jpnn.com - ANAK ini penderita atresia bilier atau kelainan hati karena penyumbatan saluran empedu. Dia hidup dari potongan hati ayah atau ibu kandungnya yang dicangkokkan di dalam tubuh pasien.
SAHRUL YUNIZAR-LISVI FADILAH, Jakarta
BACA JUGA: Othok-Othok, Pendeteksi Gempa Sederhana Made In Warga Jogja
Battar Abinaya Basupati belum bisa bertutur tentang kondisi tubuhnya. Tapi, anak balita itu sudah mengajarkan banyak hal. Bayangkan, pada usia yang baru menginjak 2 tahun, Battar harus menjalani hidup yang pelik.
Bocah itu mesti melewati penderitaan panjang. Mulai rasa sakit akibat hatinya yang mengeras, perut membesar, hingga muntah darah.
BACA JUGA: Lupa Nazarnya, akan Ditagih Melalui Mimpi
Dia pun beberapa kali keluar masuk rumah sakit untuk memastikan penyakitnya. Sampai akhirnya, dokter mendiagnosis bahwa Battar menderita atresia bilier.
Nah, salah satu cara untuk menyembuhkan penyakit itu adalah mencangkok hati pasien dengan potongan hati orang tuanya.
BACA JUGA: Anak-anak SD yang Dilukai dengan Pisau Dapur Sudah Mulai Pulih
Berdasar pemeriksaan medis, organ hati ayah Battar, Sutriyono, dinyatakan cocok dicangkokkan ke hati buah hatinya tersebut.
Demi sang anak, Sutriyono pun rela mendonorkan sebagian hatinya untuk dicangkokkan ke tubuh Battar.
’’Jangankan hati, seandainya harus ditukar nyawa pun saya ikhlas,’’ ujar Tri, panggilan Sutriyono, saat ditemui Jawa Pos di rumahnya di Tugu, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, awal Desember lalu.
Battar menjalani operasi cangkok (transplantasi) hati pada 29 November 2015 atau sekitar setahun lalu. Hingga kini, dia masih menjalani masa-masa pemulihan.
Sejatinya, Battar lahir normal dan sehat pada 25 Juni 2014. Berat badannya ketika keluar dari rahim ibunya, Tari, tercatat 4 kg. Montok, lucu, dan menggemaskan. Hampir tak ada yang mengkhawatirkan.
Namun, kebahagiaan Tri dan Tari mulai terusik ketika Battar memasuki umur sebulan. Bola mata anak keduanya itu, yang semula bening, tiba-tiba berubah menjadi kuning. ’’Kami mulai gelisah melihat perubahan itu,’’ ungkap Tri.
Meski begitu, Tri dan istri tidak menganggap serius perubahan fisik anaknya itu. Mereka menyangka perubahan tersebut terjadi karena anaknya jarang dijemur di bawah sinar matahari pagi.
Namun, untuk memantapkan hati, Tri dan Tari membawa Battar ke klinik yang tidak jauh dari rumah asal mereka di Kabupaten Lampung Selatan.
Hasil pemeriksaan dokter di klinik itu sungguh melegakan Tri. Kelainan Battar tersebut bisa disembuhkan dengan cepat. Caranya, bayi itu saban pagi mesti dijemur beberapa jam serta diminumi obat dan vitamin.
Namun, kelegaan tersebut perlahan berubah menjadi kecemasan. Kondisi Battar tidak kunjung membaik, bahkan malah memburuk.
Matanya kian menguning. ’’Dia kami bawa lagi ke klinik. Jawabannya sama,’’ kenang Tri.
Dua bulan setelah pemeriksaan kedua, kondisi Battar kian buruk. Bukan hanya matanya yang menguning, badannya pun mulai tampak kekuning-kuningan.
Kecemasan kian meraja di benak Tri dan Tari. Keduanya lantas membawa Battar ke rumah sakit di sekitar tempat tinggal mereka yang kemudian merujuknya ke Rumah Sakit Mitra Husada, Kabupaten Pringsewu, Lampung.
’’Setelah cek segala macam, hasilnya, anak kami ternyata suspect AB (atresia bilier, Red),’’ ujar mantan driver perusahaan ekspedisi di Lampung itu.
Atresia bilier adalah kondisi yang terjadi akibat penyumbatan di tuba (saluran) yang membawa cairan empedu dari hati ke kandung empedu.
Kondisi tersebut terjadi ketika saluran empedu di dalam atau di luar hati tidak berkembang secara normal.
Dalam kondisi normal, saluran empedu membantu mengeluarkan limbah dari hati dan membawa garam yang membantu usus kecil memecah/mencerna lemak.
Pada bayi atresia bilier, empedu yang mengalir dari hati ke kandung empedu terhambat. Hal itu bisa mengakibatkan kerusakan atau sirosis hati yang mematikan jika tidak segera diobati.
Tri lantas berupaya mencari informasi seputar atresia bilier. Melalui dokter, buku, internet, hingga orang tua pasien atresia bilier.
