Depati Amir, Melawan Penjajahan di Tambang Timah

Jumat, 09 November 2018 – 22:34 WIB
Ilustrasi Depati Amir di buku Profil Penerima Gelar Pahlawan Nasional Dalam Rangka Acara Hari Pahlawan Tahun 2018. Foto: M Fathra/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pejuang dari Provinsi Bangka Belitung, Almarhum Depati Amir akhirnya dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh negara. Ahli warisnya menerima tanda gelar itu dari Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Kamis (8/11). Siapa dia?

Nama tokoh kelahiran Mendara, Pulau Bangka tahun 1805 itu telah digunakan sebagai sebutan untuk bandar udara di Kota Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung sejak 25 Agustus 1999 melalui keputusan Menteri Perhubungan. Bandara itu sendiri merupakan peninggalan Jepang yang dibangun tahun 1942.

BACA JUGA: Inilah Kisah Pahlawan Nasional Asal Sulbar, Hj Andi Depu

Dalam buku "Profil Penerima Gelar Pahlawan Nasional Dalam Rangka Acara Hari Pahlawan Tahun 2018" yang dirangkum Kementerian Sosial RI, pahlawan yang wafat di Kupang, NTT pada 28 September 1869 itu disebut sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajahan di Tambang Timah.

Anak dari pasangan Depati Bahrain bin Depati Karim (ayah) dan Dakim (ibu) diasingkan ke Kupang sejak 28 Februari 1851 bersama keluarga dan pengikutnya. Setelah wafat, jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Muslim Batukadera, Kupang.

BACA JUGA: Kakeknya Jadi Pahlawan Nasional, Ini Kata Anies Baswedan

"Depati Amir melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda sepanjang tahun 1830-1851 (20 tahun lebih)," dilansir dari riwayat perjuangannya di buku tersebut.

Perjuangan Depati Amir melanjutkan perlawanan ayahnya, Depati Bahrain yang berlangsung tahun 1819-1828. Setelah terjadi banyak pencurian di tambang timah, Depati Bahrain dituduh turut atau menyuruh orang membunuh resident Bangka, M.A.P Smissaert.

BACA JUGA: 6 Tokoh jadi Pahlawan Nasional, Termasuk Kakeknya Anies

Perlawanan Depati Bahrain berakhir 1828, dia mendapat tunjangan 600 gulden setahun, dan meninggal pada 1848.

Nah, perlawanan anaknya, Depati Amir secara langsung dimulai oleh sebab dua hal, pertama, menuntut tunjangan untuk ayahnya sebesar 600 gulden setahun tetap dibayarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Sebab kedua, kasus penghinaan keluarga, yaitu seorang adiknya perempuan bernama Ipah dipermalukan oleh Djambil yang menolak untuk menikahi Ipah. Saat itu Depati Amir menuntut pembayaran denda adat sebesar 24 ringgit.

Selain alasan kehormatan keluarga, perlawanan Depati Amir juga dilandasi keinginan yang kuat untuk memperjuangkan dan melawan eksploitasi kolonial atas kekayaan alam Bangka-Belitung terutama timah.

Dalam perjuangannya, ayah dari Muhammad Awal Bahrain ini dibantu adiknya bernama Cing atau Hamzah sebagai panglima perang dan sejumlah panglima perang lainnya berpusat di Kampung Tjengal.

Dengan dukungan dari sejumlah demang dan batin maka perlawanan Depati Amir meluas ke berbagai wilayah di sepanjang pantai timur Bangka; Terentang Ampang, Toboali, Jebus, Sungailiat.

Perjuangan itu pun mendapat dukungan dari masyarakat maupun komunitas Tionghoa, sehingga dia pun mendapat pasokan senjata dari Singapura. Bantuan senjata juga datang dari lanun yang memasok senjata dari Mindanao, Lingga dan Palembang.

"Pertempuran sengit terjadi pada Desember 1848 di beberapa tempat; Lukok, Cepurak, Mendara, Memadai, Ampang dan Tadjaubelah, di mana Depati Amir memimpin langsung perlawanan," dikutip dari buku tersebut.

Depati Amir menjalankan taktik perang gerilya yang amat menyulitkan pihak militer kolonial, ditambah lagi pasukan pemeirntah Hindia-Belanda mendapat serangan penyakit yang disebut "Demam Bangka".

Kesulitan pemerintah kolonial memadamkan perlawanan Depati Amir juga disebabkan adanya persaingan pihak birokrasi sipil dengan kekuatan militer yang mengakibatkan strategi militer kolonial tak efektif.

Perlawanan Depati Amir baru dapat ditumpas sesudah dilakukan taktik menohok dari belakang, yaitu dengan memberi sejumlah uang ganjaran sebesar 1000 dollar Sanyol kepada 7 orang pimpinan dan 36 anggota barisan.

"Disebabkan kekurangan logistik, kelelahan fisik dalam perang gerilya, maka pada 7 Januari 1851 dalam kondisi sakit Depati Amir tertangkap di distrik Sungaiselan," kisahnya.

Tanpa proses pengadilan, tetapi berdasarkan keputusan pemerintah Hindia-Belanda, 11 Februari 1851 Depati Amir diputuskan untuk diasingkan ke Kupang, bersama keluarga dan sejumlah pimpinan barisan yang setia padanya.

Pengikutnya yang lain yang tertangkap belakangan diasingkakn ke Ambon, Banda, Ternate, termasuk warga Tionghoa yang mendukung Depati Amir melawan kolonialisme.

Selama di pengasingan, Depati Amir bergiat aktif sebagai penasehat perang bagi Raja-raja Timor yang juga berjuang melawan penguasaan kolonial, di samping kegiatan pengembangan agama Islam di wilayah Timor (Solor, Adonara, Lomblen, Pantar, Flores), dan Pulau Sumba.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Usulkan 4 Martir Reformasi 98 menjadi Pahlawan Nasional


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler