jpnn.com - Beberapa kali menggagalkan penyelundupan senjata dan narkoba. Bertarung nyawa di laut lepas demi rupiah. Itulah kisah penduduk Kampung Nanedakele yang menjadi benteng pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di utara.
Andreas Pinontoan dan Fikantri Kaesang - Tinakareng, Sangihe
BACA JUGA: Panjatlah Tebing Batu dan Dapatilah Air Terjun Eksotis
Kampung Nanedakele terletak di Pulau Bukide (Tinakareng) Kepulauan Sangihe. Bukide, Marore, Kawio, Matutuang, merupakan wilayah khusus yang masuk dalam kawasan Border Crossing Agreement (BCA).
Sebagai pelintas batas, penduduk desa ini diberi kemudahan masuk ke Filipina. Tapi, harus melewati pos perbatasan di Pulau Marore.
BACA JUGA: Beginilah Cara Teman Ahok Membuktikan Validitas KTP Dukungan, Wow!
Untuk mengetahui kehidupan para pelintas batas, wartawan ini mencoba menemui pemerintah setempat dan warga. Tak ada yang mau berkisah.
Sekretaris Desa kemudian mengarahkan koran ini bertemu Fikran. Dari hasil wawancara dengan Fikran, nelayan pelintas batas, terungkap betapa dekat dan erat masyarakat Sangihe dengan Filipina. Sudah banyak kawin-mawin.
BACA JUGA: Ssst...Dua Cantik Ini Personel Brimob Penjinak Bom
“Makanya kalau menyeberang, banyak yang beralasan mengunjungi keluarga,” tuturnya seperti dilansir Manado Post (JPNN Group).
Dia pun berkisah pengalamannya selama belasan tahun. “Saya sudah melaut ke sana sejak tahun 1999. Mungkin sudah ribuan kali saya ke sana.”
Lelaki usia sekira 30-an ini pergi tanpa melewati kantor pos lintas batas Marore. Ilegal. Hal itu terpaksa dilakukan lantaran birokrasi perizinan yang rumit. Makan waktu. Bila dokumen tak lengkap, akan dipulangkan kembali ke Tinakareng.
Selain itu, kalau melewati pos lintas batas, barang yang dibawa tidak boleh melebihi berat yang sudah ditentukan serta harus membayar bea dan cukai jika membawa barang yang kena pajak.
"Kalau disita, pendapatan pasti kurang. Itu tak dapat menutup operasional pulang pergi,” tambahnya.
Apalagi, ada batasan volume barang yang dibawa. “Karenanya, warga sekitar sini lebih memilih lewat secara diam-diam,” akunya.
Karena ilegal, Fikran dan para pelintas batas tak berdokumen itu tak bisa bertolak di saat mentari bersinar. Malam adalah saat yang tepat.
“Kalau dari sini (Tinakareng) biasanya berangkat jam delapan malam. Esok sore tiba di General Santos. Kami menggunakan pumpboat kecil. Panjangnya hanya lima sampai tujuh meter. Hanya punya satu mesin,” jelasnya.
Lantas, bagaimana mendapatkan arah menuju General Santos? Fikran selalu membawa kompas. Tapi, alam ikut menjadi penunjuk arah. Matahari di siang hari, dan rasi bintang saat malam.
Penduduk Tinakareng dan Sangihe Besar memang lebih senang ke General Santos. Harga ikan tuna di sana berkali-kali lipat lebih mahal. Di Tahuna (ibu kota Sangihe), sekilo ikan harganya Rp18 ribu.
Sedangkan di Filipina harganya sampai Rp 80 ribu/kg. Ikan tuna sendiri seperti pass masuk ke Filipina. Penjaga perbatasan Filipina lebih senang kalau ada yang hendak menjual ikan tuna.
“Istilahnya kalau membawa ikan akan melenggang masuk membusungkan dada meskipun di siang hari,” ujarnya. Untuk bertransaksi, tak ada kendala. Bisa tunai, bisa barter.
Selain ikan, nelayan Tinakareng juga membawa rokok dan kopra. Nantinya ditukar dengan beras, ayam, minuman soda, dan minuman beralkohol termasuk wine. Rokok biasanya ditukar dengan minuman. Selalu ada kebutuhan dari kedua belah pihak untuk dua jenis barang ini.
“Mungkin gengsi. Minuman dari luar negeri selain rasanya lebih enak juga jarang ditemui di Indonesia. Sama halnya dengan rokok. Bagi orang Filipina, rokok Indonesia rasanya lebih nikmat,” tuturnya.
Soal sistem barter, dua pihak sudah sama-sama punya pelanggan. “Sehingga untuk saling berbarter tidak membutuhkan cara khusus. Kalaupun tertangkap biasanya oknum penjaga diberikan uang dua hingga tiga juta,” ungkapnya.
Sekali menyeberang, bisa mendapatkan untung Rp 2 juta. Di batas Filipina dan Indonesia ini, mata uang rupiah maupun peso mudah didapat dan ditukar. Mudah juga diterima sebagai alat bayar.
Bagi pelintas pemula, tantangan ke negera tetangga lebih sulit. Setelah berhasil melewati penjagaan petugas perbatasan Indonesia, harus bisa menaklukkan laut lepas.
Pun, setibanya di negara itu, belum tentu juga bisa masuk. Awalnya, Fikran sampai harus main kucing-kucingan dengan petugas Filipina. Ditambah lagi, ada warga Filipina yang mulai merasa iri dengan keberadaannya.
“Tapi sekarang ini sudah tidak dikejar lagi, karena sudah banyak kenalan. Meskipun jalan di siang hari, bahkan kalaupun masuk ke kantor imigrasi tidak ditangkap karena banyak kenalan,” ujarnya tersenyum.
Para pelintas batas tak terusik dengan aktivitas kelompok pemberontak. Fikran justru pernah dibantu kelompok Moro saat dikejar petugas. Ternyata, ada anggota Moro yang masih punya ikatan saudara dengan warga Sangihe.
Selain berdagang, Fikran dan warga lainnya juga menawarkan jasa ke Filipina. Biayanya Rp 1 juta per orang.
“Kalau hanya untuk berkunjung dipastikan aman kalau jalan denganku. Sudah banyak kenalan petugas,” katanya dengan nada sedikit sombong.
Kondisi sekarang di Gensan, menurutnya lebih aman. Kelompok pemberontak merasa lebih aman di Kepulauan Sulut. Ke arah barat dari General Santos.
Penjaga Perbatasan
Selama ini, warga di perbatasan dianggap membantu masuknya penyelundup ke Indonesia. Fikran dan warga setempat sudah tahu soal ini. Mereka kecewa.
Dari (pemerintah) pusat sudah menggaris merah warga Tinakareng sebagai daerah penyelundup,” katanya.
Tak banyak ekspos soal tindakan warga situ yang banyak membantu pihak keamanan menangkap penyelundup senjata dan narkoba.
Sejak lama, warga Tinakareng memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan pihak keamanan untuk melakukan penangkapan. Ada sekian banyak penangkapan yang dilakukan oleh warga. Contohnya, waktu menggagalkan penyusupan senjata di era konflik Ternate.
“Saudara kami dari Filipina sudah menghubungi kami untuk menggagalkan pengiriman senjata. Saat penumpang tidur, galon berisi minyak dibuang, agar punya alasan untuk merapat ke sini mengambil bahan bakar. Kemudian kami menghubungi pihak keamanan untuk berjaga. Setelah berada di sekitaran pulau polisi, yang menyamar sebagai nelayan menjaga sang pengantar agar tidak ditembak penyelundup,” kisahnya.
Pernah juga ada penumpang yang beralasan menjual gula batu di Pulau Bukide. Gerak-geriknya mencurigakan. Warga kemudian menghubungi petugas. Tertangkap.
“Setelah nanti mau dicabut kuku kakinya baru mau mengaku kalau ingin membeli senjata,” tambahnya.
Bukan hanya warga di Tinakareng yang sering menawarkan jasa penyeberangan. Warga Talaud (kabupaten seberang Sangihe) juga banyak. Memang beberapa kali ada yang tertangkap dan mengaku sebagai warga di Tinakareng.
“Seperti pernah terjadi. Warga Tamako (di daratan Sangihe) mengaku penduduk di sini. Tetapi setelah dicek tidak terdaftar di Tinakareng,” ungkapnya.
Petugas perbatasan, menurutnya sangat ketat dan tegas soal penyelundupan narkoba dan senjata. Mereka tak segan menembak penyelundup. Meski, ada juga yang lolos.
Ini dibenarkan Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulut Kombes Pol Sumirat Dwiyanto. “Makanya kami mendorong segera terbentuknya Badan Narkotika di sana (Sangihe, red) yang bersifat vertikal,” kata mantan Kabag Humas BNN Pusat itu.
Sementara itu, Bupati Sangihe HR Makagansa mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan instansi terkait bahkan pemerintah pusat terkait penjagaan di perbatasan. Termasuk TNI Angkatan Laut dan Imigrasi.
"Karena jika tak diawasi, ditakutkan akan menjadi jalur masuk hal-hal negatif dari luar," kata Makagansa.
Warga Pulau Bukide atau juga dikenal dengan nama Tinakareng sangat menggantungkan kehidupannya di laut. Ada kapal kecil satu mesin selalu tersedia. Tapi, tak setiap hari beroperasi. Beruntung, ketika sampai di Petta, berpapasan dengan Kepala Desa Nanedakele yang menumpangi perahu.
“Silakan naik kapal ini saja,” ucap Uthan Dolonsana.
Perjalanan hanya 30 menit. Air laut yang jernih dan bentangan pasir putih menyambut saat perahu mendekati pulau. Sungguh indah. Ada perahu-perahu nelayan yang disandarkan. Menjadi nelayan bukan pilihan. Pasalnya, untuk bercocok tanam, kondisi tanah tidak cukup subur. Kalau ada tanaman pangan, hanya singkong.
Di pulau seluas 13,7 kilometer itu, ada lima desa. Diungkapkan Sekretaris Desa Nanedakele Hasan sudah dari dahulu kala dan sudah turun-temurun warganya menjadi nelayan.
Meski begitu, kesadaran untuk mengemban ilmu, patut dipuji. Generasi muda Tinakareng disekolahkan di Petta maupun Tahuna. “Bahkan, sudah banyak yang mulai pergi berkuliah di Manado,” bebernya.(manado post/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mandorak, Pantai Nan Indah Serasa Milik Pribadi
Redaktur : Tim Redaksi