Setelah tahu, Tri mulai mencari obat atau cara menyembuhkan anaknya dari serangan penyakit dengan rasio 1 banding 15 ribu kelahiran itu.
Termasuk, opsi terakhir berupa transplantasi atau cangkok hati yang bakal menelan biaya hingga miliaran rupiah. Itu pun Tri harus membawa anaknya ke Jakarta yang memiliki rumah sakit yang canggih.
Berbagai cara dilakukan Tri agar bisa segera membawa Battar ke Jakarta. Mulai meminta bantuan kepada pemda, menggalang dana di media sosial (medsos), sampai menjual harta benda untuk menambah bekal selama berada di ibu kota. Tapi, permintaan bantuan ke pemda hanya bertepuk sebelah tangan.
Namun, semangat Tri tidak kendur. Berbekal informasi yang diperoleh di internet, dia lantas menghubungi beberapa organisasi sosial yang punya kepedulian kepada pasien atresia bilier.
Hingga akhirnya, dia mendapat jaminan tempat tinggal di Depok, Jawa Barat, dari Komunitas Sahabat Berbagi.
Sambil menunggu tindakan medis, Battar menjalani pengobatan secara herbal. Namun, efeknya tidak tampak.
Gejala atresia bilier malah makin kentara. Tubuhnya lemas serta perutnya membesar lantaran hatinya membengkak dan mengeras. Dia sering menangis kesakitan.
Setelah modal dirasa cukup, awal 2015 Tri membawa Battar ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto di Jakarta.
Namun, Battar kembali dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM). ’’Sebab, dokter yang bisa menangani (atresia bilier, Red) ada di RSCM,’’ ujarnya.
Sejak saat itu, perjuangan Battar dan orang tuanya melawan atresia bilier kian berat. Setelah menjalani pemeriksaan pertama di RSCM, dia langsung diminta opname.
Tidak hanya 3–4 hari, tapi sampai sebulan. Itu perlu dilakukan agar kondisi Battar yang sudah memburuk tidak semakin parah.
Keluar dari RSCM setelah sebulan perawatan intens, Battar tidak lantas bebas dari tangan dokter. Dia tetap harus bolak-balik ke RSCM karena masih menjalani pemeriksaan terus-menerus sebelum menjalani operasi pencangkokan hati. ’’Kata dokter, satu-satunya jalan harus transplantasi hati,’’ ujar Tri.
Tindakan medis tersebut harus dilakukan lantaran fungsi hati Battar sudah sangat buruk. Karena itu, dibutuhkan donor hati.
Dokter meminta diupayakan dari keluarga terdekat. Artinya, pendonor hati yang dimaksud adalah ayah atau ibunya.
Semula, Tri tidak percaya diri. Sebab, selama bekerja sebagai sopir, pola hidupnya tidak teratur. Tuntutan pekerjaan membuat dirinya harus tahan tidak tidur seharian. Dia juga perokok aktif.
Meski sadar kondisinya tidak baik, tekad yang sudah bulat membuat Tri yakin. ’’Saya sampaikan ke istri. Saya dulu yang maju (mendonorkan hati, Red). Kalau tidak bisa, baru kamu (Tari),’’ ungkapnya.
Sejak keputusan itu diambil, mau tidak mau, Tri harus melalui berbagai proses pemeriksaan yang melelahkan.
Mulai cek darah lengkap, rontgen menyeluruh, magnetic resonance imaging (MRI), computed tomography scanner (CT scan), serta pemeriksaan gigi dan THT (telinga, hidung, tenggorokan).
Tidak sampai di situ saja, Tri juga harus menjalani serangkaian tes elektrokardiogram (EKG) untuk memastikan jantungnya baik-baik saja, USG abdomen, serta liver volumetri.
Beberapa pemeriksaan itu dilakukan berulang demi memastikan Tri benar-benar siap untuk mendonorkan hatinya. Proses tersebut berjalan paralel dengan pengobatan yang dilakukan kepada Battar.
Setelah lebih dari sepuluh bulan bolak-balik RSCM, menjalani serangkaian pengobatan, serta bertahan dari serangan atresia bilier, Battar akhirnya dinyatakan siap menjalani transplantasi hati. Dan, saat yang dinanti itu pun tiba, 29 November 2015: ayah dan anak tersebut naik ke meja operasi.
Tri masih ingat betul, Minggu pagi itu dirinya didudukkan di atas kursi roda. Di sampingnya Tari juga duduk di kursi roda, menggendong Battar yang perutnya membesar dan bola mata serta tubuhnya kian menguning. Keringat dingin mengalir di dahi dan sekujur tubuhnya.
Jantung Tri berdegup kencang. Petugas RSCM lantas mendorong kursi roda yang membawa Tri menuju kamar operasi.
Tri masih sempat menoleh ke Tari dan Battar yang melambaikan tangan. Senyumnya mengembang. ’’Bismillah,’’ ucap Tri lirih penuh takzim. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Saya Begitu Senang hingga Berpikir untuk Menangis
Redaktur : Tim Redaksi