jpnn.com - JAKARTA – Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir menyatakan bahwa pemerintah sebenarnya bisa memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang terseret perkara korupsi bioremediasi di PT Chevron Pacific Indonesia. Menurutnya, jika memang benar pihak-pihak yang terjerat kasus bioremediasi itu menjadi korban kriminalisasi, maka pemerintah bisa mempersoalkannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
penyelenggara negara bisa melakukannya dengan mengembangkan fungsi Mahkamah Konstitusi.
BACA JUGA: Adik Atut Bantah Alirkan Dana ke Aura Kasih
Menurut Mudzakkir, di MK dikenal istilah constitutional complaint, yakni penanganan atas pengaduan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Mudzakkir menjelaskan fungsi, constitutional complaint di MK sudah diterapkan di negara-negara Uni Eropa.
BACA JUGA: Asosiasi RSUD Keluhkan Seretnya Tagihan BPJS
"Adanya MK juga kan merujuk ke sana. Jadi tidak ada salahnya fungsi itu diadopsi oleh MK di Indonesia. Intinya kita harus mendukung negara agar proaktif melindungi warganya yang dikriminalkan, atau dalam bahasa saya, mendapat perlakuan hukum yang tidak standar,” jelas Mudzakkir dalam keterangan yang diterima wartawan, Senin (10/2).
Ia menambahkan, sebelum sampai ke proses ini, pemerintah dalam hal ini presiden atau minimal Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral semestinya tampil di depan publik untuk membela HAM pekerja migas yang dikriminalkan dalam kasus bioremediasi. “Kalau itu tidak dilakukan, maka pemerintah bisa dituduh telah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang menimpa warga negeranya,” ujar Mudzakkir.
BACA JUGA: Dorong Amandemen Kelima untuk Koreksi Kewenangan MK
Sedangkan analis ekonomi politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Airlangga Pribadi mengaku prihatin dengan kondisi sektor hulu migas Indonesia saat ini. Menurutnya, presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan harus memastikan penegakan hukum sesuai aturan yang jelas.
“Dalam situasi seperti ini, peran presiden sangat dibutuhkan guna melindungi warga negaranya dari perlakuan yang tidak adil, dan melindungi iklim investasi agar tetap kondusif," kata Airlangga.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menuturkan, kriminalisasi dalam kasus bioremediasi harus menjadi perhatian serius pemerintah. Pasalnya, berdasarkan pemantauan dan penyidikan Komnas HAM, telah terjadi pelanggaran HAM, diskriminasi, dan konspirasi aparat penegak hukum, dalam proses hukum kasus bioremediasi.
“Independensi dan imparsialitas penegak hukum patut dipertanyakan dalam kasus bioremediasi. Hal ini terlihat dari adanya saksi dan ahli yang tidak obyektif, dan putusan Majelis Hakim yang selalu diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda, red),” ungkap Pigai.
Ia juga menilai, Kejaksaan Agung sebenarnya tersandera dengan keputusannya memperkarakan bioremediasi. Setelah kasus berjalan dan mendapat tanggapan banyak pihak, tampak benar kasus bioremediasi bukanlah kasus korupsi. Tapi Kejaksaan Agung tidak bisa mundur lagi. “Dalam hal ini, Kejaksaan Agung disandera oleh kepentingan pihak-pihak tertentu,” tandasnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Muhammadiyah Dorong KPK Usut Pengadaan Haji
Redaktur : Tim Redaksi