Desa Sigarang-Garang Tak Lagi Garang

Rabu, 15 Januari 2014 – 08:57 WIB
Kondisi Desa Sigarang-garang, Kabupaten Karo, Sumut. Foto: Andri Ginting/ Sumut Pos/JPNN.com

jpnn.com - WAJAH Boru Karo (52), terus-terusan terlihat gusar manakala dirinya dalam perjalanan kembali ke rumahnya di Desa Sigarang-garang, Kabupaten Karo.

Matanya terus-terusan menerawang jauh ke arah rumahnya yang berdekatan dengan Gunung Sinabung sambil sesekali memperhatikan laju kendaraan umum yang dikendarai sopir kenalannya.

BACA JUGA: Selamat Setelah 32 Jam Terjebak di Kolong Jembatan

Wanita paroh baya ini mendadak ingin melihat sejenak kondisi rumahnya sehubungan masih ada sejumlah barang berharga yang tertinggal di sana.

Ia tidak ingin barang-barang miliknya dan keluarganya tersebut bakalan tersapu oleh 'muntahan' lava pijar dari Gunung Sinabung. Bukan apa-apa gunung yang kini berstatus awas level 4 tersebut diperkirakan akan benar-benar meletus dalam waktu dekat ini.

BACA JUGA: Blusukan Hutan untuk Abadikan Capung Langka

Tanda-tanda ke arah sana terus terlihat, Gunung Sinabung seolah-olah tak mau berhenti beraktivitas menunjukkan murkanya. Bahkan Desa Sigarang-garang yang hanya beradius 3 kilometer dari kawasan gunung yang ditempati Boru Karo tadi, kini tak terlihat lagi sedikitpun 'kegarangannya' menyusul menggeliatnya gunung yang lama tertidur itu.

Desa tersebut tidak terlihat lagi seperti layaknya desa yang mana sudah terselimuti lumpur dari semburan erupsi Gunung Sinabung.

BACA JUGA: Tampil Gaya, Rela Beli Motor Seharga Rp 900 Juta

Tidak terdengar suara para bocah, semuanya telah beranjak untuk mengunsi, yang tersisa hanyalah hewan-hewan peliharaan mereka, ditambah lagi erupsi yang meluncurkan awan panas semenjak pagi tadi yang menyemburkan debu vulkanik yang cukup tebal menjadikan kampung mereka semakin porak-poranda, hujan juga mengguyur hampir semua desa di kaki Gunung Sinabung menambah parahnya ruas jalan.

Salah satu benda berharga yang menjadi target penyelamatan wanita tersebut adalah sepucuk ijazah kelulusan sekolah anaknya. "Baru hari ini ibu berani ke rumah, karena memikirkan ijazah anak yang tertinggal di rumah, selama ini saya tidak teringat kalau ijazah anak saya masih berada di dalam lemari," sebutnya.

Ia pun juga hendak membawa sejumlah pakaian yang masih tersimpan di lemari kamarnya untuk dirinya kelak dipakai selama di pengungsian yang telah menjadi 'rumah barunya' selama beberapa bulan ini.

Perjalanan ke rumahnya pun tidak bisa dilaluinya dengan mudah. Lumpur vulkanis setebal 20 cm telah menutupi kawasan di sana.

Dengan menumpangi angkutan umum RIO, dirinya duduk di pojokan dengan wajah sendu menatap ruas jalan yang penuh lumpur sambil sesekali menghela nafasnya dengan rasa takut karena berada di dalam angkutan tersebut.

Angkutan yang ditumpanginya sulit untuk melintasi jalan tanjakan yang penuh lumpur, namun sang supir terus berusaha menempelkan kakinya di pedal gas untuk berusaha tetap dapat melintas.

Usaha sang supir banyak yang sia-sia. Ban mobilnya berputar terus, namun mobil tidak mau bergeser, hanya berdecit keras sambil meliuk ke kiri dan ke kanan saja tanpa melaju.

Sepulangnya ia dari rumahnya sambil memeluk erat ijazah anaknya, Boru Karo mengkisahkan pada Sumut Pos dengan terbata-bata tentang kondisi terkini tempat tinggalnya.

"Ambruk sudah rumahku dihantam debu Sinabung," paparnya terharu. Ia juga menambahkan banyak rumah dan bangunan lainnya yang mengalami nasib serupa dengan rumah miliknya itu.

"Bukan rumahku saja yang hanssur, ladangku juga. Gara-gara Gunung Sinabung meletus aku tidak bisa panen kol dan kentang lagi. Acemmana ini!"

"Padahal ladang itulah yang menjadi sumber penghasilanku selama ini termasuk untuk menyekolahkan semua anakku," urainya terisak.

Wanita yang memiliki lima anak tersebut telah mengungsi sejak September 2013 di kantor Klasis GBKP Kaban Jahe.

Di posko pengungsian, dirinya dan para pengungsi lainnya harus menjalani kehidupan dengan alakadarnya. Bahkan boleh dikatakan sangat berkekurangan.

Namun dirinya terpaksa mengungsi sendirian di sini karena dua anaknya masih menimba ilmu di Unika Medan sementara dua lainnya mengungsi ke Kota Brastagi dan satu lainnya telah menikah namun juga menjalani kehidupan dengan mengungsi ke tempat aman.

Kehidupannya di pengungsian juga dijalani dengan penuh kesulitan. Minimnya air bersih di posko pengungsian, membuat banyak pengungsi yang tidak bisa membersihkan dirinya dengan layak.

"Payah kali pun kami untuk mandi. Tak ada airnya," terangnya.

Air yang disediakan oleh dinas terkait hanya cukup untuk masak dan mandi dua hari sekali. Sungguh miris nasib para pengungsi yang berada di posko-posko pengungsian.

Sementara itu, dua alat berat milik pemerintah setempat turut diterjunkan dibantu personil TNI dari Kodim di bawah komando seorang perwira muda bernama Asep juga turut membantu membersihkan ruas jalan yang penuh dengan lumpur, hal tersebut terlihat di Desa Naman, kecamatan Namanteran hingga Desa Sigarang-Garang.

Namun semuanya itu tidak dapat mengembalikan keceriaan Boru Karo, kesedihan bahkan kian membuncah sembari bergumam entah sampai kapan semua ini akan berakhir.

"Semua upaya pemerintah tidak dapat mengembalikan keceriaan saya," ujarnya lirih. (amr)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dipesan Bank, Gubernur Hingga Mabes Polri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler