jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Adi Prayitno mengatakan, pihak yang menang versi hitung cepat lembaga survei pada pelaksanaan Pilkada 2018, semestinya tidak melakukan selebrasi politik apa pun, demi stabilitas politik.
Terutama untuk wilayah yang terjadi persaingan perolehan jumlah suara tipis antarpaslon.
BACA JUGA: Mardani PKS Yakini Hasil 2 Pilgub Jadi Warning buat Jokowi
"Apalagi daerah dengan selisih suara tipis seperti di Jawa Barat, secara etis lembaga survei maupun pasangan calon tidak berhak mendeklarasikan kemenangan hingga ada keputusan akhir dari KPU," ujar Adi di Jakarta.
Menurut Adi, pada Pilgub Jabar pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Asyik) juga mengklaim menang serta menolak keunggulan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum (Rindu) versi hitung cepat sejumlah lembaga.
BACA JUGA: KPU-Bawaslu Sepakat, Eks Napi Korupsi Bisa Nyaleg
Kondisi yang terjadi perlu disikapi di mana semua pihak harus mampu menahan diri untuk tidak berebut kemenangan.
"Berbeda konteksnya dengan daerah yang perolehan suaranya terpaut jauh seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, klaim menang bisa dilakukan. Tentu dengan selebrasi yang tak berlebihan," ucapnya.
BACA JUGA: Pendaftaran Bacaleg di Kota Bekasi Dibuka
Pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, quick count memang bagian partisipasi politik. Untuk mengantisipasi potensi kecurangan dalam proses penghitungan suara di level bawah.
Namun, dalam praktiknya, melaksanakan hitung cepat tak semudah membalik telapak tangan.
Dalam UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota disebutkan, semua pihak yang melakukan hitung cepat harus mendaftarkan diri ke KPU serta menjelaskan metodologi yang digunakan, sumber dana, netralitas, serta tidak menguntungkan atau merugikan pihak lain.
Rakyat juga berhak mengadukan ke KPU jika merasa dirugikan dengan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga survei.
Menurut Adi, jika ditemukan kejanggalan seperti manipulasi data, tidak netral dan merugikan pihak lain, KPU berhak memberikan sanksi berupa pernyataan tidak kredibel, peringatan, atau larangan melakukan kegiatan penghitungan cepat sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat 3 UU Pilkada.
"Masyarakat perlu mengetahui, rilis hitung cepat lembaga survei hanya bisa dimaknai sebagai gambaran awal peta pemenang di pilkada. Sementara keputusan final merupakan kewenangan eksklusif KPU melalui hitung manual," pungkas Adi.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPU Bekasi Plenokan Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara
Redaktur & Reporter : Ken Girsang