Dewan Gereja Papua mendesak Komisi HAM PBB menurunkan tim kemanusiaan untuk memeriksa kondisi para pengungsi yang terdampak konflik.   (Istimewa)

Dewan Gereja Papua meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk campur tangan atas apa yang mereka gambarkan sebagai tragedi kemanusiaan di wilayah itu.

Permintaan ini disampaikan melalui surat yang ditujukan kepada Komisioner HAM PBB Michele Bachelet dan ditandatangani empat pemimpin Gereja, yaitu Pendeta Benny Giay, Pendeta Andrikus Mofu, Pendeta Dorman Wandikbo, dan Pendeta Socratez S. Yoman.

BACA JUGA: Mesin Pemetik Mengubah Industri Perkebunan di Tasmania

Dalam surat tertanggal 12 April yang salinannya diterima ABC Indonesia pekan lalu, Dewan Gereja mendesak PBB untuk segera menurunkan tim kemanusiaan ke Papua.

"Tujuannya untuk menyelidiki kondisi pengungsi di Nduga yang telah mengungsi sejak Desember 2018 serta di Intan Jaya yang telah mengungsi sejak Oktober 2019 akibat operasi militer yang terus berlangsung," kata para pemimpin Gereja.

BACA JUGA: Pria Aborigin Tertua di Australia Stephen Steward, Telah Menjalani Hidup yang

"Kedua, untuk memantau ribuan tentara dan polisi yang diturunkan ke Papua sejak Agustus 2019 yang disertai penambahan markas tentara dan polisi," katanya.

Para pemimpin Gereja menilai pemerintah Indonesia telah gagal menangani krisis kemanusiaan yang sedang terjadi.

BACA JUGA: Australia Pertimbangkan Buka Kedatangan Internasional Secara Bertahap

Mereka juga meminta PBB untuk turut tangan menghentikan genosida orang Melanesia di Papua.

Pendeta Socratez Sofyan Yoman dalam keterangannya kepada media lokal menyebut konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan TNI/Polri di Kabupaten Nduga sejak Desember 2018, telah meluas ke Kabupaten Intan Jaya.

Hingga bulan Maret 2021, sebanyak 480 orang warga sipil telah tewas.

Pendeta Yoman menambahkan, sejauh ini sebanyak 34.461 orang telah mengungsi dari Nduga dan Intan Jaya.

"Sebagian dari mereka lari ke dalam hutan, dan sebagian yang lain mengungsi ke Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Mimika, Yahukimo, dan sejumlah kabupaten sekitarnya," jelasnya seperti dikutip Jubi.co.id. Penembakan dua orang guru

Tuntutan Dewan Gereja Papua ini terjadi di saat tindak kekerasan di wilayah dataran tinggi terus berlangsung. Pekan lalu misalnya, dua guru sekolah ditembak mati di Beoga, Kabupaten Puncak.

TPNPB mengaku bertanggung jawab atas setidaknya satu pembunuhan, dengan menyebut bahwa guru tersebut merupakan mata-mata pemerintah Indonesia.

Kedua korban masing-masing guru SMP bernama Yonatan Randen dan guru SD bernama Oktovianus Rayo.

Kepala Kepolisian Kabupaten Puncak Kompol I Nyoman Punia membenarkan kejadian penembakan tersebut.

Yonatan yang berasal dari Toraja, Sulsel, ditembak di rumahnya di Ujung Bandara Beoga, sedangkan Oktovianus ditembak di rumahnya di Kampung Julukoma, Beoga.

Akibat penembakan ini, aparat TNI/Polri telah mengevakuasi sejumlah penduduk saat mereka mengejar pasukan gerilya dan pendukung TPNPB.

"Kami turut berduka cita atas penembakan dua guru di Beoga, Kabupaten Puncak," kata para pemimpin Gereja.

"Di saat yang sama, kami juga prihatin dengan kerja sama antara Dinas Pendidikan Provinsi Papua dan aparat keamanan yang memungkinkan TNI dan Polri untuk mengajar di sekolah negeri sebagai bagian dari upaya pelabelan Organisasi Perlawanan Pembebasan Nasional Papua (TPN/OPM) sebagai teroris," tambahnya. Berharap Australia tunjukkan rasa kemanusiaan

Selain mendesak PBB, pemuka Gereja lainnya juga berharap agar negara tetangga seperti Australia paling tidak bisa menunjukkan rasa kemanusiaan atas krisis yang sedang berlangsung.

Hal itu disampaikan Rode Wanimbo dari Departemen Perempuan Gereja Evangelis Indonesia di Papua (GIDI) dalam wawancara dengan Program Pacific Beat Radio ABC.

"Kami sangat berharap negara tetangga seperti Australia bisa menunjukkan rasa kemanusiaan terhadap saudara-saudaranya di Papua," katanya.

"Sebagai perempuan Papua, saya secara pribadi sangat berharap Australia menolong kami untuk memulihkan kemanusiaan, kami butuh solidaritas internasional, khususnya Australia untuk menghentikan bantuan militer ke Indonesia," imbuhnya.

"Kami telah hidup dalam trauma terutama anak-anak. Ketika kami melihat tentara berseragam, hal itu menimbulkan trauma lebih lanjut," kata Wanimbo.

Pemerintah Indonesia pada tahun 2019 telah memberikan izin kepada Komisioner Hak Asasi Manusia PBB untuk mengunjungi Papua, namun hal itu belum pernah terwujud karena alasan keamanan dan pandemi COVID-19.

Artikel ini diproduksi oleh Farid M. Ibrahim.

Simak artikel lainnya dari

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jenderal Myanmar Pemimpin Kudeta Bakal ke Jakarta Pekan Depan

Berita Terkait