerika akan menyebutnya painisi. Jadi saya tambah ph-nya (Phinisi--red) ketika mau ditawarkan ke Vancouver tahun 1985," ungkap Horst menirukan ucapan salah satu pengurus Phinisi Nusantara.

Bila tak keliru menyimak, lebih kurang begitulah paparan yang disampaikan ilmuwan Jerman tersebut dalam seminar Membedah Sejarah Armada Nusantara yang dihelat Kemenko Maritim, di Museum Bahari, Jakarta, 25 November 2016.

Masuk akal. Menelannya mentah-mentah? Nanti dulu. 

Sejauh mana akurasi kajian ilmuwan Barat tersebut? Mengingat ada ritual adat mengiringi pembuatan dan pelayaran Pinisi. 

Dari sudut ilmu pengetahuan, adat harus punya logika, yakni ilmu untuk mengolah ilmu. Analisa. Adat Barat dianalisis dengan logika Barat. 

Dalam ilmu Barat, logika berasal dari kata logos yang artinya akal. Dan adat, bukan sekadar akal. Lebih dari itu ia juga perasaan yang melahirkan budi. Akal budi. 

Bukannya tak mengindahkan ilmu Barat. Logika Barat tentu perlu  dipahami untuk memahami adat dunia. 

Tapi, sejauh mana logika Barat--satu contoh--bisa menjabarkan kemampuan pelaut Bugis yang lihai mendeteksi angin hanya dengan daun telinga? (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rempah, Rahasia Bumbu Bercinta Tempo Doeloe


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler