jpnn.com - Semasa menjabat sebagai presiden keempat 1999-2001 Abdurrahman Wahid membuat terobosan radikal dengan membubarkan Departemen Sosial atau yang sekarang dikenal sebagai Kementerian Sosial.
Alasan Gus Dur, departemen itu tidak efektif dan tidak efisien dalam menjalankan fungsi distribusi bantuan sosial.
BACA JUGA: Soal Sertifikat Halal, Bukhori DPR Sebut Wewenang MUI yang Tak Boleh Diabaikan BPJPH
Keputusan itu sangat kontroversial dan mendapat tentangan dari banyak kalangan.
Namun, seperti biasanya, Gus Dur keukeuh dengan keputusan itu, dan Departemen Sosial tetap dibubarkan. Pembubaran itu hanya berjalan dua tahun, dan ketika Gus Dur dimakzulkan pada 2001 Megawati yang menggantikan Gus Dur langsung menghidupkan kembali departemen itu.
BACA JUGA: BI Ramalkan Pasar Halal Domestik Tumbuh Pesat
Beberapa tahun setelah dilengserkan Gus Dur mengungkap alasan mengapa ia membubarkan Departemen Sosial. Dalam talkshow ‘’Kick Andy’’ Gus Dur mengatakan bahwa ia mebubarkan departemen sosial karena banyak tikus berkeliaran di departemen itu.
Andy F. Noya yang menjadi host bertanya mengapa harus membakar rumah kalau hanya ingin menangkap tikus. Gus Dur dengan sigap menjawab bahwa rumah harus dibakar dan dirobohkan karena tikus-tikus sudah menguasai rumah itu.
BACA JUGA: Ahli Al-Quran Bandingkan Label Halal Indonesia & Sertifikat Halal MUI, Simak
Cuplikan rekaman video itu beredar luas lagi di media sosial dan menjadi viral pada 2020, ketika menteri sosial saat itu, Juliari Batubara dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap dana bantuan sosial sampai lebih dari Rp 30 miliar. Juliari divonis 12 tahun penjara.
Gus Dur dianggap visioner dengan keputusan pembubaran departemen sosial. Banyak juga yang mengaitkannya dengan kewalian Gus Dur. Ia punya kualitas wali yang punya penerawangan jauh ke depan ‘’weruh sak durunge winarah’’, mengetahui suatu kejadian sebelum terjadi.
Selepas era Gus Dur memang ada tiga menteri sosial yang ditangkap KPK dan dipenjara, Bachtiar Chamsyah, Idrus Marham, dan Juliari Batubara. Entah kebetulan atau tidak, yang jelas Gus Dur mendapatkan legitimasinya atas keputusannya membubarkan Departemen Sosial.
Gus Dur yang ceplas-ceplos dan jago dalam komunikasi politik memakai alasan yang konkret dan sederhana untuk menjelaskan latar belakang kebijakannya. Di balik alasan yang sederhana itu Gus Dur punya filosofi politik tersendiri yang mendasari keputusan kontroversial itu.
Ketika awal-awal menjadi presiden, ada dua departemen yang akan dibubarkan oleh Gus Dur, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Agama yang sekarang menjadi Kementerian Agama. Mirip dengan Departemen Sosial, Departemen Agama juga dianggap menjadi sumber korupsi.
Gus Dur memahami berbagai wacana mengenai relasi agama dan negara. Dalam hal ini posisi Gus Dur lebih memilih pada pemisahan agama dan negara yang secara umum disebut sebagai paham sekuler. Menurut Gus Dur negara tidak perlu campur tangan terhadap urusan agama, termasuk misalnya pelaksanaan perjalanan haji.
Pandangan Gus Dur cenderung liberal dalam hal pengelolaan negara. Sebagaimana kalangan liberal di Barat, negara tidak perlu terlalu mencampuri urusan publik dan menyerahkan urusan itu kepada publik melalui lembaga-lembaga bentukan publik.
Kalangan liberal—di Amerika diwakili oleh Partai Demokrat—percaya bahwa birokrasi pemerintah harus dibuat ‘’mean and lean’’ ramping dan lincah, tidak terlalu gemuk supaya tidak susah bergerak. Kelompok Demokrat pro dengan peran pemerintah yang minimalis dan lebih memberi kepercayan kepada publik untuk mengurusi urusan mereka sendiri.
Kelompok Demokrat dan liberal disebut sebagai kelompok yang cenderung kiri karena lebih percaya kepada liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. Karena itu Demokrat bisa menerima orang-orang kulit hitam dan kulit berwarna serta para imigran.
Demokrat juga lebih toleran terhadap pluralisme agama dan mendukung LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), termasuk mendukung pernikahan sesama jenis.
Secara filosofis kelompok Demokrat berseberangan dengan kelompok Partai Republik yang diasosiasikan dengan konservatisme agama dan cenderung ada di posisi kanan pendulum politik.
Partai Republik mendapat dukungan kuat dari pengikut Protestan yang saleh yang menolak LGBT dan pernikahan sejenis. Kelompok konservatif kiri ini lebih cenderung kepada eksklusivisme kulit putih dan tidak ramah terhadap kalangan kulit berwarna dan imigran.
Kelompok Republikan yang konservatif lebih percaya kepada peran negara yang lebih besar dalam mengurusi kepentingan publik. Berbanding terbalik dengan Demokrat, Partai Republik lebih suka bentuk birokrasi pemerintahan yang gemuk.
Gus Dur lebih akrab dan dekat dengan ide-ide liberal Partai Demokrat. Karena itu Gus Dur ingin supaya birokrasi pemerintahan dibuat langsing dan lincah, dengan mengurangi peran pemerintah sebanyak mungkin dalam urusan publik.
Itulah yang mendasari keinginan Gus Dur untuk membubarkan Departemen Sosial. Dalam pandangan Gus Dur urusan-urusan sosial sebaiknya diurus sendiri oleh publik dan negara tidak perlu turut campur terlalu detail.
Itulah pula yang mendasari ide Gus Dur untuk membubarkan Departemen Agama ketika itu.
Gus Dur, berpendapat sebaiknya negara tidak mengurusi agama agar agama tidak dijadikan sebagai alat politik dan ekonomi. Gus Dur menimbang untuk membubarkan Departemen Agama dengan alasan ‘’Depag sudah menjadi pasar, karena semua ada di Depag, kecuali agama itu sendiri yang tidak ada.”
Dalam pengamatan Gus Dur, Depag sudah seperti tempat jual beli dan ruang ‘negosiasi’, lebih-lebih saat musim haji. Beberapa kasus korupsi terjadi, misalnya pengadaan Al-Qur'an dan kasus korupsi dana haji.
Modus korupsinya sama, dari mark up tiket, pondokan, transportasi lokal di tanah suci, sampai dengan aksesoris haji seperti busana dan tas. Ada juga permainan kuota, permainan kurs tukar mata uang-bunga dana haji-daftar antrean, sampai jatah haji gratis untuk kalangan kerabat dan pejabat.
Penyakit ini sudah menjadi penyakit lama sejak zaman Orde Baru, tetapi tidak ada yang berani mengulik dan mengutik. Di era reformasi praktik itu digugat sehingga banyak menteri dan anggota DPR yang mengurusi haji yang kena cokok KPK.
Gus Dur tidak berani merealisasikan gagasan membubarkan Departemen Agama, karena mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya. Ada yang mengatakan bahwa Gus Dur mundur karena diingatkan oleh kiai sepuh bahwa ayahanda Gus Dur KH Wahid Hasyim pernah menjadi menteri agama.
Di era pertama kepresidenan Jokowi pernah muncul selentingan membubarkan Departemen Agama dengan mengubahnya menjadi ‘’Kementerian Haji, Zakat, dan Wakaf’’. Isu ini menjadi bola liar yang mendapatkan reaksi sangat keras dan akhirnya hilang.
Gagasan mengganti Departemen Agama adalah gagasan liberal sekuler mirip dengan gagasan Gus Dur. Ketika itu kalangan liberal di kubu Jokowi melempar wacana ini untuk mengetes air. Kalangan liberal punya pandangan bahwa negara tidak perlu mengurusi agama.
Hal itu masih sering dimunculkan dalam argumentasi kalangan liberal sekarang ini.
Belakangan ini Kementerian Agama di bawah Cholil Yaqut Qoumas benar-benar menjadi pasar yang sibuk dan semrawut. Alih-alih mengurangi peran pemerintah dalam urusan agama, Kementerian Agama malah makin banyak mengambil alih urusan agama.
Urusan sertifikasi halal yang selama ini menjadi domain MUI (Majelis Ulama Indonesia) pun dijarah oleh Kemenag. Ini menjadi salah satu puncak persaingan Kemenag dengan MUI yang selama ini dianggap sebagai ‘’pesaing’’.
Keputusan itu lebih banyak bermotif politik dengan tujuan memotong salah satu sumber pemasukan MUI. Di berbagai perbincangan media sosial muncul gugatan agar MUI dibubarkan.
Dengan mengambil alih kewenangan sertifikasi halal, Kemenag akan makin mirip dengan pasar yang sibuk dan semrawut dengan berbagai macam transaksi dan negosiasi. Akankah prediksi Gus Dur terjadi di Kementerian Agama seperti yang terjadi di Kementerian Sosial? Kita tunggu. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror