Denny Nilai Putusan MK soal Cipta Kerja Hadirkan 4 Ambiguitas, Apa Saja Itu?

Jumat, 26 November 2021 – 19:46 WIB
Denny Indrayana. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Ahli hukum tata negara Denny Indrayana menilai ada empat ambiguitas saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional bersyarat.

Ambiguitas pertama, kata dia, MK menyatakan aturan yang dikenal dengan Omnibus Law itu bertentangan dengan UUD 1945.

BACA JUGA: MK Ketok UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, Bang Saleh Bilang Begini

Namun, MK masih memberi ruang bagi UU Ciptaker berlaku selama dua tahun karena sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan. 

"Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku," kata Denny dalam keterangan persnya, Jumat (26/11).

BACA JUGA: Putusan MK Membuktikan UU Cipta Kerja Bermasalah

Sementara itu, kata dia, ambiguitas kedua berkaitan dengan 12 putusan MK tentang uji materi UU Ciptaker.

Dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan sepuluh di antaranya kehilangan objek karena Putusan MK Nomor 91 itu sudah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.

BACA JUGA: Habib Aboe: Putusan MK tentang UU Cipta Kerja Sejalan dengan Sikap PKS

"Pertanyaan kritisnya, objek mana yang hilang? Bukankah meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Ciptaker maksimal selama dua tahun," lanjut dia.

Ambiguitas berikutnya, kata Denny, MK terkesan berkompromi ketika memutuskan uji materi tentang UU Ciptaker.

"Putusan MK menimbulkan multitafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak," bebernya.

Menurut Denny, ada dua kubu yang berbeda pendapat menyikapi putusan MK terhadap aturan yang dikenal dengan Omnibus Law itu.

Satu pihak berpandangan UU Ciptaker masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Pihak lain berpendapat UU Ciptaker tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali.

Ambiguitas terakhir, kata Denny, Putusan MK Nomor 91 itu menghadirkan ketidakadilan. Misalnya, saat MK mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik dalam lahirnya UU Ciptaker.

Di sisi lain, MK tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formal perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, yang juga super kilat dan menihilkan partisipasi publik.

"Jika mengacu pada Putusan MK 91, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itu pun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," bebernya. (ast/tan/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur : Adil
Reporter : Aristo Setiawan, Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler