jpnn.com, JAKARTA - Dosen Universitas Pertahanan RI Dr. Hasto Kristiyanto mengatakan TNI tidak boleh terjun dalam dunia politik praktis. Meski demikian, Hasto menyatakan TNI harus memahami kebijakan politik negara.
Hal itu disampaikan Hasto dalam ketika mengisi kuliah umum Perwira Siswa Pendidikan Regular Sekolah Staf dan Komando AL (Seskoal) di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (19/10). Tema kuliah adalah “Pentingnya Pemahaman Geopolitik Terkait Lingkungan Strategis Yang Terjadi Saat Ini Dalam Rangka Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”.
BACA JUGA: Megawati Usul Jokowi Kumpulkan 3 Matra TNI Bahas Postur Pertahanan dengan Cara Pandang Geopolitik
Menurut pakar ilmu pertahanan itu, setiap perwira TNI harus memiliki pemahaman terhadap aspek-aspek politik pertahanan dalam cara pandang geopolitik.
Selain itu, Hasto juga menyatakan calon presiden ke depan harus bisa memahami dan mewujudkan perspektif kekuatan pertahanan Indonesia sebagai negara maritim.
BACA JUGA: Gus Jazil Bahas Geopolitik Indonesia Hadapi Rivalitas AS & Tiongkok dan Perang Rusia-Ukraina
“Bahwa TNI harus netral dalam politik praktis itu iya, tetapi harus memahami kebijakan politik negara karena membangun kebijakan pertahanan itu melalui kebijakan politik,” kata Hasto.
Dalam kuliah itu, Hasto menjelaskan panjang soal teori geopolitik Soekarno, yang merupakan hasil riset dan karya disertasi doktoralnya di Universitas Pertahanan (Unhan).
BACA JUGA: Letda Sahril Awalnya Pesimistis Bisa jadi TNI, Tetapi Ujungnya Bikin Bangga
Pria asal Yogyakarta itu memberi penjelasan soal latar belakang peristiwa geopolitik dunia yang menyangkut Indonesia. Dan konflik Rusia-Ukraina semakin menyadari pertarungan geopolitik itu selalu ada.
Pria yang menjabat sebagai Sekjen PDIP itu menerangkan pemikiran Geopolitik Bung Karno lahir berdasarkan ideologi Pancasila, sebagai jawaban atas sistem internasional yang anarkistis.
Berdasarkan risetnya, Hasto menjelaskan gambaran perang masa depan itu tetap sama dengan yang digambarkan oleh Bung Karno. Dan untuk menghadapinya, Soekarno sudah memikirkannya.
“Bahwa Indonesia harus menjadi kekuatan pertahanan yang terkuat di Samudera Hindia, guna menyongsong masa depan di Pasifik. Atas cara pandang geopolitik ini, maka kekuatan maritim, udara, darat, hingga membangun pertahanan outer space menjadi penting sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai negara maritim,” ujar Hasto.
Berdasarkan teori geopolitik Soekarno, kata Hasto, kekuatan pertahanan Indonesia harus dibangun dengan bauran tujuh variabel geopolitik, yakni demografi, teritorial, sumber daya alam, militer, politik, koeksistensi damai, sains, dan teknologi berdasarkan kepentingan nasional Indonesia.
“Jadi, geopolitik itu pengetahuan tentang keadaan kita sebagai negara kepulauan terbesar dengan melihat konstelasi geografisnya. Kita menempatkan laut sebagai halaman dan masa depan kita. Konsepsi pertahanan juga atas cara pandang itu sehingga kekuatan angkatan laut dan udara dengan topangan kekuatan TNI AD menjadi kekuatan terdepan di dalam menghadapi agresi negara lain, dan ketika negara agresor berhasil masuk ke wilayah Indonesia, maka kekuatan Angkatan Darat melalui pertahanan pulau-pulau besar diterapkan dengan topangan AL dan AU,” jelas dia.
Hasto menganggap seluruh matra harus kompak, solid, dan menjadi satu kekuatan pertahanan yang efektif bagi Indonesia Raya. “Belajar dari Perang Rusia-Ukraina, ekskalasi konflik hingga perang ternyata terjadi karena diawali persoalan geopolitik,” kata Hasto.
Hasto menegaskan geopolitik Soekarno tidak mengenal watak ekspansif. Demikian halnya pertahanan negara. “Kekuatan pertahanan sangat penting agar tidak ada satu pun negara yang berani menganggu kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Namun kekuatan pertahanan ini juga penting guna menjaga dunia yang bebas dari berbagai belenggu penjajahan”, kata Hasto.
Menghadapi persoalan geopolitik di kawasan, khususnya di Laut Tiongkok Selatan, Hasto menegaskan Indonesia harus menjadi the guardian of the world peace. Perintah konstitusi jelas, lanjut Hasto, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
“Karena itulah kita perlu TNI yang kuat, agar bisa menjaga perdamaian dunia. Indonesia harus ambil langkah aktif dan progresif guna mencegah perang di Selat Taiwan dan Laut Tiongkok Selatan. Disitulah peran diplomasi luar negeri yang terintegrasi dengan diplomasi pertahanan”, kata Hasto.
Hasto menerangkan teori geopolitik Soekarno menemukan untuk membangun kekuatan pertahanan negara, kunci paling utamanya adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu faktor kedua adalah politik, khususnya diplomasi pertahanan dan luar negeri.
Danseskoal Laksamana Muda (TNI) Yoos Suryono Hadi menambahkan materi kuliah yang disampaikan Hasto sangat penting. Sebab, militer harus mengantisipasi disrupsi keamanan dengan adanya perang Ukraina-Rusia.
“Perang Ukraina-Rusia juga memberi pengaruh secara politik dan ekonomi yang mengharuskan Indonesia mengkalkulasi ulang strategi kebijakan beserta program pemulihan ekonomi, dan reformasi struktural yang menjadi fokus pemerintah,” kata Yoos.
Yoos juga menjelaskan peserta yang mengikuti kuliah tersebut adalah angkatan ke-60, dengan diisi 182 perwira menengah. Terdiri dari perwira TNI AL 162 orang, TNI AD dua orang, TNI AU dua Orang, dan Polri tujuh orang. (Antara/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pesan Dandim Jayawijaya untuk Prajurit TNI: Jalin Komunikasi Sosial di Wilayah Teritorial
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga