Debat antarcawapres, Selasa (23/6) di studio SCTV, Senayan City, Jakarta dan ditayangkan secara nasional itu memang belum head to headTapi setidaknya rada hangat-hangat kuku, bak kata orang Melayu
BACA JUGA: Kata Kuncinya: Kita Migrasi
Prabowo Subianto, Cawapres PDIP-Gerindra langsung menohok bahwa sistem perekonomian Indonesia belum berubah dibanding zaman BelandaBACA JUGA: Engkau Lenyap dalam Angka
Prabowo mengutip bahwa batas garis kemiskinan versi Bank Dunia adalah dengan pendapatan Rp 20.000 sehari
BACA JUGA: Ingat Boss, Lupa Grotius
Padahal, di kafe-kafe di Jakarta, duit segitu mungkin tak cukup untuk minum secangkir kopiNah, jati diri bangsa dalam sesi pertama yang dilontarkan oleh moderator Prof Dr Komarudin Hidayat, menurut Prabowo adalah kemakmuran rakyat, seperti digariskan oleh para pendiri bangsaSaya semula menduga Boediono akan menangkis wacana Prabowo dengan tinjauan ekonomiTernyata, Boediono bicara normatif bahwa jati diri bangsa adalah Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal IkaCawapres pendamping Capres SBY ini memang mem-breakdown-nya, seraya mengutip ucapan Bung Hatta 30 tahun silam, bahwa korupsi telah menjadi budaya di negeri iniNah, tekad memberantas korupsi demi pemeritahan yang bersih itulah yang memungkinkan rasa keadilan yang merata, seperti dikehendaki Pancasila
Wiranto, cawapres pendamping Capres JK sejalan dengan Prabowo, namun mensyaratkan kepemimpinan yang kuat dan berani dalam menciptakan keadilan bagi rakyat dan bermartabat di mata Negara lainMantan Menkopolkam ini tidak ingin nasib ibu pertiwi terus menangis, seraya melukiskannya dalam nyanyian…”Kulihat ibu pertiwi..sedang bersusah hati…
Perdebatan memang belum panas membaraNamun lumayanlah, jika dibandingkan dengan debat antarcapres yang malah tanpa debat, pekan silamPaling tidak wacana yang dilontarkan ketiga kandidat telah memunculkan perbedaan, sehingga dapat menimbulkan wacana baru bagi para penonton layar televisi di seluruh Tanah Air
Tatkala berbicara tentang berbagai konflik di Tanah Air, seperti di Ambon dan sebagainya serta masalah kesenjangan sosial, Boediono dan Wiranto lagi-lagi lebih fokus kepada peranan ideologi Pancasila sebagai perekat bangsa“Tapi Pancasila perlu diaktualisasikan dengan penciptaan rasa keadilan,” kata BoedionoWiranto menambahnya dengan syarat agar basic need rakyat tercukupi, karena jika tidak, konflik akan selalu muncul
Prabowo mendukung Wiranto bahwa basic need harus terpenuhiSebab jika tidak, akan melahirkan kelompok ekstrim dan radikal“Apapun ideoginya, basic need itu penting,” katanyaWiranto menambahkan perlunya keteladananan dari pemimpin termasuk lingkungan social sehingga Pancasila bisa menjadi way of life
Boediono semakin normatif ketika ia berkata tentang perlunya sinergi antara pemerintah, masyarakat dan dunia usahaPemerintah misalnya menarik pajak dan kemudian mendistribusikannya untuk kesejahteraan rakyat
Sebaliknya, Prabowo malah blak-blakan melihat Negara telah gagal secara sistemikIa usulkan system perekonomian liberal harus diubah“Negara-negara di Barat saja telah mengakui kapitalisme gagal, dan mau mengoreksi diri, mengapa kita tidak,” katanya
Namun, seperti kata sang moderator, Prof Dr Komarudin Hidayat, terpulang kepada rakyatlah untuk memilih siapa yang terbaik pada hari pencontrengan 8 Juli mendatang
Malu-Malu
Debat antarcawapres, Selasa 23 Juni lalu itu, setidaknya sedikit mengobati kekecewaan public terhadap debat antar calon presiden yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Studio Trans Corporation, Jakarta, Kamis (18/6) laluMaklum, perdebatan yang ditungu-tunggu justru senyapBanyak penonton televisi yang kecewa, juga para pengamat karena debat berjalan hambar
Barangkali, karena temanya ”Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta Menegakkan Supremasi Hukum dan Hak Asasi Manusia” tak mengandung prokontraMisalkan debat itu mengambil tofik tentang semboyan kampanye para Capres-Cawapres, misalnya mengenai “Lanjutkan” dan “Lebih Cepat Lebih Baik” serta “Ekonomi Kerakyatan”, mungkin akan penuh dengan pencerahan pemikiran
Malam itu, Capres PDIP-Gerindra Megawati malah bilang “”Semua ngikut saya.” Soalnya, saat Mega berkata bahwa perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri harus dimulai dari dalam negeri, SBY malah ”setuju 200 persen.” JK juga sudah mengerjakannya saat menjabat Menko Kesra di kabinet Mega
Anehnya, dalam berbagai kesempatan, para Capres-Cawapres saling menyerangMulai dari main yoyo, tarin poco-poco, jalan di tempat, hingga saling klaim atas keberhasilan pemerintah, bahkan juga perdebatan tentang neoliberal dan ekonomi kerakyatan
Penampilan para Capres yang santun dan tidak berani berdebat itu seolah-olah menyiratkan bahwa berbeda pendapat adalah aibJika demokrasi dianggap aib, mestinya Pipres tak perlu ada, dan karena itu berbagai alasan tentang etika terasa tak relevan
Tentu saja dalam beda pendapat, bahkan mengkritik selalu beretikaTapi di negara demokrasi tak dilarang mengatakan “tidak” kepada lawan politikSeorang “lawan” adalah “kawan” dalam berbeda pendapat, meskipun tak selalu stagnanBahkan, beda pendapat memungkinkan ditemukannya modus agar tak menjadi debat kusir
Jika hanya karena SBY dan JK pernah menjadi menteri dalam kabinet Mega sehinga menjadi sungkan berdebat, naif rasanyaJangan-jangan suasana diskusi yang perlu diatur sehingga memungkinkan setiap pendapat Capres-Cawapres teruji secara kreatif oleh lainnyaModerator berperan mengatur lalu lintas pendapat dengan melempar topik yang memancing prokontra
Kehidupan politik toh tak dianggap tidak santun jika melakukan interupsi, interpelasi, hak angket dan bahkan bersikap abstain dan walk outItulah yang membedakan pentas politik masa Orde Baru dan reformasi sejak 1998 silam
Anggapan Ben Anderson bahwa demokrasi Indonesia justru berdiri pada latar belakang kebudayaan yang feodalis, telah dikoreksi oleh zamanMungkin, analisis Ben itu cocok di masa Orde Baru ketika kehidupan politik sangat monolit yang semakin kental oleh dominasi Soeharto terhadap ABRI (kini TNI), Golkar dan Birokrasi, sehingga PPP dan PDI hanya sekedar aksesoris demokrasi
Tanpa disadari fenomena "kesantunan" dalam debat antar-Capres kemarin itu telah mengurangi makna demokrasi yang membuka pintu lebar-lebar untuk saling check and balancesUntunglah, debat antarcawpres sedikit rada hangat kuku, meskipun terkesan masih malu-malu kucing**
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kritik YES, Harmonis NO
Redaktur : Tim Redaksi