Rhiana Jenkins tadinya bekerja sebagai guru di Wilayah Utara Australia ketika ia memutuskan untuk mengejar mimpinya, yakni hidup di Antartika.
Delapan tahun kemudian, ia tiba di benua terdingin, terkering dan paling berangin di dunia, dengan sebuah koper penuh kostum.
BACA JUGA: Akibat Gelombang Panas, Budidaya Abalon Marak Dilakukan di Australia Barat
Rhiana menghabiskan satu tahun untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan petugas medis di fasilitas penelitian Antartika milik Selandia Baru, yakni ‘Scott Base’ atau stasiun ‘Scott’.
BACA JUGA: Ditahan Karena Lecehkan Perempuan Muslim, Pria Ini Justru Diserang di Penjara
Ada 42 stasiun di Antartika yang dioperasikan oleh 30 negara, termasuk Australia.
Rhiana bergabung dengan tim inti stasiun ‘Scott’ pada bulan September 2013, di akhir musim dingin di benua itu.
BACA JUGA: Hapus Simbol Kolonial, Fiji Ganti Bendera Negaranya
"Di musim dingin, tak banyak kegiatan penelitian yang dilakukan. Tim inti membuat stasiun terus beroperasi dan membuat sesuatu tetap hangat, sehingga semuanya berjalan dan siap untuk musim panas," jelasnya.
Musim dingin di Antartika bisa sangat terisolasi, dengan jumlah penduduk benua itu turun ke sekitar 1.000 orang pada bulan Juni.
Saat matahari berada di khatulistiwa (atau disebut ‘equinox’), biasanya ada beberapa minggu di mana matahari tak muncul sama sekali.
Satu-satunya kontak langsung stasiun ‘Scott’ di Antartika adalah fasilitas penelitian Amerika Serikat, stasiun ‘McMurdo’.
Meskipun ada periode isolasi yang intensif, Rhiana menemukan banyak hiburan selama musim dingin.
"Sebelum kami pergi, kami diminta untuk mengenakan kostum. Anggota yang lain juga memiliki sendiri ... mereka punya banyak kostum, topi, rambut palsu dan make up serta segala macam hal," ceritanya.
Hasilnya adalah pesta makan malam bertema bajak laut dan kompetisi antar-bangsa yang memberi tiap stasiun penelitian waktu sebanyak 24 jam, untuk membuat dan mengirimkan sebuah film pendek.
"Amerika melakukan reka ulang ‘Aliens’. Mereka berkeliling dengan eskavator yang mereka miliki, tanpa lampu. Beberapa film lainnya tak masuk akal sama sekali, dan ada juga yang sangat berseni dan keren," tutur Rhiana.
Hidup sebagai pekerja di Antartika berubah ketika benua ini mulai mencair dan meleleh di musim panas.
"Saya melihat banyak aktivitas di musim panas, karena jelas siang hari menjadi 24 jam. Anda bisa pergi ski di suatu pagi atau bisa juga berseluncur dengan papan salju,” ujarnya.
Saat cuaca menghangat, semakin banyak hewan mendekati daratan dan lautan di sekitar stasiun ‘Scott’.
"Saya punya banyak pengalaman dengan satwa liar. Saya pikir kami mengalami tahun yang beruntung karena bongkahan es pecah tepat di depan stasiun, dan itu memunculkan paus," kisahnya.
Rhiana mengatakan, menonton paus melompat dan diberi makan di dekat stasiunnya adalah salah satu "pengalaman favorit"-nya di Antartika.
Ia juga menghabiskan tiga hari di ‘Cape Bird’, tempat di mana ia duduk di pantai, di antara ribuan penguin ‘Adelie’.
"Ada anak ayam yang cukup besar datang dan berkokok ke arahku. Itu luar biasa juga," tuturnya.
Saat musim panas telah selesai, suhu kembali turun secara dramatis dan Rhiana menemukan dirinya berada di ‘putaran tikus’.
"Itulah saat di mana Anda pergi berkeliling dan menutup pintu sendiri. Itu sangat menyenangkan karena tenang, dan Anda bisa bekerja sendiri dalam damai,” tutur Rhiana.
Ia awalnya mengira, matahari terbit lebih awal, tapi kemudian ia menyadari hal itu adalah fenomena cahaya alami, yang disebut Aurora Australis.
"Cahayanya menari-nari di depan saya selama setengah jam. Saya ambil radio berusaha untuk menghubungi semua orang agar keluar. Saya berkata 'Stasiun Scott, Stasiun Scott, ada aurora yang menakjubkan', tapi tak ada yang keluar karena suhunya minus 50 derajat Celcius," ceritanya.
Rhiana meninggalkan Antartika pada akhir 2014 dan sekarang ia tinggal di iklim tropis Darwin.
"Saya senang jika bisa kembali ke sana, tapi saya juga senang ada di sini dan kembali ke kehidupan normal untuk sementara waktu, Untuk saat ini," urainya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Setahun Uang Kalah Judi Mesin Poker Warga Tasmania Setara Rp200 Triliun