Di Antara Tatas, Beje dan Antusiasme Warga, Masih Ada Keraguan

Kamis, 21 Juli 2011 – 23:30 WIB
BENDUNG - Warga berdiri di atas tabat (semacam bendungan kecil) yang baru dibangun di salah satu kanal di lahan gambut Dusun Tumbang Mangkutub, Katunjung, Kecamatan Mentangai, Kapuas, Kalteng, Juli 2011. Foto: Arsito/JPNN.
Meski tak begitu paham dengan istilah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang bagi banyak 'orang kota' pun masih samar-samar konsepnya, sejumlah warga pinggiran Sungai Kapuas mengaku antusias dan senang dengan program percontohan yang (hendak) dijalankan di kawasan merekaNamun, mengapa masih ada keraguan?

Laporan ARSITO HIDAYATULLAH, Palangkaraya

RAUT muka Surianto, lelaki paruh baya warga salah satu wilayah di sepanjang aliran Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng) tersebut, Sabtu (16/7) malam itu tampak bersemangat

BACA JUGA: Terbesar di Dunia, 4.541 Pasangan Menikah Masal di Istora Senayan

Penuh antusiasme, jika boleh disebut demikian
Ia memang sedang berbicara di depan rombongan 'tamu penting', sekitar 20-an wartawan dari beberapa daerah di Indonesia, yang baru saja tiba di dusunnya, Dusun Tumbang Mangkutub, Desa Katunjung, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas, malam itu.

Rombongan wartawan ini sendiri datang dalam rangka kunjungan lapangan, sebagai bagian dari workshop jurnalistik bertajuk "Hutan, Perubahan Iklim dan REDD+" yang digelar oleh CIFOR (Center for International Forestry Research) di Palangkaraya, Kalteng

BACA JUGA: Eulis Rosmiati, 20 Tahun Menjadi Bidan di Desa Sangat Terpencil dan Tertinggal

Kedatangan mereka ke Tumbang Mangkutub adalah bagian dari fieldtrip tiga hari, tepatnya ke beberapa lokasi proyek percontohan REDD+ yang dikelola oleh KFCP (Kalimantan Forests and Climate Partnership) di bawah kerangka kemitraan Australia-Indonesia.

Dua tempat lainnya yang disinggahi para wartawan adalah Desa Sei Ahas, Kecamatan Mentangai, serta Desa Petak Puti, Kecamatan Timpah
Sekadar info, ada tujuh desa (Sei Ahas, Mentangai Hulu, Kalumpung, Katimpun, Katunjung, Tumbang Muroi dan Petak Puti) dari dua kecamatan tersebut yang merupakan wilayah kerja KFCP, dalam proyek percontohan REDD+ yang telah jalan sejak 2008 dan akan berakhir pada 2013 ini

BACA JUGA: Jeritan Hati Anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI)

Bedanya, jika di Tumbang Mangkutub serta Desa Petak Puti, rombongan sempat menginap masing-masing semalam, di Sei Ahas hanya singgah sebentar pas waktu Magrib dalam perjalanan hari pertama.

Kembali kepada antusiasme warga, di Sei Ahas misalnya, Suka sang kepala desa, bersama beberapa perangkat desa dan warganya, setidaknya juga sempat mengungkapkan hal itu kepada wartawan"Kami tentu saja merasa senang dengan adanya program dari KFCP iniKami semua menyambut baik dan mendukungnya," ungkap Suka, sembari ditimpali anggukan dari warganya, yang antara lain menyebut bahwa selain insentif (dana) yang bisa mereka terima dari pembibitan hingga penanaman dan perawatan pohon, unsur 'konservasi lingkungan'-nya pun menjadi faktor penting bagi mereka.

Di Tumbang Mangkutub juga kurang lebih demikianSurianto, sang sekretaris dusun yang bukan kebetulan adalah juga anak dari kepala dusun bernama Sigai E Saman, tak cukup menunjukkan antusiasme itu dengan raut muka penuh semangatnyaKepada rombongan wartawan dan utusan CIFOR malam itu, ia bahkan menggarisbawahinya dengan memaparkan apa-apa yang telah dan siap mereka lakukan, demi mendukung program KFCP tersebutTermasuk di antaranya menyediakan lahan untuk pembibitan pohon, serta dukungan pengerjaan dari warga dusunnya.

Lebih dari itu, Surianto pun tak lupa mengngkapkan bahwa warga setempat pada dasarnya juga sedari dulu sangat peduli pada lingkunganKendati ia juga mengakui bahwa pembalakan liar (illegal logging) sudah menjadi bagian dari kehidupan warga sejak beberapa generasi sebelumnya, namun ia dengan tegas mengklaim bahwa hal tersebut saat ini sudah bisa dikatakan tak berlangsung lagiPemahaman warga yang termasuk bagian dari Suku Dayak ini akan 'pemetaan' tanah dan lahan pun, lantas ia sebut sebagai bagian dari kearifan lokal mereka atas kondisi lingkunganDemikian juga dengan tatas dan beje.

Tatas dan beje pun menjadi bagian dari kunjungan lapangan para wartawan keesokan harinyaBeje, sebentuk kolam yang sengaja digali di lahan gambut, berfungsi sebagai 'perangkap ikan' pada musim hujan (banjir), yang hasilnya --kebanyakan adalah ikan gabus atau haruan serta nila dan papuyu-- biasanya dipanen pada musim kemarau dan menjadi salah satu sumber mata pencaharian wargaSementara tatas, adalah semacam saluran air di lahan gambut yang sengaja diatur alirannya, baik dengan tujuan menghindari kekeringan sekaligus juga demi mempertahankan ketersediaan ikan.

Sebagian wilayah Tumbang Mangkutub memang merupakan lahan gambut (peatland), yang notabene adalah bagian dari 'kawasan gagal' eks-program raksasa Proyek Lahan Gambut (PLG) pada beberapa dekade yang laluLantaran itu pula, di daerah ini bisa ditemukan sejumlah besar kanal-kanal atau saluran air, yang selain kemudian dijadikan lahan mencari ikan oleh warga, juga sempat lama dijadikan sebagai wahana transportasi loggingDan di kanal-kanal itulah, KFCP lantas mencoba menginisiasi program pemblokiran saluran yang disebut penabatan, yang konon berpedoman pada model tatas milik warga.

Di salah satu kanal kecil yang dikunjungi rombongan wartawan siang itu, yang disebut baru saja dibuatkan tabat di tiga titik sepanjang alirannya oleh warga di bawah koordinasi KFCP, tampak bendungan kayu (tabat) yang masih fresh dan lumayan kokoh tersebutDibuat menggunakan bahan kayu (tanaman) yang bisa terus tumbuh, warga meyakini tabat itu akan berfungsi efektif menahan aliran air, yang pada akhirnya dapat menjaga kelembaban lahan gambut dan mencegahnya dari musibah kebakaran berkepanjanganSebagaimana diketahui, gambut dikenal sebagai penahan karbon, yang jika mengalami kebakaran berarti juga melepaskan sejumlah besar karbon ke udara (atmosfer).

Pembuatan tabat atau penabatan bisa disebut sebagai bagian dari wujud kegiatan KFCP di daerah ituDemikian juga dengan pembibitan pohon, berikut penanaman dan program perawatannyaKegiatan lain yang juga bisa dicatat adalah Sekolah Lapang (SL) yang berhubungan dengan pengelolaan karetNamun di luar itu, berikut kegiatan-kegiatan administrasi dan tahapan sosialisasinya, bisa dikatakan tak ada lagi wujud nyata dari program KFCPMasalahnya, sesuai kesepakatan kerjasama Indonesia-Australia, kurang dari dua tahun lagi (2013) program ini sudah akan memasuki masa deadlineInilah lantas yang menjadi salah satu poin keraguan akan suksesnya program ini.

Elemen keraguan lain ada pada aspek penerimaan dan keterlibatan penuh wargaMeski sosok aparat dusun/desa seperti Surianto atau Suka menyatakan dukungan, rasa senang, berikut antusiasme warganya, kepada wartawan secara terpisah beberapa mulut warga tak urung sempat melontarkan keraguanBaik itu ragu karena tidak mengetahui dan memahami secara utuh program ini (kurang berhasilnya sosialisasi, Red), ragu terhadap pelaksanaan juga manfaatnya, hingga keraguan akan masa depan program iniUntuk yang terakhir, salah satu yang mengemuka adalah persoalan (status) kepemilikan lahan ketika nanti periode program ini berakhir.

Surianto sendiri pun sempat mengisyaratkan masalah ini (status lahan)Di mana intinya, meski relatif percaya bahwa KFCP cuma melibatkan dusunnya sebagai bagian dari wilayah kelola/kerja program ini, ia tegas-tegas tidak ingin jika kelak lahan milik warga yang sudah diakui secara adat (turun-temurun) harus diganggu, apalagi tak diakui atau diambilalih"Kalau itu sampai terjadi, kita lihat sajaKami, warga, akan mempertahankan haknya," ujarnya tegas.

Keraguan serupa juga bisa ditemukan di Desa Petak Puti, sebuah desa yang sudah lebih maju di Kecamatan Timpah yang berlokasi lebih ke hulu lagi di aliran sungai itu (Kapuas)Desa yang oleh KFCP disebut masih dalam tahap sosialisasi untuk programnya ini, melalui mulut sejumlah warga, tampaknya juga masih memendam keraguan dengan program tersebut"Tahu, tapi belum mengerti juga sebenarnya, programnya seperti apa," ungkap Sadi, salah seorang warga di satu kesempatan.

Bahkan dalam sesi dialog informal dengan rombongan wartawan yang baru datang malam itu pun, beberapa perangkat Desa Petak Puti tak ketinggalan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan mendasarnya"Yang saya masih belum paham, kalau nanti sudah selesai (programnya), lalu karbonnya dijual ke mana?" tanya salah seorang perangkat desa"Saya juga ingin tahu, jika nanti lahannya telah berhasil ditanami lewat program KFCP ini, maka kemudian (lahan itu) menjadi milik siapa?" timpal sang Kepala Desa, Yuyo Pidulin.

Lewat Yuyo pula kemudian, satu unsur keraguan lainnya terungkapYakni betapa menurutnya, ia dan sebagian besar warga sebenarnya masih trauma dengan kedatangan rombongan 'orang luar' ke desanya ituHal itu berangkat dari kejadian beberapa tahun lalu, ketika serombongan aparat keamanan 'liar' datang ke desa berpasir putih tersebut, lantas tanpa ba-bi-bu mengambil dan menggunakan perahu-perahu kecil (ketinting) maupun boat milik warga untuk mengangkuti kayu serta hasil tambang emas di sungai.

"Tapi itu awalnya (ketika KFCP datang)Sekarang, saya kira, setelah beberapa waktu (lebih dari setahun, Red) bergaul dan bersosialisasi dengan kita, warga sudah relatif tenang dan percaya," tuturnya.

Terlepas dari keseriusan KFCP, terutama para petugas lapangannya dalam menjalankan program ini, masalah sosialiasi dan efektivitas pelaksanaan program harus diakui menjadi bagian dari tanda tanya besar atas keberhasilan proyek percontohan REDD+ tersebutBelum lagi jika berbicara tentang 'kejujuran sepenuhnya' dari warga dalam mendukung apa yang pada intinya merupakan upaya pelestarian lingkungan iniSampah yang berserakan di Tumbang Mangkutub dan sikap mental tak peduli dari warganya adalah satu contoh.

Begitu pula praktek illegal logging dan illegal mining (penambangan emas di sungai khususnya di Petak Puti, Red), yang meski diklaim telah berkurang atau menghilang, tampaknya masih saja tak bisa ditinggalkan oleh warga, baik dilakukan secara semi-terbuka maupun ekstra sembunyi-sembunyiKFCP yang tak berdaya jika harus bergerak sendiri, jelas butuh dukungan dari banyak pihak, jika ingin proyek REDD+ ini berhasil(ito/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ogah Latih Klub Indonesia, Janji Kembali Lagi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler