Data Utang Pemerintah Bikin Sentimen Negatif, Kurs Rupiah Loyo

Senin, 28 Juni 2021 – 19:07 WIB
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap USD yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada awal pekan ditutup melemah 20 poin atau 0,14 persen. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap USD yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada awal pekan ditutup melemah 20 poin atau 0,14 persen.

Mata uang garuda anjlok menuju ke posisi Rp 14.445 per USD dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp 14.425 per USD.

BACA JUGA: Sentimen Penguatan USD Berlanjut, Kurs Rupiah Terimbas, Anjlok 35 Poin

Direktur PT.TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menyatakan kurs rupiah dipengaruhi sentimen dari informasi audit terbaru dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Menurut Ibrahim dalam audit terbaru BPK khawatir pemerintah Indonesia tidak bisa membayar utang.

BACA JUGA: Alhamdulillah, Setelah Terseok-seok Hari Ini Kurs Rupiah Mampu Menanjak

Pasalnya, rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR) sebesar 92-176 persen dan rekomendasi Dana Moneter Internasional IMF sebesar 90-150 persen.

"Masalahnya, tren penambahan utang dan biaya bunga sudah melebihi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar," kata Ibrahim.

BACA JUGA: Kurs Rupiah Kembali Terperosok Senin Pagi, Ini Penyebabnya...

Sebagai catatan, per April 2021, Kementerian Keuangan menyatakan utang pemerintah mencapai Rp 6.527,29 triliun atau 41,18 persen terhadap PDB.

Selain itu, BPK memberikan catatan terhadap indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27 persen yang telah melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5441- debt indicator yakni di bawah nol persen.

Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) 2020 menunjukkan rasio debt service terhadap penerimaan telah mencapai 46,77 persen.

"Ini melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen dan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan telah mencapai 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 7-10 persen," ujar Ibrahim.

Ibrahim memprediksi untuk perdagangan besok, rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif.

"Namun ditutup melemah di rentang Rp 14.435 - Rp 14.470 per USD," tegas Ibrahim.

Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menyatakan pelemahan dipicu kekhawatiran perubahan kebijakan bank sentral AS The Fed.

"Dari eksternal, pasar masih mengkhawatirkan soal potensi perubahan kebijakan moneter AS ke arah yang lebih ketat," kata dia seperti dikutip dari Antara, di Jakarta, Senin (28/6).

Menurutnya, pada Jumat (25/6) malam kemarin, data Core PCE Index yang merupakan salah satu indikator inflasi AS secara tahunan pada Mei, menunjukkan kenaikan 3,4 persen.

Angka tersebut di atas target inflasi The Fed sebesar dua persen.

"Bank sentral AS biasanya mempertimbangkan pengetatan moneter bila tingkat inflasi melampaui target," ujar Ariston.

Sementara dari internal, lanjut Ariston, lonjakan kasus baru Covid-19 yang terus menembus rekor baru, masih menjadi ganjalan untuk penguatan rupiah.

"Ini bisa memicu pembatasan aktivitas ekonomi yang lebih ketat untuk menurunkan kasus ke level yang lebih terkendali," kata Ariston. (mcr10/antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler