Dari rahim siapa Angkatan Laut Indonesia lahir?

Kamis, 07 September 2017 – 08:45 WIB
Berita tentang sekolah pelayaran zaman Jepang di majalah Djawa Baroe. Foto: Wenri Wanhar/JPNN

jpnn.com - BENARKAH Angkatan Laut Republik Indonesia warisan kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang?

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Maritim!

Pertempuran-pertempuran di laut saat Perang Dunia I ternyata memberi kepastian atas kalah menangnya negara-negara yang berperang.

Dan Belanda dengan Koninkijke Marine (K.M)/angkatan lautnya terbukti tak sanggup mempertahankan perairan negeri jajahannya di Hindia Belanda dan Hindia Barat.

BACA JUGA: Yonmarhanlan Akui Ketangguhan Tim Satkamla Lantamal IV

Belajar dari pengalaman itu, usai Perang Dunia I, Belanda merekrut anak-anak negeri jajahannya untuk mengabdi dalam K.M.

Lembaga pendidikan kelautan yang didirikan Belanda di Indonesia antara lain, Prins Hendrik School Afdeling Zeevaarrkundig Leergang di Jakarta.

BACA JUGA: Bung Karno: Kita Bangsa Pelaut!

"Sekolah ini untuk mendidik calon mualim pelayaran besar," sebagaimana dicuplik dari arsip Sedjarah ALRI bertajuk Pengawal Samudera Pengawal Pembela Tanah Air.

Ada juga Kweekschool voor Inlandse Schepelingen di Makassar untuk mendidik calon rendahan dari Koninkijke Marine (K.M).

Lalu Zeevaartschool di Surabaya untuk mendidik calon mualim pelayaran besar dan mualim pelayaran interinsulair dan calon masinis.

Kemudian K.P.M. Zeevaartschool di Jakarta untuk mendidik calon mualim pelayaran besar dan calon masinis.

Tetapi, anak negeri jajahan hanya sebagai matros saja, atau pelayan dan koki. Tak akan diberi kesempatan memegang jabatan pimpinan.

Kemudian hari, karena kebutuhan, barulah di antara anak negeri jajahan yang dianggap dapat dipercaya diberi pangkat onder officer.

Pun demikian, di kapal pelayaran niaga sejumlah anak negeri jajahan ada yang beroleh jabatan perwira.

Meski jumlahnya hanya hitungan jari. “Di antara orang2 tadi dapat kita sebutkan di sini, beberapa nama jang dalam masa revolusi memegang djabatan penting dalam kalangan Angkatan Laut atau Djawatan Pelajaran. Jaitu; Pak Maridjo, Pak Pardi, Pak Adam, Pak Nazir, Pak Pirngadi dan lain2nja,” tulis arsip tersebut.

Pak Pardi dan Pak Nazir yang disebut arsip tersebut, di kemudia hari, setelah Indonesia merdeka pernah menjabat Kepala Staf TNI AL.

Pada 1940, ketika Perang Dunia II sedang menghebat, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melakukan mobilisasi besar-besaran dalam kalangan Zeemilitie untuk menjadi calon-calon perwira di tubuh K.M.

Semasa ini, barulah anak-anak negeri jajahan mendapat kepercayaan menduduki jabatan pimpinan.

Itu pun melalui saringan yang teramat ketat. Mengingat sebelumnya, pada 1933 meletus pemberontakan para pelaut di kapal penjelajah Belanda H.M.S. Zeven Provincien.

Pemberontakan Kapal Tujuh—begitu istilah populernya—terjadi karena kebijakan pemotongan gaji sebesar 17 persen untuk para pelaut rendahan anak-anak negeri jajahan.

Arsip Sedjarah ALRI menulis, “maksud mereka mengadakan pemberontakan supaja dapat diikuti oleh anggauta2 militer di K.N.I.L. Tetapi perhitungan itu gagal dan hanja terdjadi di kapal tersebut. Achirnja karena persiapan kurang sempurna, terpaksa Zeven Provincien menjerah dengan membawa korban 24 orang. Orang2 jang tersangkut dalam peristiwa ini oleh Belanda ditjap merah dan dianggap oleh masjarakat kolonial sebagai orang2 jang berbahaja, sehingga sukar mereka mendapat pekerdjaan sebagai pegawai negeri.”

Di tengah kecamuk Perang Dunia II, balatentara Jepang menyeruduk Pemerintahan Kolonialisme Hindia Belanda. Tanpa perlawanan berarti, Belanda menyerah. Bertekuk lutut, di Kalijati, Jawa Barat, pada 8 Maret 1942,

Gegara berhasil melepaskan Indonesia dari kolonialisme Belanda yang telah membelenggu ratusan tahun, dan datang dengan propaganda Asia untuk Asia, rakyat Indonesia menyambut Dai Nippon dengan gembira. Masa ini dikenal sebagai zaman Jepang.

Dan semasa pendudukan Pemerintah Fasisme Jepang (1942-1945), “saudara tua” juga mendirikan sejumlah lembaga pendidikan kelautan.

Yakni, Sekolah Pelayaran Bagian Tinggi (Kooto zeh Inyu Yoseiso) di Jakarta, Tegal, Semarang dan Cilacap. Sekolah ini dikenal dengan sebutan SPT, singkatan dari Sekolah Pelayaran Tinggi.

Ada juga Sekolah Pelayaran Rendah di Jakarta, Semarang dan Pasuruan. Sekolah Perikanan di Jakarta. Sekolah Bangunan-Bangunan Kapal (Zosen Gakko) di Jakarta dan Surabaya.

Kemudian, Jepang juga mendirikan Latihan Pelayaran untuk pembantu Kaigun dan Butai (Sen Zu Kunrensho) di Makassar dan Shonanto (Singapura).

Setelah memeriksa sejumlah literatur sejarah, ditemukan sebuah berita di majalah Djawa Baroe.

Majalah propaganda Jepang semasa menduduki Indonesia (1942-1945) itu memuat satu di antara materi sekolah pelayaran di Jepang yang jadi referensi pelajaran siswa Sekolah Pelayaran di Indonesia. Judul beritanya Sekolah Kapal Perang. Berikut cuplikannya:

Di Nippon, ada sebuah Sekolah Ra’Jat jang mempoenjai “record” jang gilang-gemilang jaitoe seloeroeh kelas mendjadi perdjoerit soeka-rela Angkatan Laoet.

Di sekolah terseboet, seloeroeh bangoenan sekolah diibaratkan sebagai seboeah kapal perang, dilakoekan pendidikan dengan sembojan “Kita senantiasa di laoet!”

Dengan setioep peloeit-komando, maka di gang sekolah digantoengkan tempat tidoer gantoeng setjara tangkas dan tjepat jang sedikitpoen tiada kalah dengan perdjoerit Angkatan Laoet.

Diadakan poela latihan berlari di tangga dengan tenang tetapi tjepat seperti di djembatan kapal perang.

Sekolah-sekolah tersebut, merujuk arsip Sedjarah ALRI--Angkatan Laut Republik Indonesia, cikal bakal TNI AL—kemudian hari menghasilkan inti-inti daripada angkatan laut Indonesia.

Apa benar? (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Peduli Lingkungan, Lantamal I Belawan Tanam Bibit Pohon Mangrove


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler