Menjadi bidan di desa yang sangat terpencil di Jawa Barat, bagi Eulis Rosmiati, dianggap sebagai pengabdianHingga kini, 20 tahun sudah dia mengabdi
BACA JUGA: Jeritan Hati Anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI)
Masyarakat desa itu yang semula berpola hidup sangat tradisional sedikit demi sedikit berhasil diubah menjadi lebih majuBACA JUGA: Ogah Latih Klub Indonesia, Janji Kembali Lagi
DHIMAS GINANJAR, Jakarta
SENYUM ramah terpancar di wajah Eulis
BACA JUGA: Kaget Saat Dicalonkan sebagai Ketum PSSI
Sehari-hari, Eulis bekerja sebagai bidan di Desa Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa BaratHari itu, dia berada di Jakarta karena menerima penghargaan sebagai bidan teladan
Dengan senyum mengembang, Eulis mengungkapkan bahwa dirinya sangat gembira menerima penghargaan tersebut"Gara-gara saya dapat penghargaan ini, Pak Gubernur (Gubernur Jabar Ahmad Heryawan) akhirnya berkunjung ke desa kami," kata perempuan 41 tahun tersebut.
Tidak hanya itu, ketika berkunjung ke desa tersebut, gubernur sempat menjanjikan kepada Eulis untuk segera membangun puskesmasBegitu menyebut puskesmas, dua mata Eulis terlihat berkaca-kacaTak lama berselang, air matanya jatuh membasahi pipi"Saya sangat senangSebab, sampai sekarang, desa kami tidak punya puskesmas," ungkapnya dengan suara bergetar lantas terisak.
Pendirian puskesmas memang menjadi dambaan EulisSebab, selama ini, penanganan kesehatan warga di desa itu hanya bisa dilakukan seadanya di pondok kesehatan desa (poskesdes)Maklum, jarak puskesmas terdekat dari desa tersebut mencapai 30 kmOngkos sekali jalan saat siang mencapai Rp 50 ribu dan naik 100 persen saat malam.
Ujung Genteng adalah sebuah desa di Sukabumi yang dihuni 4.438 penduduk dengan 1.251 KK (kepala keluarga)Potret sebagai desa tertinggal terlihat pada jumlah keluarga prasejahtera yang mencapai separonyaSisanya termasuk dalam keluarga sejahtera 1 (mudah jatuh miskin).
Menurut Eulis, sangat sulit menuju Desa Ujung GentengSebab, tidak banyak kendaraan umum yang tersediaSelain itu, kondisi jalan masih sangat parah karena berlubang-lubang dan berkelok-kelokDari Kota Sukabumi, sedikitnya butuh lima jam perjalanan dengan mobil untuk menuju desa itu
"Ketika awal-awal bertugas di desa itu pada 1991, saya sempat gundah," ceritanya"Minimnya sarana dan infrastruktur serta sulitnya medan yang harus saya tempuh sempat membuat saya hampir menyerah," lanjutnyaNamun, kondisi yang sulit tersebut justru memacu semangatnya
Yang menjadi cambuk bagi Eulis kala itu, di desa tersebut tidak ada lagi bidanSulitnya medan juga membuat dia yakin bahwa warga sangat mengandalkan kehadiran dirinyaHarapan tinggi wargalah yang akhirnya membuat lulusan sekolah bidan di Bandung tersebut bertekad untuk bisa berbuat sesuatu.
Dia mulai mempelajari karakteristik wargaMulai pola menjaga kesehatan, budaya dalam persalinan, hingga penanganan dalam keadaan darurat"Ternyata, semua masih dilakukan secara tradisional dengan sedikit klenik," jelasnya
Dia lantas mencontohkan masalah persalinanSetiap ibu yang akan bersalin (melahirkan) selalu dibawa ke dapurTak cukup itu, si ibu harus berada di kolong tempat tidurDi kolong sempit itulah sang ibu berjuang melahirkan bayi bersama dukun"Menurut keyakinan mereka, ibu melahirkan itu kotorKarena itu, harus dibawa ke dapur," tuturnya.
Tidak hanya itu, jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan jaminan persalinan (jampersal) hampir tidak berarti bagi warga Desa Ujung GentengSemua itu percumaSebab, untuk menuju rumah sakit terdekat, yakni RS Jampang, jaraknya mencapai 60 km dari Desa Ujung GentengSebelum RS tersebut didirikan sekitar 2004, warga Ujung Genteng harus menuju wilayah Sekar Wangi, Sukabumi, dengan jarak 160 km.?
Yang membuat Eulis geregetan, warga desa sering ditolak masuk RS karena pasien sudah membeludakKarena tanggung untuk balik ke desa, akhirnya mereka terpaksa mencari RS lainIbu tiga anak itu pernah menangani kasus persalinan dan terpaksa membawa ke Bogor hanya untuk berobat"Transpornya saja sudah habis Rp 1 juta," ungkapnya.
Akhirnya, dia berpikir agar warga desa bisa mandiriSaat panas-panasnya reformasi 1998, Eulis mulai menjalankan strateginya memberdayakan warga desaDia mulai membentuk kelompok arisan WCTujuannya, meningkatkan jumlah WC di setiap RTMaklum, saat itu, sangat sedikit warga yang mempunyai WC di rumahnya"Harapan saya, kesehatan warga bisa membaik," terangnya.
Cara arisan WC itu, warga saling memberikan subsidi silang untuk membuat WCDari program tersebut, jumlah WC di tiap-tiap RT meningkatKalau sebelumnya hanya 500 orang yang punya WC, sekarang sudah tinggal 100-an rumah yang tanpa WCEulis mengklaim, warga saat ini lebih bersih dan kesehatannya juga meningkat.
Selain itu, dia menciptakan program arisan sebagai dana cadangan kalau ada keperluan pengobatan dan biaya persalinanAgar warga mau bergabung, program tersebut diberi nama unik: "Seliber".?Singkatan dari seliter berasYakni, program pengumpulan beras bagi para warga yang bekerja sebagai petani dengan cara mengumpulkan dua sendok beras setiap hari
Dari program tersebut, dalam sebulan, setiap petani mempunyai 60 sendok beras yang setara dengan seliter berasBeras dari seluruh petani itu dikumpulkan dan dijual kepada tengkulakHasilnya, uang tersebut dijadikan dana simpanan untuk keadaan darurat"Gampangnya, petani yang butuh uang untuk berobat tinggal mengajukan," jelasnya.
Bagi para nelayan, ada pula arisannya, yakni Meronce KasihPolanya sama seperti arisan seliberBedanya, pada arisan Meronce Kasih, nelayan mengumpulkan sekilo ikan dengan kualitas paling rendah setiap pergi melautPola yang sama diberlakukan bagi penyadap gula aren dengan mengumpulkan 2 kg aren per bulan.
Para penambang pasir juga memiliki arisannya, yakni diberi nama Limaribu KasihCaranya, mengumpulkan Rp 5.000 setiap bulanTidak hanya itu, Eulis juga menciptakan jaminan asuransi kesehatan yang disebut Askes LemburItu merupakan asuransi kesehatan yang hanya berlaku di lembur (sebutan kampung, Red)"Semua untuk dana darurat kesehatan," paparnya.
Kemudian, dia menggagas rumah singgahYakni, pemberdayaan rumah warga sebagai tempat persalinan yang layak untuk ibu bersalinGagasan rumah singgah itu muncul karena pengalaman Eulis mengantarkan seorang ibu bersalin ke puskesmas terdekat saat malam dan hujan"Medan yang berat membuat mobil terperosok di salah satu ruas jalan," kenangnya.
Dia lantas berjalan kembali ke desa dan membangunkan hampir seluruh warga RT untuk membantu membebaskan mobil yang terjebak di lumpur selama hampir sejam ituTidak mau kejadian tersebut terulang, dia lantas bernegosiasi dengan warga untuk menyediakan rumah mereka sebagai rumah singgah.
Warga yang memiliki rumah di tengah jalan dirayu agar mau menyediakan satu kamar untuk persalinanTidak mudah memangDengan berbagai alasan, akhirnya ada juga warga yang bersediaRumah singgah tersebut kemudian dilengkapi perlengkapan persalinan"Ruangannya harus bersih, steril dan nyaman untuk persalinan," tambahnya.
Eulis juga rutin mengadakan Tabulin (Tabungan Ibu Bersalin) yang berarti persiapan dana saat melahirkanSetiap hari, para ibu diminta mengumpulkan Rp 1.000Uang tersebut nanti diberikan kepada ibu yang melahirkan lebih dulu.
Untuk menghilangkan batas antara wilayahnya dan daerah lain, dia menggugah warga untuk mendukung program ambulans desaNamun, bukan patungan untuk membeli ambulansWarga yang memiliki kendaraan seperti mobil, motor, atau kendaraan apa pun dimintai komitmen untuk membantu warga"Digunakan oleh warga yang memerlukan kapan pun," tegasnya.
Saat ini, warga Desa Ujung Genteng telah merasakan manfaat pemikiran EulisKegigihan Eulis membuat dirinya dinobatkan sebagai bidan teladanSaat ini, dia masih menjadi satu-satunya bidan di desa tersebutDia berharap gubernur tidak mengingkari janjinya untuk membangun puskesmas(c5/kum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berkunjung ke Pabrik Pembuat Kantong Darah Kawasumi di Thailand
Redaktur : Tim Redaksi