jpnn.com, BATAM - Pemerintah jangan bersikap gamang terkait penentuan Upah Minimum Sektoral (UMS). Kisruh yang terjadi tiap tahun mengenai penetapannya dianggap mengganggu dunia investasi dan menurunkan daya saing Batam di mata investor.
"Kalau benar-benar ingin Batam maju dan ekonominya tumbuh tujuh persen pada tahun 2019, mari bersama-sama menjaga iklim investasi yang kondusif di Batam," kata Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri Ok Simatupang di Wisma Batamindo, Senin (30/4).
BACA JUGA: Prabowo : Hati Mereka Sudah Beku
Dia menyebut penyebab mengapa banyak perusahaan hengkang dari Batam adalah karena iklim investasi yang tidak kondusif lagi.
"Penyebabnya adalah adanya demo-demo dari rekan-rekan serikat yang mendesak kenaikan upah sekitar 45 persen pada tahun 2013 lalu dari Rp 1.402.000 menjadi Rp 2.040.000," katanya.
BACA JUGA: Buruh Siap Mengawal Rekomendasi DPR Soal Tenaga Kerja Asing
Meski sudah memegang regulasi yang jelas seperti yang tertuang dalam PP 78/2015 soal pengupahan, tetap saja terjadi kekisruhan terutama soal penetapan UMS ini.
"Berdasarkan kesepakatan antara asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja pada sektor ybs. Inilah aturan yang berlaku saat untuk penetapan UMS saat ini. Taati saja. Jangan lari dari aturan yang ada, kita ini di negara hukum yang berdasarkan aturan perundang-undangan yang jelas," katanya.
BACA JUGA: May Day, Ada 4.000 Pemohon SIM Baru, yang Gratis Cuma 100
Di sisi lain, negara-negara saingan Batam seperti Vietnam, Laos, Myanmar, Philipina, Kamboja dan Malaysia sedang gencar-gencarnya membuka kawasan industri dengan menawarkan insentif menarik.
"Insentifnya tiap tahun makin menarik dan investor asing juga senang bahwa di negara-negara tersebut tidak membenarkan adanya aksi demo," paparnya.
Dan terkait upah, tentu saja lebih kompetitif dibanding dengan upah di Batam saat ini yang mencapai Rp 3.523.427. Misalnya di Malaysia Rp 3.547.000 atau 1000 Ringgit.
Di Laos sebesar Rp 2.000.000 atau 1,2 Juta Kip. Di Vietnam sebesar Rp 2.415.000 atau 3.980.000 Dong. Di Myanmar sebesar Rp 1.500.000 atau 144 Kyat. Di Filipina sebesar Rp 2.500.000 atau 9300 Peso. Di Kamboja sebesar Rp 2.150.000 atau 630.000 Riel.
"Gajinya lebih kompetitif padahal sistem kerja mereka 48 jam/minggu. Sedangkan kita dengan sistem 40 jam/minggu," ungkapnya.
Dia juga mengingatkan bahwa perusahaan asing di Batam memiliki pabrik manufaktur yang memproduksi barang sejenis dengan negara-negara saingan lainnya.
"Artinya apa? Hanya pabrik yang produktif sajalah yang akan dipertahankan atau dikembangkan oleh perusahaan induknya," jelasnya.
Sedangkan pabrik yang tak produktif secara perlahan akan dipindahkan ke negara-negara yang lebih kondusif, aman dan nyaman untuk berinvestasi.
Senada dengan Ok, akademisi dari Politeknik Batam Muhammad Zaenuddin mengatakan regulasi yang mengatur soal penetapan UMK termasuk UMS harus dibuat dengan mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.
"Regulasi harus penuh kepastian agar kejadian yang sama tidak terjadi berulang-ulang," jelasnya.
Masalah perburuhan ini sangat krusial. Zainuddin mengatakan demo menurunkan daya saing Batam.
"Kedua belah pihak memiliki pandangan dan survey sendiri-sendiri mengenai jumlah upah yang tepat. Ini yang membuat tidak adanya kepastian," katanya.
Di satu sisi pihak pengusaha sedikit dirugikan karena tiap tahun harus selalu melakukan revisi.
"Idealnya penetapan upah itu dua tahun sekali agar pengusaha bisa menentukan langkah dengan baik tanpa diganggu persoalan yang sama tiap tahunnya," ujarnya.
Pemerintah juga tampaknya menjadi gamang dalam hal ini. Karena harus bersikap netral, maka pemerintah takut jika keputusannya tidak tepat sehingga menyakiti salah satu pihak.
"Pemerintah buatlah regulasi yang kuat dan berikan solusi dan kepastian. Masalah perburuhan ini benar-benar menjadi hambatan (bottlenect) investasi," pungkasnya.(leo)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Buruh Rentan Disusupi Agenda Politik Kelompok Tertentu
Redaktur & Reporter : Budi