Sebuah kain tenun, yang dibuat selama 2.500 jam dan ditujukan untuk menghormati perjuangan para prajurit ANZAC (tentara Australia dan Selandia Baru), diresmikan dalam sebuah upacara khusus di Melbourne menjelang 100 tahun peringatan Anzac.
Kain tenun itu, yang berukuran sekitar tiga meter persegi, akan dipamerkan di Museum Perang Australia di Canberra.
BACA JUGA: Petani di Tasmania Diminta Ambil Bagian dalam Sensus Tikus
Karya seni berjudul ‘Avenue of Remembrance’ (tanda kenangan) ini didasarkan pada karya seniman Australia, Imants Tillers.
Kain tenun berjudul ââ¬ËThe Avenue of Remembranceââ¬â¢ terinspirasi oleh tulisan berjudul ââ¬ËThe Gallipoli Letterââ¬â¢, yang menggambarkan kondisi medan pertempuran PD I. (Foto: Australian War Memorial, Jeremy Wehrauch)
BACA JUGA: Karena Menyiksa Binatang Lucu Quokka, Dua Turis Prancis Dituntut
Kain ini terinspirasi oleh tulisan berjudul ‘The Gallipoli Letter’ yang ditulis oleh almarhum Sir Keith Murdoch.
Sebagai seorang jurnalis media cetak, Sir Keith mengunjungi Gallipoli pada tahun 1915, dan menulis laporan pribadi sepanjang 8.000 kata, yang menggambarkan kondisi di medan pertempuran.
BACA JUGA: Nic Newling, Penderita Bipolar di Australia yang Berhasil Pulih
"Surat ini mengubah jalannya perang dan sekarang menjadi salah satu item yang paling signifikan di koleksi Perpustakaan Nasional Australia," ungkap direktur Workshop Tenun Australia, Antonia Syme.
Ia menuturkan, "Kain itu adalah pengingat yang sangat indah dan menonjol dan Workshop Tenun Australia merasa terhormat karena mampu membuat komisi seni publik ini menjadi penting secara nasional."
Kain tenun ini akan diresmikan di Museum Perang Australia selama peringatan seratus tahun Perang Dunia I, pada bulan ini.
Penenun profesional duduk berdampingan di mesin tenun yang terletak di selatan Melbourne, mengerjakan karya ini selama lebih dari enam bulan agar bisa selesai tepat waktu.
Chris Cochius adalah penenun kepala.
"Kami mulai menenun pada bulan Oktober dan selesai pada hari Jumat (10/4). Pada dasarnya, kami memiliki empat tenun pada satu waktu," utaranya.
Ini adalah pengalaman yang emosional bagi Chris.
"Kata ‘kehilangan’ diulang tiga kali dalam kain tenun ini. Saya sebenarnya menenun kata itu tiga kali dan pada saat saya menenun untuk ketiga kalinya, hal itu menjadi sangat emosional, kami terperangkap dalam teks itu," tuturnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Produksi Kopi Luwak Mulai Menuai Kecaman