jpnn.com, JAKARTA - Data soal perberasan lintas instansi harus dipertajam guna mengetahui stok pangan negara. Sebab, jika tidak diperbaiki, maka hal akan berdampak pada elektabilitas Joko Widodo menjelang Pemilu 2019.
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Jayabaya Lely Ariannie mengatakan, Presiden Joko Widodo perlu memanggil Kementerian Pertanian, Bulog dan Badan Pusat Statistik terkait perbedaan data produksi beras hingga akhir 2018. Pemanggilan ini untuk memastikan di mana letak persoalan data yang membuat berbeda.
BACA JUGA: Better Life Farming untuk Tingkatkan Produksi Beras
"Hal ini untuk menjawab bagaimana seharusnya pemerintah melaksanakan peran untuk kepentingan rakyat,” kata Lely dalam keterangan yang diterima, Kamis (25/10).
Langkah lain pemerintah dalam upaya memastikan validitas data menurut Lely adalah dengan melibatkan fungsi pengawasan DPR. Hal ini sekaligus menegaskan kepada masyarakat bahwa eksekutif dan legislatif punya sikap yang sama dalam hal kepastian kebutuhan beras rakyat.
Bahkan kata Lely, membuka validitas data di parlemen secara transparan tidak menutup kemungkinan bisa mengungkap pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari persoalan ini.
Perbedaan data itu terlihat versi BPS yang menyebut surplus produksi beras 2018 hanya mencapai 2,8 juta ton, jauh di bawah data atau perhitungan Kementan. Kementan menyebut surplus beras tahun ini sebesar 13,03 juta ton. Perhitungan tersebut dari produksi beras 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, sementara total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton.
BACA JUGA: Isu Ini Sensitif, Bisa Menodai Elektabilitas Jokowi
Pengamat politik Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai, perbedaan data ini merupakan persoalan yang berlarut-larut dan kerap menjadi polemik pada tahun politik. Dia tak menafikan, polemik soal beras dan impor, menjadi persoalan yang mengganggu pemerintahan Jokowi.
Ujang Komarudin memandang, sangat sulit mengampanyekan keberhasilan dan kesuksesan pemerintah jika sumber datanya berbeda. Akibatnya, kubu oposisi bisa menangkap isu yang seksi ini untuk bisa 'menembak' pemerintah.
BACA JUGA: Produksi Beras Masih Aman saat Musim Kemarau
"Mengkritik itu tergantung momentumnya. Sekarang sudah ada momentum karena data yang tidak sama itu tidak mampu dituntaskan meski sempat disebut akan diselesaikan," kata dia.
Koordinator Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas mengatakan, kejadiannya ini harusnya diivenstigasi secara komprehensif. ICW melalui Firdaus mendorong pihak yang memiliki wewenang dalam penindakan korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menidaklanjuti. KPK didorong untuk melakukan kroscek menyeluruh secara objektif berdasarkan dua data tersebut.
“Kalau dikatakan metodenya yang berbeda, kan yang di-sampling dan disurvei itu sama. Apalagi untuk data nasionala, BPS itu kan dibentuk oleh Undang-undang, memiliki kewenangan untuk mengumpulkan data per instansi dan menjadi pusat data untuk nasional. Data BPS data official loh,” jelas Firdaus.
Sejatinya, menurut Firdaus, seharusnya Kementan melakukan pendataan kembali secara komprehensif, akuntabel, dan faktual. Melihat berapa kebutuhannya, berapa yang harus diisi oleh mekanisme pasar atau impor dan seterusnya. Secara umum Kementan harus memastikan apakah betul data BPS menunjukkan angka itu, atau memang harus mengakui kesalahan.
Di sisi lain, ICW mendesakkan pula agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) untuk melakukan audit komprehensif terkait neraca pangan Indonesia dan bagaimana kinerja penanganan pangan Indonesia sehingga dapat didapatkan gambaran awal persoalan. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Unggul di Survei, Jokowi-Maruf Masih Belum Aman
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga