Dialektika Digital

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 09 April 2022 – 20:40 WIB
Ilustrasi. Ada tiga platform digital yang menjadi raja dalam bisnis digital global sekarang ini. Mereka adalah trio FGA (Facebook, Google, Amazon) Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Ada dua mantra yang selalu diagungkan oleh kapitalisme global untuk membela perdagangan dan persaingan bebas internasional. 

Satu adanya the invisible hand, tangan gaib. 

BACA JUGA: Dewan Pers Sebut Publisher Rights Mencegah Digital Feudalism

Kedua, adanya level playing field, lapangan pertandingan yang rata dan sejajar yang memungkinkan terjadinya persaingan terbuka yang jujur.

Namun, dua mantra itu hanya berlaku bagi Amerika saja, atau hanya menguntungkan Amerika saja. 

BACA JUGA: Bamsoet Mendukung Jokowi untuk Membuat Regulasi Publisher Rights

Ketika dua mantra itu menguntungkan maka Amerika memakainya. 

Namun, ketika mantra itu tidak menguntungkan maka Amerika menelantarkannya.

BACA JUGA: HPN 2021, Auri Jaya Apresiasi Iktikad Jokowi Akhiri Penjajahan Platform Digital ke Media Konvensional

Perdagagan internasional di era kapitalisme global sekarang ini menunjukkan tidak adanya tangan gaib dan tidak adanya lapangan yang rata. 

Tangan gaib hanya berlaku untuk keuntungan Amerika. 

Lapangan yang rata hanya diperuntukkan bagi Amerika.

Ketika dunia mengalami transformasi digital dan seluruh dunia terkoneksi menjadi satu kesatuan global, seharusnya lapangan permainan menjadi lapang dan rata. 

Namun, kenyataannya, lapangan pertandingan masih tetap tidak rata. 

Wasit pertandingan adalah Amerika, dan pembuat rule of the game adalah Amerika.

Amerika melahirkan perusahaan platform digital yang menguasai ekonomi digital dunia. 

The invisible hand yang seharusnya menjadi wasit yang adil malah menjadi wasit yang berat sebelah untuk keuntungan platform digital.

Sebuah studi komprehensif dilakukan oleh Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers mengenai ketimpangan relasi kuasa perusahaan media dengan platform digital. 

Buku ‘’Dialektika Digital, Kolaborasi dan Kompetisi antara Media Massa dan Platform Digital’’ (2022) mengulik mengenai relasi kuasa yang merugikan perusahaan media itu.

Kemunculan teknologi digital menjadi disrupsi besar terhadap praktik manajemen media yang selama puluhan tahun sudah mapan. 

Semua media besar di seluruh dunia—termasuk raksasa media seperti The Washington Post, The New York Time, CNN, The Guardian—harus membongkar praktik manajemennya untuk menghadapi disrupsi digital.

Platform digital menjadi berkah dan sekaligus bencana dari perusahaan media yang sudah menikmati status quo puluhan atau bahkan ratusan tahun.

Kemunculan platform digital merevolusi praktik distribusi dan sirkulasi media, termasuk praktik pencarian iklan yang selama ini menjadi jantung kehidupan media.

Ada tiga platform digital yang menjadi raja dalam bisnis digital global sekarang ini. 

Mereka adalah Facebook yang menguasai jagat media sosial, Google yang menjadi raja mesin pencari atau search engine, dan Amazon yang mendominasi dunia e-commerce

Trio FGA (Facebook, Google, Amazon) itu bukan perusahaan media, tetapi memperoleh keuntungan triliunan dolar dari bisnis media.

Ketiga perusahaan transnasional itu mengeklaim sebagai perusahaan teknologi dan tidak mau disebut sebagai perusahaan media dengan segala konsekuensi profesional dan etiknya. 

Padahal dalam praktiknya, ketiga perusahaan itu telah menjarah lahan garapan media konvensional.

Inilah ciri khas disrupsi digital yang membuat dunia tunggang langgang. 

Muncul banyak perusahaan teknologi yang menyerobot lahan garapan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. 

Gojek dan Grab menjadi perusahaan layanan transportasi terbesar di dunia tanpa memiliki satu unit kendaraan pun. 

Bukalapak dan Tokopedia menjadi penjual ritel terbesar di Indonesia tanpa punya satu gerai toko pun. 

Airbnb menjadi perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia tanpa punya satu hotel pun.

Kemunculan platform-pltaform ini menjungkirbalikkan praktik bisnis yang sudah mapan di masing- masing dunia industri dan memaksa para raksasa industri untuk bertekuk lutut menyerah kepada praktik baru yang didiktekan oleh perusahaan platform itu.

Industri media juga menghadapi disrupsi yang sama. 

Trio FGA menjadi ‘’perusahaan media’’ yang tidak mempunyai satu media penerbitan pun. 

Nasib perusahaan media di seluruh dunia sama saja dengan nasib hotel, perusahaan transportasi, dan outlet penjualan di seluruh dunia, yang harus menyesuaikan diri dengan praktik bisnis baru yang dikembangkan oleh platform digital.

Inilah fenomena globalisasi yang menjadi keniscayaan yang tidak bisa lagi dihindarkan. 

Perusahaan media menghadapi ketidakpastian dalam kepastian, dan harus bermain dalam lapangan baru kapitalisme global yang aturan pertandingan dan wasitnya didominasi oleh platform digital.

Pengelola media massa tidak punya pilihan lain selain mengalah kepada platform digital untuk melakukan distribusi konten, penggalian data pengguna, dan layanan periklanan. 

Tiga hal itu menjadi nafas media massa. 

Menyerahkan operasional tiga hal itu sama saja dengan menyerahkan leher kepada lawan.

Itulah realitas yang terjadi sekarang. 

Trio FGA sudah menjadi penguasa dominan yang membuat para pengelola media harus rela berbagi kekuasaan. 

Mau tidak mau pengelola media harus masuk kedalam ekosistem yang diciptakan oleh platform digital untuk menjamin konten berita bisa dibaca oleh konsumen media.

Platform digital bertransformasi menjadi penerbit. 

Dalam praktiknya yang terjadi bukanlah transformasi tetapi kolonialisasi dan bahkan imperialisme. 

Perusahaan platform menjarah ranah yang selama ini menjadi milik penerbit. 

Perusahaan platform melalui search engine dan media sosial mendominasi distribusi konten. 

Mayoritas konsumen media mengakses berita dari platform media dan hanya sedikit yang mengakses langsung ke jaringan penerbit.

Perusahaan platform bukan hanya mengakumulasi berita, tetapi sekaligus melakukan kurasi terhadap seluruh berita untuk disajikan kepada konsumen media sesuai dengan standar platform. 

Dalam proses ini perusahaan platform mempergunakan algoritma yang bekerja dengan logikanya sendiri, yang sangat berbeda dengan logika penerbit yang menerapkan standar kualitas jurnalisme.

Mesin algoritma bekerja dengan logika mesin. Perusahaan platform menguasai aturannya dan perusahaan media hanya bisa menyerah dan manut. 

Setiap saat perusahaan platform bisa mengubah standar operasional mesin algoritma, dan perusahaan media harus buru-buru menyesuaikan diri dengan standar baru.

Pendapatan dari iklan yang menjadi jantung kehidupan perusahaan media sekarang juga dikuasai oleh perusahaan platform. 

Dengan berbagai macam teknologi yang serba cepat, efisien, dan murah, para pengiklan lebih suka berhubungan langsung dengan platform digital daripada dengan penerbit.

Perusahan platform kemudian mendistribusikan iklan melalui programmatic ads, googleads, dan program iklan lain yang semuanya diatur oleh platform dan penerbit hanya bisa pasrah.

Dalam tradisi media cetak sungguh tidak bisa dibayangkan jika ada seseorang datang kantor redaksi dan membawa materi iklan pada tengah malam menjelang deadline, dan kemudian dengan seenaknya membongkar halaman untuk dipasang iklan. 

Itu tidak akan pernah terjadi dalam praktik manajemen media massa konvensional, tetapi dalam praktik  media digital sekarang hal itu terjadi setiap saat.

Data pelanggan adalah nyawa kedua bagi perusahaan media. 

Bisakah Anda bayangkan ada perusahaan lain yang mempunyai data seluruh pelanggan media Anda, dan Anda tidak diperbolehkan untuk melihat data pelanggan itu? 

Ini bukan hanya penghinaan, tetapi penjajahan. Ini tidak pernah terjadi dalam praktik manajemen media konvensional, tetapi, itulah keadaan media sekarang.

Data pelanggan Anda dikelola oleh orang lain dan dikonversi menjadi bisnis triliunan dolar dalam bentuk artificial intelligence (AI). 

Anda yang punya data sama sekali tidak mendapatkan bagian dari bisnis itu. 

Data pelanggan itu tersimpan rapi di taman sari data yang tertutup yang disebut sebagai Data Walled Garden, dan mengintip pun penerbit tidak bisa.

Platform digital mengumpulkan data pembaca dan menambang data itu lalu dikumpulkannya untuk kepentingan perusahaan platform. 

Perusahaan media protes dan bersatu membentuk ‘’Aliansi Login’’ untuk menekan perusahaan platform. 

Jerih payah ini membawa hasil lumayan. 

Perusahaan platform memberi sedikit konsesi melalui mekanisme third party cookies’, tetapi mekanisme itu tetap timpang dan perusahaan media tetap tidak bisa mengendalikan data pelanggan sepenuhnya.

Ketergantungan ini begitu besar dan berbahaya, karena perusahaan media akan kehilangan identitas dari konsumen media dan dengan demikian akan kehilangan kredibilitas dari pemasang iklan. 

Para pengiklan lebih suka berhubungan langsung dengan platform media ketimbang dengan perusahaan media. Keberadaan media hanya dilihat dengan picingan mata.

Ketidakdilan yang sempurna. 

Sebuah perusahaan semacam CNN yang 30 tahun yang lalu begitu digdaya sebagai televisi berita  terkemuka di dunia, sekarang bertekuk lutut terhadap platform digital. 

Perlawanan yang dilakukan menjadi lucu. 

Alih-alih bergantung kepada FGA, redaksi CNN kemudian menyebarkan distribusi konten pada 21 platfom digital. 

Entah bagaimana ceritanya Ted Turner bisa menjadi manusia naif seperti itu. 

Ini sama saja dengan menyerahkan leher kepada 21 orang alih-alih kepada tiga orang.

Ibarat burung unta yang memasukkan kepala ke pasir dan menganggap persoalan selesai. 

Pepatah Inggris mengatakan, "Don’t put your eggs in one basket"

Ted Turner melakukannya dan meletakkan telur ke dalam 21 keranjang, tetapi semuanya milik orang lain.

Apa upaya yang dilakukan penerbit untuk mengatasi persoalan ini? 

Di Eropa, aliansi penerbit pernah mencoba melawan FGA. 

Namun, dengan sekali tebas saja penerbit sudah terjengkang. 

Platform digital yang digertak menyerang balik dengan memboikot penerbit. 

Akibatnya, trafik pembaca melorot sampai 80 persen. 

Penerbit pun angkat tangan menyerah.

Dengan perjuangan keras dan gigih dan dengan campur tangan pemerintah, penerbit di Eropa berhasil mendapat perlindungan melalui Undang-Undang Publisher Right

Australia menyusul mengundangkan News Media Bargaining Code

Dengan undang-undang itu, platform digital dipaksa untuk berbagi hasil dan informasi pelanggan dengan penerbit. 

Undang-undang ini memberi bantuan nafas kepada penerbit, tetapi tidak menyelesaikan ketimpangan relasi kuasa antara platform digital dengan penerbit.

Relasi kuasa platform digital dengan penerbit disebut sebagai ‘’frenemy’’, friend and enemy. Teman sekaligus musuh. 

Melihat ketimpangan yang benar-benar jomplang, sebenarnya relasi kuasa itu lebih tepat disebut sebagai ‘’fredator’’ friend and predator

Platform digital sebagai teman tetapi sekaligus predator pemangsa.

Di Indonesia, para penerbit tengah merancang strategi untuk menyusun undang-undang yang memberi perlindungan dan jaminan keberlangsungan jurnalisme demi menjaga ruh demokrasi. 

Dalam FGD (focus group discussion) yang diselenggarakan Dewan Pers akhir 2021, berbagai strategi menghadapi platform digital didiskusikan. 

Disimpulkan bahwa Indonesia harus segera menyusun versi publisher right untuk menjaga eksistensi media nasional.

Perkembangan digital di China layak menjadi perhatian. 

Sebagaimana perang dagang yang terjadi antara Amerika vs China, persaingan digital juga tengah terjadi antara dua negara. 

China menjadi the emerging forces dengan teknologi digital yang advance

Amerika dan Eropa melakukan proteksi dengan mencekal teknologi digital China seperti yang terjadi dalam kasus teknologi 5G. 

Kemunculan Tencent, Alibaba, Baidu akan menjadi saingan serius bagi platform digital Amerika. 

Negara-negara demokrasi itu mengeklaim diri sebagai kampiun perdagangan bebas. 

Namun, dalam banyak kasus mereka justru menerapkan kebijakan proteksionistis untuk melindungi kepentingannya.

Tidak akan lama lagi perang dagang Amerika vs China akan merambah perang digital untuk berebut adidaya digital dunia. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler