Derita Sopir Taksi Konvensional Ini Bikin Sedih Banget

Sabtu, 11 November 2017 – 00:05 WIB
Seorang sopir taksi tengah menanti penumpang di depan hotel Santika, Kota Mataram beberapa hari lalu. Foto: Lalu Mohammad/Lombok Post/JPNN.com

jpnn.com - Bisnis jasa transportasi online sudah merambah ke kota-kota besar di Indonesia. Dampaknya, tak hanya angkot, taksi-taksi konvensional pun ikut babak belur. Pendapatan terjun bebas, hingga masa depan anak tak karuan.

LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram

BACA JUGA: Sesjen Kemenhub: yang Diminta adalah Kesetaraan

YUDI menghempaskan tubuhnya di atas tembok depan sebuah hotel di Kota Mataram, NTB. Tangannya berulang kali merogoh kantong celana.

Seperti hendak memastikan jumlah sesuatu di dalam sana. Sekali waktu ia mendengus panjang. Menghempaskan beban yang menyesakkan dada.

BACA JUGA: Jangan Provokasi Driver Online Untuk Tolak Aturan Kemenhub

“Sepi. Dari tadi,” cetus Yudi.

Ia kembali memicingkan mata. Memperhatikan orang yang lalu lalang di sana. Sebentar wajahnya terlihat cerah, sebentar murung. Ah! Suasana tak nyaman. “Hampir setiap hari seperti ini,” sesalnya.

BACA JUGA: Tak Semua Kenyataan Indah Diterima Para Driver Online

Yudi mengaku sudah menanti dari pagi. Tapi tak seperti dulu. Saat ini kalau ada penumpang lebih dari tiga sudah mujur. Itupun jaraknya dekat-dekat.

“Bisa bawa pulang di atas Rp 100 ribu, pakaian istri tipis menggoda. Tapi kalau bawa di bawah Rp 40 ribu atau kurang, langsung apa-apa digembok,” sesalnya setengah berseloroh.

Semua ini gara-gara bisnis transportasi online itu. Para sopir taksi konvensional yang sebelumnya bisa mendapatkan Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per hari, kini jauh terjun di bawah harapan.

“Ini gara-gara transportasi online itu,” cetusnya dengan ekspresi dongkol.

Di perusahaan taksi tempat Yudi bekerja, ia minimal harus menyetor Rp 200 ribu. Jika kurang akan jadi utang. Angka utang akan terus terakumulasi setiap kali ia gagal mencapai target ini.

“Anjloknya pendapatan para sopir taksi terjadi sejak 2014. Kondisi semakin sulit dengan hadirnya (transportasi) online itu,” ungkapnya.

Tak hanya Yudi yang merasakan beratnya persaingan transportasi saat ini. Abdul Majid juga menceritakan kisah serupa.

Bagaimana para pelaku bisnis transportasi online dengan sangat superior merampas pasar mereka. “Kita seperti melawan siluman,” cetus Majid.

Dengan plat mobil biasa dan hanya bermodal pesanan secara online, mereka dengan mudah mendapat penumpang.

Sedangkan para sopir taksi harus susah payah dulu bertanya pada setiap orang yang lewat. Apakah mereka mau naik taksi atau hanya sekadar lewat.

“Sekarang misalnya kita dapat 150 ribu, berarti Rp 50 ribu buat isi bensin, Rp 100 ribu bagi dua dengan perusahaan. Itu artinya sudah nambah hutang Rp 150 ribu, karena sehari minimal harus setor Rp 200 ribu,” cetusnya.

Bahkan tak jarang Majid mengaku pulang dengan kantong kosong. Dengan kata lain, tidak ada satu penumpang pun yang didapat dari pagi hingga tiba waktu pulang ke rumah lagi. “Utang saya di perusahaan ada sampai 80 juta,” bebernya.

Sekadar diketahui, para sopir taksi punya kewajiban bekerja selama enam tahun. Jika dalam waktu itu mereka bisa rutin menyetor Rp 200 ribu setiap hari, maka pada tahun ke-5, mobil taksi yang mereka gunakan untuk bekerja akan jadi hak miliknya.

“Sedangkan satu tahun sisanya (tahun ke enam) akan jadi masa pengabdian,” terangnya.

Tapi harapan bisa memiliki mobil itu makin jauh. Sejak sekitar tiga tahun silam Majid kesulitan mencapai target bisa setor Rp 200 ribu perhari. Padahal ia sudah bekerja untuk tahun ke-5.

“Kayaknya makin sulit bisa punya mobil ini,” ujarnya dengan nada pasrah.

Jika sekarang saja sudah sangat sulit untuk dapat penumpang, apalagi satu, dua, sampai tahun-tahun berikutnya. Mimpi punya mobil dan rumah sendiri pun buyar begitu saja.

“ Loh sampai siang ini saya cuma dapat segini,” bebernya sembari menunjukan uang selembar Rp 50 ribu dan Rp 10 ribu.

Dulu, pekerjaan sopir taksi menurut Majid sangat prestisius. Ia bahkan dengan sangat yakinnya bisa membangun rumah dan menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. “Dulu penghasilan saya menjanjikan,” kenangnya.

Tapi transportasi online itu merenggut apa yang telah dibangga-banggakannya. Pria yang berasal dari Pejeruk Desa ini bahkan tidak tahu harus bagaimana menyikapi persaingan yang sangat melelahkan itu.

“Mau kita sweeping, tapi kita tidak tahu yang mana mobilnya,” sesalnya.

Plat yang digunakan warna hitam, tidak ada baju seragam juga yang menandakan mereka adalah sopir transportasi online.

“Diantara mobil-mobil ini (yang parkir di depan taman Sangkareang), pasti ada salah satunya, tapi yang mana, kami tidak tahu,” cetusnya.

Hanya saja ia mencurigai tiga sampai empat mobil yang parkir di sana beberapa kali membawa penumpang, lalu kembali lagi ke tempat itu. “Dia mondar mandir terus, jangan-jangan ini. Makanya kami curiga,” sesalnya.

Kenapa ia tidak menjadi sopir online juga? Majid terdiam. Lalu tersenyum. Dengan tatapan sinis ia kemudian berujar: “Mau sih mau, tapi kita harus punya mobil dulu baru bisa seperti mereka.”

Bahkan dengan nada suara dongkol ia bertutur tentang kabar yang ia terima dari rekan-rekannya. Saingan mereka tidak hanya orang yang butuh pekerjaan semata.

Tapi mereka yang telah punya pekerjaan dan jabatan tinggi, ikut-ikutan mendaftar jadi sopir transportasi online.

“Saya dengar dari teman saya, ada seorang yang posisinya General Manager (GM) sebuah perusahaan ikut-ikutan jadi sopir online. Coba bayangkan betapa rakusnya orang itu,” tuturnya dengan nada marah.

Jika orang yang berstatus GM saja mau menjadi sopir transportasi online, apalagi posisi yang di bawah lagi. Maka betapa berat tantangan yang harus dihadapi para sopir taksi konvensional.

“Tidak hanya GM, ibu-ibu, remaja, anak orang kaya yang punya mobil bagus, semua berebut jadi sopir online, apa itu tidak sama dengan maling rampok yang merampas pekerjaan kami?” sesalnya.

Yang kaya semakin kaya. Yang melarat tinggal tunggu ajal. Begitulah yang akhirnya terjadi dengan hadirnya transportasi berbasis online ini.

“Kalau dulu saya bisa bangga kuliahkan anak sampai luar daerah, sekarang saya malah bingung mau biayai gimana,” tutupnya pasrah. (*/r5)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Revisi PM 26/2017, Menhub Minta Semua Pihak Sepakat


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler