Kata Kuncinya: Kita Migrasi

Jumat, 19 Juni 2009 – 20:25 WIB
SIMBOL kampanye duet capres-cawapres, SBY-Boediono dan JK-Win, kedengarannya berbau semantikMaksud dari slogan "lanjutkan" tentu saja terhadap apa yang sudah dilakukan oleh SBY-JK selama ini

BACA JUGA: Engkau Lenyap dalam Angka

Tapi JK-Win mengimbuhi dengan "lebih cepat lebih baik"
Artinya kira-kira, keduanya sudah merasa pada "track" yang benar.

Mega-Pro tampil dengan "jalan baru", yakni ekonomi kerakyatan

BACA JUGA: Ingat Boss, Lupa Grotius

Namun, SBY-Boediono dan JK-Win mengklaim telah dan akan melaksanakan gagasan tersebut
Namanya kampanye, tentu saja mirip jualan kecap nomor wahid.

Membahas semboyan ketiga kandidat tersebut, elok juga dilihat dari sudut historis

BACA JUGA: Kritik YES, Harmonis NO

Apa yang dilakukan kini dan masa depan, kerap merupakan kontinuitas dari masa silamTak adil jika membahas kepresidenan Mega yang hanya 2,5 tahun dan SBY-JK hampir lima tahun, sementara Indonesia sudah berusia 64 tahun.

Syahdan, pemerintah kolonial Belanda yang bercokol 350 tahun, telah menjadikan kita "sapi perahan", sehingga semua hasil perkebunan, karet, kopi, pala, tembakau dan sawit, diangkut sampai kilogram terakhir.

Kebaikan si penjajah adalah, mereka membangun kota-kota dengan segenap infrastrukturKita mewarisinya hingga kini, walau mereka sebetulnya hanya bertujuan untuk memperlancar arus surplus produksi Indonesia ke negeri induk di Eropa.

Jika ditilik-tilik, sesungguhnya hingga kini, pola perekonomian itu belum berubahTerbukti saat krisis finansial global, negara-negara maju bekas penjajah itu mengurangi order imporKita pun termehek-mehekRemote control perekonomian berada di tangan mereka, seperti di masa penjajahan dulu.

Nah, ini yang mesti diubahBukan malah "lanjutkan" atau "lebih cepat lebih baik"Saat itu, ekonomi rakyat kita malah cuma kuli kebun yang hidup sebenggol sehariBukan model perekonomian macam itu yang dikehendaki.

Mengapa terlena (dengan) cuma mengekspor bahan mentah selama 100 tahun lebih? Mengapa tak mengekspor barang jadi? Pihak Barat yang kemudian mengolahnya menjadi barang jadiBerarti, added value (nilai tambah) itulah yang kita kirim ke mereka, dan dikirim lagi ke Indonesia.

Ekspor bahan mentah itu telah membuka lapangan kerja untuk industri mereka, yang mengolahnya dengan berbagai multiplier effectGara-gara bahan mentah kita, mereka makin makmur sejahtera.

***
Salah satu perdebatan menjelang Pilpres 2009 adalah soal mengapa kita berhutang Rp 1.700-an triliun sejak 1966 hingga kiniPerdebatan ini tak fair, karena Indonesia berhutang sudah sejak zaman Soekarno dan SoehartoHutang ini berkesinambungan, karena hutang baru diteken justru agar bisa menutup hutang lama, termasuk karena APBN selalu defisit.

Di masa Orde Baru, ada anekdot bahwa kita diberi kesempatan berhutang justru karena negara donor mempercayai kitaLagipula, hutang itu "perlu" agar neraca APBN berimbang.

Para penerus harus membayar hutang pendahulu, karena itu memang bukan hutang pribadiBelum lagi berbagai program untuk rakyat, proyek infrastruktur, subsidi, gaji PNS, tentara, wakil rakyat dan sebagainya, harus dibayarKarena APBN cekak, terpaksalah ngutang lagi! Sejak Habibie, Gus Dur, Mega dan SBY, semua pun melakukannya.

Pundi-pundi negara tipisBelum lagi karena harga BBM naik berkali-kali sejak Orde Baru sampai kiniBelum lagi karena ada masa krisis pada 1965-1966, 1997-1998, serta kini 2008-2009Bahkan, ada pula revolusi fisik pada 1945-1950 dan kabinet jatuh bangun pada 1950-1960.

Repotnya, Indonesia terhubungkan oleh globalisasi perekonomian, bagai bejana berhubungan yang saling pengaruh-mempengaruhiAmerika flu, kita bersin.

Tak mudah menghela bangsa ini keluar dari krisis ekonomi globalOrang bisa bilang, bangunlah industri domestikTapi bankir kurang gairah mengucurkan kredit, karena tidak ada jaminan kredit akan kembali, karena berkaitan hukum permintaan dan penawaran pasar di dalam dan luar negeri.

Dari mana harus dimulai? Dari AS, dalam negeri, industriawan, bankir, atau buruh dan petani? Sungguh, sebuah lingkaran setan!

Mungkin, ada baiknya jika dimulai dengan menyehatkan APBNMisalnya, mengapa gaji PNS dan tentara (harus) naik dari waktu ke waktu, walau APBN defisit? Mengapa bernafsu membangun proyek besar, irigasi besar, jalan tol, bandara baru, PLTU dan PLTA, jembatan antar pulau dan lainnya, padahal APBN cekak?

Tampaknya, efisiensi massif harus radikalBukan basa-basi sajaProyek tak mendesak tunda dululahTermasuk gaji pejabat BUMN, presiden dan wakilnya, para menteri, anggota DPR-DPD, MPR serta pejabat negara dan daerah, yang perlu direstrukturisasi sebagai pertanda sense of crisis.

Barangkali, dengan cara "mutilasi" anggaran itulah, APBN tak akan lagi defisitBisa-bisa terpotong puluhan persen, sehingga tak lagi perlu ngutangAnggaplah strategi ini sifatnya transisional, menunggu krisis berlalu.

***
Paul Krugman bilang, bahwa perekonomian sebuah negara tak akan kolaps jika konsumen dalam negeri disuplai produk domestikKedengarannya rada berbau nasionalisme di bidang perekonomian.

Tapi, nasionalisme bukan chauvinisme yang menolak Kentucky Fried Chicken dan City BankTetapi mengapa BNI dan Pertamina tak berinvasi ke negara lain? Petronas saja sudah datang di berbagai SPBU di Indonesia.

Nasionalisme bangkit bukan cuma karena kasus Ambalat, reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayang E yang diklaim sepihak oleh Malaysia sebagai "milik" merekaNasionalisme juga harus bangkit dalam denyut perekonomian.

Lupakanlah terjualnya saham Indosat ke Singtel dan lalu Q-Tel, serta berbagai BUMN lainnyaKe depan, no way! Caranya? BUMN harus menjadi "raja" di negeri sendiri, sebelum invasi ke negara lainBukan malah diprivatisasi dengan menjualnya ke investor asing.

Paradigma nasionalisme di bidang perekonomian itu yang harus merasuk ke dalam kosmologi dan orientasi seorang presiden dan wakil presiden yang memenangkan pilpresBukan siapa orangnya, tapi paradigmanyaPikiran lama dibongkar dan diganti yang baru.

Liberalisasi perdagangan dan neo-liberal pun bukan kasus personalTapi masalah kebijakan nasional yang terlanjur dihegemoni oleh sistem perekonomian global duniaKita mesti berani bermigrasi, dari perekonomian yang diperhamba sistem global, kepada yang mengabdi nasional.

Migrasi atas pola perekonomian itulah yang dilanjutkan, dengan cara lebih cepat lebih baik, sehingga ekonomi kerakyatan kelak bertahta di negeri ini(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanjidor, Sampah dan Menara Gading


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler