Demokrasi Indonesia Kukuhkan Egoisme

Rabu, 01 Juni 2011 – 16:00 WIB

JAKARTA - Mantan Presiden RI, Bacharuddin Jusuf Habibie mengatakan krisis bangsa ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegaraSementara demokrasi, kata Habibie, kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

"Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian?," tanya Habibie, saat berpidato memperingati 66 tahun Pancasila sebagai dasar filosofi dan pandangan hidup Indonesia Merdeka, di gedung MPR, Senayan Jakarta, Rabu (1/6).

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman bangsa terhadap Pancasila dan melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara

BACA JUGA: Agus Condro Anggap Melaporkan Korupsi Sebagai Jihad

"Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan," kata Habibie.

Sejak 1998, kita memasuki era reformasi
Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang

BACA JUGA: Agus Condro Dituntut 1,5 Tahun

Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?

Sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi
Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa

BACA JUGA: Polisi Periksa Politisi Golkar

Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatanPancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Ada sejumlah penjelasan untuk menjawabnyaPertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global"Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945, 66 tahun yang lalu -- telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang," ujar Habibie.

Selain itu, bangsa ini juga mengalami proses globalisasi dalam segala aspeknya, perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia (KAM) dan lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya.

"Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luarKebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia," tegasnya.

Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik"Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini," ungkap Habibie.

Lebih lanjut, Habibie memberikan iustrasi, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegaraHarus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila"Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.

"Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncul demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnyaPancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan," ungkap Habibie.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut Habibie, merupakan kesalahan mendasar"Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentuPancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentuPancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama IndonesiaSepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannyaRezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan," tegasnya.

Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahanPancasila harus terus-menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktuTanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit, jelasnya.

Lebih lanjut, Habibie mengambil contoh sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah mengglobal sekarang ini?

"Manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, yang terjadi adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lainIni adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru"," tegasnya.

Mestinya, implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan usaha meningkatkan "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah"; dengan ungkapan lain, "value added" harus lebih besar dari "added cost"Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, imbuhnya(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kesehatan Syamsul Arifin Membaik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler