jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa mempertanyakan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK ihwal kasus-kasus yang belum dituntaskan hingga jelang berakhirnya masa jabatan penggawa komisi antikorupsi jilid IV pada 20 Desember 2019 nanti.
Desmond mengatakan sudah tentu pimpinan-pimpinan KPK sebelumnya meninggalkan kasus yang belum tuntas kepada Agus Rahardjo Cs. “Kasus lama itu yang sudah terselesaikan berapa banyak? Sisanya berapa?” tanya Desmond saat rapat kerja KPK dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/11).
BACA JUGA: Peringatan Keras Benny Demokrat untuk KPK soal Status Tersangka RJ Lino
Selain itu, Desmond juga mempertanyakan sudah berapa banyak kasus-kasus korupsi yang terjadi di masa kepemimpinan Agus Rahardjo CS yang telah diselesaikan.
Menurut dia, kalau tidak selesai tentu akan menjadi beban bagi para komisioner berikutnya. Desmond menambahkan hal ini ada relevansinya dengan UU KPK baru, khususnya yang mengatur kewenangan komisi antirasuah dalam menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
BACA JUGA: Rapat di DPR, Pimpinan KPK Ungkap Sebab RJ Lino Belum Diadili
“Dari sekian kasus tumpuk tidak selesai dari awal sampai sekarang, ada tidak catatan yang layak diberi SP3? Misalnya karena kurangnya alat bukti, orangnya (tersangkanya) sudah meninggal dunia, dan lain-lain,” katanya.
Menurut dia, Komisi III DPR ingin meminta penjelasan kepada Agus Rahardjo Cs supaya semua hal terkait kewenangan SP3 di UU KPK baru itu bisa dipahami. Dia menegaskan kriteria SP3 di UU KPK baru itu belum jelas.
BACA JUGA: Desmond Anggap Tjahjo Pengin Kepolisian di Bawah Kemendagri
“Kriteria itu perlu, karena belum jelas di UU KPK. Kalau dalam KUHAP kami paham,” katanya. Desmond pun mewanti-wanti jangan sampai kewenangan SP3 itu disalahgunakan secara kelembagaan yang baru nanti. “Jangan sampai kesannnya ini jadi ATM baru nanti,” papar politikus Partai Gerindra itu.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan salah satu perkara yang belum selesai adalah dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) yang menjerat mantan Dirut PT Pelindo II Richard Joost Lino. Menurut Alex, kasus itu sudah sekitar empat tahun lebih berjalan, tepatnya sebelum pimpinan KPK Jilid IV dilantik.
“Kami sekarang (masa jabatan) tinggal tiga minggu, (kasus Lino) belum naik (penuntutan) juga. Kemarin, kami sudah menanyakan penyidik sebetulnya untuk perkara RJ Lino itu alat buktinya yang belum cukup terutama terkait dengan penghitungan kerugian negara,” katanya dalam rapat tersebut.
Nah, ia menambahkan, saat ini tengah diupayakan untuk menyelesaikan penghitungan kerugian negaranya. KPK sudah mengundang ahli, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Sekarang dalam proses, kira-kira kapan hasil audit penghitungan kerugian negara selesai. Dijanjikan pertengahan Desember selesai oleh BPK,” ujar mantan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi itu.
Menurut dia, persoalan penyidikan kasus Lino saat ini karena penghingan kerugian negara belum tuntas. Ia menambahkan kalau penghitungan kerugian negara selesai maka perkara Lino bisa dilimpahkan ke pengadilan. Sisi lain, Syarif menambahkan untuk kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC pada PT Garuda Indonesia Tbk akan segera dilimpahkan ke pengadilan. Kasus ini menjerat mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo. “Pertengahan Desember sudah bisa disidangkan,” katanya.
Alexander memastikan tidak hambatan dalam penanganan perkara di KPK. Hanya saja, ujar dia, kalau perkara yang menyangkut yurisdiksi berbeda seperti lintas negara, itu menyebabkan terkendalanya perolehan alat bukti. Dia mencontohkan dalam perkara tertentu harus berkoordinasi dengan komisi antikorupsi Singapura atau Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura, dan Serious Fraud Office (SFO) Inggris. “Ini butuh waktu,” tegasnya.
Lebih lanjut Alexander menambahkan, kewenangan SP3 dalam UU KPK baru itu bisa dilakukan kalau kasus tidak naik ke penuntutan dalam jangka waktu dua tahun. Dia menegaskan bahwa KPK akan terus melanjutkan kasus kalau ada alat bukti baru yang bisa diperoleh. Kalau mentok, kata dia, maka KPK akan menerbitkan mekanisme SP3.
“Apakah dengan ekspos perkara, atau mengundang ahli dari luar agar bisa memberikan pandangan objektif apakah perkara itu tidak cukup alat bukti dan sebagainya,” katanya.
Ia menambahkan untuk tersangka yang meninggal dunia otomatis akan diterbitkan SP3. Pun demikian, tersangka yang sakit seperti stroke, juga menjadi pertimbangan KPK menerbitkan SP3 kepada yang bersangkutan.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy