Pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda menyesalkan tindakan Kepolisian RI yang menetapkan aktivis Veronica Koman sebagai tersangka. Veronica terlibat dalam isu Papua sejak 2014 dan memiliki misi mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Benny yang kini bermukim di Oxford, Inggris, dalam wawancara dengan program Pacific Beat dari ABC Radio, menyatakan sangat menyesalkan penetapan tersangka terhadap Veronica.
BACA JUGA: Staf Presiden Lenis Kogoya Persilakan Benny Wenda Kembali ke Indonesia
"Dia seorang wanita yang selalu membela hak-hak azasi manusia, dia sama sekali tidak terlibat dalam permainan politik," ujar Benny dalam program yang disiarkan Kamis (5/9/2019).
Aktivitas Veronica yang selama ini konsisten menyuarakan situasi yang terjadi di Papua, bagi Benny, seharusnya tidak membuat dia dijadikan sasaran oleh pihak berwajib Indonesia.
BACA JUGA: Tokoh Papua Ingatkan Benny Wenda Jangan Mencari Sensasi
"Dia seorang pengacara, yang tentu saja akan membela siapa saja, baik itu orang Papua maupun aktivis lainnya," ujarnya.
Veronica ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kerusuhan Papua oleh Polda Jatim pada hari Rabu (4/9/2019).
BACA JUGA: Saran Tokoh Papua Buat Presiden Jokowi Terkait Klaim Benny Wenda
External Link: Tweet VeronicaMisinya membuka kondisi Papua ke dunia luar
Keterlibatan Veronica dalam isu-isu Papua bukan baru terjadi belakangan ini saja.
Dalam wawancara dengan media The Guardian beberapa waktu lalu, Veronica menjelaskan dirinya mulai terlibat dalam isu Papua setelah mengetahui penembakan yang menewaskan murid sekolah pada Desember 2014.
"Begitu mendengar kasus pembunuhan tahun 2014 itu, saya mulai belajar banyak soal Papua dan itu benar-benar membuka mata saya," katanya.
"Itulah misi saya sekarang, yaitu membuka apa yang terjadi di Papua," tegas Veronica Koman.
Dia mengaku banyak belajar dari keberanian dan ketabahan rakyat Papua.
"Hal ini mengubah hidup saya, bagaimana saya melihatnya dan bagaimana saya melihat perlawanan mereka," tuturnya.
Akses informasi objektif tentang Papua sangat terbatas selama ini karena jurnalis dan aktivis LSM dibatasi untuk masuk ke sana. Sehingga bisa terjadi misinformasi.
"Aparat keamanan Indonesia cenderung meremehkan apa yang terjadi, misalnya tentang jumlah korban, sedangkan warga Papua cenderung melebih-lebihkan," kata Veronica kepada The Guardian.
"Kami di Jakarta tidak mendengar adanya pelanggaran HAM di sana," tambahnya.
Sebelum kerusuhan Papua pada Agustus lalu, Veronica sebagai pengacara sedang membela Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang kantornya di Mimika digerebek polisi pada malam tahun baru 2019 lalu.
Kantor KNPB itu menurut aparat keamanan Indonesia, merupakan milik pemerintah daerah yang diberikan kepada masyarakat setempat.
Namun pihak KNPB membantah hal itu dengan menyatakan pihaknya memiliki bukti tanah adat yang diserahkan kepada mereka oleh pemiliknya. Dialog sejajar
Dalam interview dengan jurnalis ABC Farid M. Ibrahim pada Selasa (27/8/2019) lalu, Veronica menyatakan solusi permasalahan Papua adalah dialog antara Jakarta dan Papua dengan syarat duduk sejajar, bukan sebagai pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
"Saya pikir, solusi yang dilakukan pemerintah Indonesia, betul-betul duduk dengan orang Papua secara sejajar. Jadi bukan sebagai pemerintah pusat bicara dengan Pemda, bukan seperti itu, tapi bicara sejajar sebagai Jakarta dan Papua," ujarnya.
"Kan mereka minta referendum, ya cobalah itu dibahas. Yang pasti pendekatan keamanan seperti biasa itu akan menyuburkan gejolak lagi."
"Jadi harus segera bahas nih, bagaimana caranya untuk... apakah referendumnya bisa dilakukan bagaimana."
"Hak menentukan nasib sendiri itu adalah jenis HAM yang fundamental dan juga Indonesia berhutang pada orang Papua karena dulu Pepera tidak dijalankan sesuai standar internasional, jadi saya kira orang Papua memang berhak untuk itu," papar Veronica Koman.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pernyataan Tokoh Adat Papua Ini Menohok Benny Wenda