jpnn.com, JAKARTA - Ketua Panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2021 Auri Jaya mendorong pemerintah segera membuat regulasi yang menciptakan keadilan antara media konvensional dengan penyedia platform digital.
Auri mengaku telah melihat iktikad baik pemerintah yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pidato puncak peringatan HPN 2021 di Istana Negara, Selasa (9/1).
BACA JUGA: HPN 2021, Pers Terus Dorong Publik Ubah Perilaku Hadapi Pandemi Â
"Benar sekali bahwa sekarang ini pers sedang mengalami kesulitan seperti disinggung oleh Bapak Presiden," kata Auri dalam diskusi bertitel Dialog Indonesia Bicara yang ditayangkan TVRI, Selasa (9/2).
"Bapak Presiden sudah mendapatkan laporan, ada permen (peraturan menteri, red) yang mengatur keseimbangan perusahaan pers dengan platform digital."
BACA JUGA: Peringati HPN 2021, Auri Jaya Tagih Utang Presiden Jokowi
Menurut Auri, saat ini setidaknya ada tiga persoalan menyangkut relasi antara pers dengan penyedia platform digital. Pertama, belum terciptanya keadilan terhadap media arus utama dari platform digital.
Kedua, tidak adanya penghargaan copyright. Ketiga, tidak adanya kesetaraan media mainstream dengan platform dalam berbisnis.
BACA JUGA: Tahniah, Ikhtiar Doni Monardo untuk Media Berbuah Medali Emas dari Dewan Pers
"Persolan ini ke depan perlu diatur," kata Auri dalam diskusi yang juga menghadirkan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Widodo Muktiyo, Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman, dan Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun sebagai pembicara itu.
Auri menegaskan bahwa bila persoalan dasar itu tidak bisa diatasi lewat aturan atau regulasi, kemungkinan kondisi pers tidak akan baik.
"Karena kami (media konvensional, red) akan dijajah terus oleh platform, karena tidak ada ruang negosiasi bisnis dalam platform. Yang ada kami harus menerima apa adanya," katanya.
Hendri CH Bangun mengatakan, memang persoalan utama pers sekarang ini ialah ekonomi. Menurutnya, kesejahteraan para wartawan akan merosot bila pendapatan perusahaan tempat mereka bekerja pun berkurang.
Dia menegaskan bahwa berkurangnya kesejahteraan berpengaruh pada kualitas. Hendri menambahkan sebetulnya tingkat kepercayaan publik terhadap media-media Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia.
Berdasar survei terakhir Edelman Trust Barometer, Hendri menjelaskan, tingkat kepercayaan publik kepada media-media di Indonesia jauh di atas negara-negara di ASEAN.
"Skor kita 72, ini luar biasa. Tidak ada yang bisa mencapai itu selain Indonesia. Meskipun intervensi media sosial tinggi, masyarakat tetap percaya kepada pers," kata Hendri.
Mantan sekretaris jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu menambahkan, meskipun survei Dewan Pers memperlihatkan bahwa masyarakat lebih dahulu mencari informasi ke media sosial, tetapi mereka tetap melakukan konfirmasi ulang media massa arus utama.
"Artinya tingkat kepercayaan pada media massa itu sangat tinggi," kata Hendri.
Dalam kesempatan itu, Hendri juga menambahkan pers selama ini sungguh-sungguh membantu pemerintah dalam memberikan edukasi, informasi, mengenai penanganan Covid-19.
Hendri menegaskan, pers pada Maret 2020 lalu sudah membuat semacam gerakan iklan gratis di media massa sebelum ada imbauan dari pemerintah. Menurutnya, estimasi nilai iklan gratis itu di atas Rp 100 miliar.
"Ini menunjukkan pers memiliki kesadaran tinggi meskipun dia sendiri sedang terpuruk," kata Hendri.
Lantas mungkinkah menyinergikan media mainstream dengan platform media digital?
Widodo Muktiyo mengatakan pemerintah bekerja dari sisi hulu sampai hilir.
Ia menjelaskan di sisi hulunya, pemerintah melakukan literasi digital supaya masyarakat betul-betul memahami adanya keniscayaan dengan hadirnya digital, tetapi juga mengkritis.
Dengan hal ini, kata dia, ujung-ujungnya akan melahirkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada media mainstream.
"Kenapa, karena awalnya ingin tahu dari medsos tetapi kemudian (mengecek informasi) ini betul atau tidak, lalu kembali mainstrem. Situasi ini mendidik publik tidak abaikan media mainstrem," katanya.
Sisi hilirnya, Widodo mengatakan, kalau media sosial berperilaku di luar etika dan norma, maka pemerintah memiliki tangung jawab dan kewajiban untuk melakukan take down atau menghilangkan akun informasi-informasi yang tidak betul. "Bahkan bisa langsung dihilangkan akun itu, dari yang awalnya misalkan diberikan labeling hoaks," ungkapnya.
Jadi, kata Widodo, pada sisi supply and demand pemerintah sudah seimbang.
Karena sudah memberikan pendidikan kepada masyarakat, dan di sisi lain menghapus akun-akun yang memberikan informasi tidak betul.
"Akhirnya akan menimbulkan satu tingkat kepercayaan yang lebih baik. Memang sekai lagi ini adalah tuntutan peradaban. Sehinga kemudian dari sisi pemerintah akan membuat regulasi menghidupkan ekosistem yang keduanya bisa tumbuh berkembang di tengah situasi yang sekarang basisnya teknologi," katanya. (boy/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Boy