Demo Ala Cak Nun di Kandang Banteng

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Senin, 11 April 2022 – 21:21 WIB
Budayawan Emha Ainun Nadjib dan Ketua DPP PDIP Maharani menghadiri acara Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Masjid At-Taufiq, Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (10/4). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Hanya seorang Emha Ainun Nadjib yang bisa melakukannya. Diundang untuk memberi tausiah Ramadan di kantor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), budayawan yang lebih dikenal dengan panggilan Cak Nun itu malah melontarkan sederet kritik pedas kepada tuan rumah.

Dari seorang Kiai Mbeling yang tak mengenal takut pada masa mudanya, Emha sekarang bertransformasi menjadi Mbah Nun sesuai dengan perkembangan usianya yang menyentuh kepala 7.

BACA JUGA: Legasi Jokowi

Namun, gaya pidatonya tidak berubah. Sekarang Mbah Nun lebih minandita dan ucapannya lebih mak jleb.

Mbah Nun diundang langsung oleh Megawati Soekarnoputri untuk mengisi kegiatan Ramadan di Masjid At-Taufiq, kompleks Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Ahad (10/4). Alih-alih memberi puja puji kepada tuan rumah, Cak Nun malah menyentil tuan rumah dengan menyebut Presiden Jokowi sebagai presiden yang bener, tetapi belum pener.

BACA JUGA: Jokowi Uraa atau Oraa

Sepanjang akhir pekan ini, perbincangan publik banyak diwarnai rencana Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar demo besar pada Senin (11/4). Menurut kabar beredar, demo itu menyuarakan tuntutan agar Jokowi mundur.

Kabar lain yang beredar menyebut demo mahasiswa itu kemungkinan disusupi dan ditunggangi oleh kepentingan politik.

BACA JUGA: Dukun MotoGP

Ratusan sampai ribuan mahasiswa berkumpul dan berorasi di depan Gedung DPR RI Senayan. Riuh rendah dengan enam tuntutan mendesak Presiden Jokowi supaya bertindak tegas mengatasi berbagai krisis politik dan ekonomi yang terjadi belakangan ini.

Mahasiswa mendesak Jokowi menyelesaikan krisis minyak goreng. Mahasiswa mendesak Jokowi tegas menolak perpanjangan masa jabatannya.

Akan tetapi, demontrasi yang paling menohok Jokowi sebenarnya sudah dilakukan Cak Nun di jantung pusat PDIP. Cak Nun mengatakan bahwa Indonesia negara besar yang berpotensi besar, tetapi sayang presidennya belum tepat.

Audiensi pun bersorak riuh. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua DPR Puan Maharani yang mengapit Cak Nun di panggung hanya bisa tersenyum. Untung wajah mereka berdua tertutup masker, sehingga perubahan ekspresinya tidak terlalu kelihatan.

Mbah Nun kemudian menjelaskan konsep Jawa mengenai ‘bener’ dan ’pener’. Bener adalah benar. Adapun pener berarti tepat.

Memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur mungkin saja bener. Namun, dalam kondisi sekarang keputusan itu tidak pener.

Mbah Nun tidak memakai contoh itu untuk menjelaskan konsep bener dan pener. Akan tetapi, kira-kira begitulah yang dimaksud oleh Mbah Nun.

Dia geregetan melihat potensi Indonesia yang luar biasa sebagai modal menjadi negara besar, tetapi sampai sekarang belum bisa mewujud. Salah satu faktornya ialah presiden yang belum ‘pener’.

Pernyataan itu tentu seperti menampar muka tuan rumah. Memang begitulah Mbah Nun dengan gaya khasnya yang blaka suta alias tanpa tedeng aling-aling, terus terang, tanpa menutup-nutupi.

Cak Nun memadukan gaya Gus Dur dengan Asmuni dan ada bau Cak Nur. Empat orang itu memang sama-sama berasal dari Jombang, dan sama-sama menjadi ikon Indonesia pada bidangnya masing-masing.

Mbah Nun mengungkap tradisi kebesaran sejarah Nusantara yang merentang jauh sampai 18 generasi. Dalam tradisi silsilah Jawa ada 18 urutan desenden (keturunan) dan asenden (orang tua, leluhur) yang oleh Mbah Nun dianggap sebagai bukti budaya Nusantara yang sudah terlebih dahulu mapan.

Mbah Nun sesumbar terhadap Amerika dan Rusia, dan negara-negara adidaya lain yang sejarahnya baru seumur jagung bila dibanding dengan budaya Nusantara. Dalam tradisi silsilah Jawa dikenal urutan bapak/simbok, kakek/nenek (simbah), mbah buyut, mbah canggah, mbah wareng, mbah udheg-udheg, mbah gantung siwur, terus ke atas sampai 18 tingkat.

Tentu saja itu khas Jawa dan budaya timur pada umumnya yang mengenal konsep extended family, keluarga besar. Dalam tradisi kekeluargaan Jawa bahkan dikenal istilah ‘mambu sedulur’ (berbau saudara) maupun sedulur adoh (saudara jauh) untuk menggambarkan ekstensi yang tidak terbatas.

Namun  justru dalam tradisi budaya Jawa sekarang, nama keluarga tidak bisa dilestarikan sehingga identitasnya dalam bentuk marga hilang. Hal ini beda dengan masyarakat Batak yang paternalistik, atau masyarakat Minang yang maternalistik.

Dari identitas nama marga saja, orang bisa mengindentifikasi garis silsilahnya. Ini juga terjadi masyarakat Tionghoa yang mempunyai berbagai rumpun marga besar dan perkumpulan diaspora internasional besar marga-marga tertentu.

Identitas keluarga Jawa yang feodalistik membagi masyarakat ke dalam kasta-kasta sesuai dengan strata sosialnya. Ketika Indonesia merdeka, tradisi itu pelan-pelan memudar dan akhirnya benar-benar hilang.

Orang Jawa tidak bisa dikelompokkan ke dalam marga keluarga seperti warga Batak atau Minang. Namun, budaya extended family di Jawa yang berdasarkan pada kolektivitas masih menjadi ciri yang kental.

Hal itu berbeda dengan budaya Barat yang terbatas pada nucleus family atau keluarga inti kecil yang berdasarkan pada konsep individualisme.

Mbah Nun meyakini tradisi kolektivisme itu lebih unggul ketimbang tradisi individualisme yang menjadi inti peradaban Barat, termasuk Amerika. Dalam beberapa kesempatan, Mbah Nun mengatakan bahwa punjer atau episentrum global ada di Nusantara, bukan di negara lain.

Dibanding dengan Indonesia, sejarah Amerika baru seumur jagung. Amerika baru ditemukan oleh Columbus secara tidak sengaja pada 1492 dan masih berwujud tanah gersang yang dihuni penduduk asli Indian.

Pada waktu itu, Majapahit mulai mengalami kemunduran setelah sebelumnya menjadi penguasa regional dengan menguasai wilayah Asia Tenggara termasuk Tumasik, Singapura, sekarang dan wilayah Thailand modern.

Abad ke-16 dan 17 menandai kemerosotan politik wilayah Nusantara. Sebaliknya,  zaman keemasan Eropa mulai muncul melalui Rennaisance yang melahirkan Revolusi Industri.

Dari Revolusi industri itulah Eropa menjajah dan menguasai dunia. Inggris merajalela menguasai Asia dan Afrika dan menjadi imperium raksasa dan dengan bangga menyebut “the sun never set in the British Empire” karena wilayah jajahannya membentang dari timur ke barat.

Belanda yang wilayahnya hanya seukuran upil dibanding Indonesia menguasai keterampilan navigasi dan mempunyai teknologi senjata api yang maju sehingga bisa menguasai Nusantara sampai 350 tahun.

Kemajuan Eropa yang fenomenal hanya dalam waktu satu abad itu membuat tercengang para ahli sejarah. Sampai sekarang banyak muncul berbagai teori yang menjelaskannya, tetapi semua bersifat spekulatif dan belum ada satu teori tunggal yang meyakinkan.

Sejarah Indonesia pramodern membentang ribuan atau malah ratusan ribu tahun. Jawa menjadi punjer atau episentrum peradaban ketika itu.

Jawa menjadi pusat peradaban dunia dan titik awal berkembangnya manusia modern Homo Sapiens yang sekarang menjadi penguasa tunggal Bumi.

Jejak manusia pertama Homo Neanderthal yang menjadi cikal bakal manusia purba ditemukan di wilayah Jerman dan diperkirakan hidup 500 tahun yang lalu. Homo Neanderthal kemudian diyakini musnah dan digantikan oleh spesies Homo Sapiens yang lebih modern dan berperadaban.

Jejak Homo Sapiens ditemukan di Afrika dan juga di lembah Bengawan Solo. Makhluk itu diduga hidup kira-kira 200 ribu tahun lalu.

Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau ada klaim bahwa Jawa adalah episentrum peradaban dunia dan Center of the Universe. Dari Jawa-lah peradaban dunia lahir dan berkembang.

Dari Jawa pula peradaban manusia berkembang ke seluruh penjuru dunia. Dari peradaban nomaden -berburu dan meramu- sampai menjadi peradaban yang menetap dan mulai mengenal pertanian.

Para ahli evolusi menemukan bukti-bukti perkembangan ras manusia yang disebut mempunyai kesamaan nenek moyang dengan simpanse. Charles Darwin menemukan bukti-bukti itu di Pulau Galapagos dalam ekspedisinya ke Amerika Selatan pada 1831.

Di Pulau Galapagos, Darwin menemukan beberapa jenis burung gelatik mempunyai bentuk paruh yang berbeda-beda sesuai dengan jenis makanan yang tersedia. Gelatik pemakan biji-bijian yang keras mempunyai paruh yang tebal dan kokoh.

Namun, gelatik yang makan hewan-hewan kecil punya paruh yang tajam. Dari situ Darwin menyimpulkan dalam buku masyhur “The Origin of Species” (1859) bahwa spesies muncul karena seleksi alam. 

Darwin meyakini hanya spesies yang paling cocok dengan alam yang bisa bertahan dan berkembang. Dari situ lahirlah teori “survival of the fittest” yang kontroversial.

Hasil penelitian Darwin itu dianggap sebagai temuan paling penting dan revolusioner di seluruh dunia dan tiada bandingnya sampai sekarang.

Akan tetapi, Alfred Rusel Wallace dengan bukunya yang berjudul “The Malay Archipelago” pada 1869 juga mencengangkan masyarakat ilmiah seluruh dunia. Peneliti itu menulis buku tersebut setelah menembus hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera untuk melihat ribuan jenis kupu, burung, mamalia, dan bunga-bungaan.

Memang "The Malay Archipelago” terbit setelah “The Origin of Species”. Namun, Wallace sudah terlebih dahulu terjun ke lapangan dibanding Darwin.

Wallace juga sempat bersurat kepada Darwin untuk menceritakan hasil penemuannya di Nusantara. Darwin kaget dan tercengang membaca laporan Wallace.

Seharusnya penemu pertama teori evolusi ialah Alfred Russel Wallace, bukan Charles Darwin. Pusat dunia, punjer dunia, center of the universe, ialah Indonesia, bukan Amerika Selatan, apalagi Amerika Serikat atau Rusia.

Itulah kira-kira yang membuat Mbah Nun geregatan. Indonesia tidak bisa memaksimalkan potensi besarnya. Mbah Nun menyimpulkan presidennya ’ora pener’.

Oleh karena itu Mbah Nun mengusulkan ‘revolusi’. Bukan revolusi bakar-bakar, tetapi revolusi mindset, pemikiran, supaya Indonesia yang besar bisa menemukan tempatnya sebagai punjer dunia.(***)

 

Yuk, Simak Juga Video ini!

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gus Dur & Sertifikasi Halal


Redaktur : Antoni
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler