Pengarang terkemuka N.HDini mengisi hari tua dengan aktif melukis
BACA JUGA: Pratiwi Sudarmono, Eks-Calon Astronot yang Sibuk di Penelitian
Karya lukisnya dijual untuk mengongkosi pengobatan sakitnya serta biaya hidup di panti lansiaPRATONO, Ungaran
PONDOK mungil di Desa Lerep di kaki Perbukitan Ungaran, Kabupaten Semarang, itu tampak asri dengan berbagai bunga serta tanaman di sekeliling halaman
BACA JUGA: Tahan Hadapi Krisis ala Abdi Dalem Keraton Jogja
Hawa sekeliling pondok di kompleks Wisma Lansia Langen Werdhasih tersebut sejuk dengan pemandangan yang indah.’’Ya inilah hiburan saya kalau di rumah, merawat tanaman,’’ tutur N.H
Mengurusi tanaman adalah bagian keseharian pengarang novel Namaku Hiroko (1977) itu
BACA JUGA: Mengunjungi Museum Smithsonian dan Madame Tussauds di Washington DC
Sebab, dari sanalah dia mengaku sering mendapat inspirasi untuk menulisSetelah beberapa kali pindah tempat tinggal sejak memutuskan kembali ke Indonesia, sudah dua tahun terakhir mantan istri diplomat Prancis itu tinggal di Ungaran.Wajah penulis produktif kelahiran Semarang 29 Februari 1936 tersebut tampak cerahSeperti tulisan-tulisannya yang dinamis, Dini tetap bersemangat menerima Radar Semarang (Jawa Pos Group) yang didampingi Amang Suramang, komunitas baca Goodreads Indonesia.
Ibu dua anak itu memang tidak bisa dipisahkan dari dunia sastra IndonesiaLebih dari 30 karya, baik novel, kumpulan cerita pendek, maupun terjemahan, telah dibukukanBeberapa di antaranya bahkan sudah beberapa kali cetak ulangBeberapa penghargaan atas perannya di dunia sastra dia terimaSalah satunya SEA Write Awards 2003 dari Kerajaan Thailand’’Hitung saja sejak 1970 saya menulisHampir setiap tahun ada yang terbit,’’ ujarnya.
Hanya, sejak sekitar pertengahan 2008, aktivitas menulis pengarang novel laris Pada Sebuah Kapal (1972) dan La Barka (1975) itu terhentiDia lebih berkonsentrasi melukis, sebuah aktivitas yang sebenarnya juga digeluti sejak 1960-an.
Selama ini, Dini memang telanjur lebih dikenal sebagai pengarang daripada pelukisNamun, saat usianya sudah kepala tujuh ini, dia mengharapkan kegiatannya melukis bisa menjadi gantungan hidupTerutama saat royalti yang diterima dari penjualan buku-bukunya sudah tak mencukupi biaya hidupnya sehari-hari.
Belasan lukisan bergaya dekoratif Tiongkok kemarin masih tersimpan di pondoknyaLukisan-lukisan tersebut dia tawarkan Rp 5 juta–Rp 9 juta per buah, bergantung ukuran dan bahan yang digunakanMantan pramugari Garuda tersebut lebih senang menggunakan media tinta bak China di atas kertas biasa dan kertas China
Khusus lukisan di atas kertas China, harga yang ditawarkan memang lebih tinggi’’Sebab, kertas yang tipis itu harus dibeli di Hongkong atau SingapuraTidak ada di sini (Indonesia),’’ tegasnya
Dini mengaku, melukis di atas kertas China sangat sulitKarena kertasnya rapuh, dia harus menorehkan kuas dengan cepat dan lembutTapi, kelebihannya, pada tahap washing (pemberian warna dasar) lebih mudah’’Kalau pakai kertas China, dikuas dari belakang langsung meresapKalau kertas biasa, pemberian warna dasar lebih lama karena sulit meresap,’’ jelasnyaTinta bak China dipilih karena bisa didegradasi menjadi sembilan warna.
Kedatangan perwakilan komunitas baca Goodreads Indonesia bersama Radar Semarang bertujuan mempersiapkan acara ulang tahun bagi DiniYakni, pada akhir Februari atau awal Maret 2009Acara itu memang tak sepenuhnya bisa disebut peringatan ulang tahun karena wanita tersebut lahir pada 29 FebruariTanggal itu hanya muncul empat tahun sekali (tahun kabisat).
Kegiatan tersebut, kata Amang, akan dikemas seperti ajang pertemuan antara pengarang dengan pembacaDini akan diberi kesempatan membacakan bagian novel yang ditulisnya dilanjutkan dengan diskusi dengan pembaca’’Selain itu, akan ada pameran serta lelang lukisan-lukisan karya Bu N.HDini,’’ tutur Amang yang kemarin mengambil foto beberapa lukisan untuk membuat katalog.
Sejak beberapa tahun terakhir ini Dini terserang vertigoAwalnya, dia agak meremehkan penyakit tersebut dengan tidak berobat secara rutinTapi, vertigo sering kambuh, dia merasa tidak bisa beraktivitas secara normalAkibatnya, banyak kegiatan yang tergangguTermasuk tugas membimbing skripsi atau tesis sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
’’Kalau saya harus membatalkan bimbingan skripsi karena sakit, anak bimbing saya kan rugiDari sana saya sadar agar berusaha tetap sehat, sehingga bisa membantu orang lain,’’ tegas wanita yang selama 24 tahun hidup dengan Yves Coffin (menikah pada 1960 hingga bercerai pada 1984), diplomat Prancis, yang tinggal berpindah-pindah dari Jepang, Kamboja, Filipina, Prancis, dan Amerika itu.
Saat ini, secara rutin wanita dengan dua anak –Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang (keduanya tinggal di luar negeri)– tersebut tiga kali dalam seminggu menjalani pengobatan tusuk jarum pada seorang kenalannya di Kota Semarang.
Sebagai seorang wanita yang hidup mandiri (tidak mau merepotkan anak), biaya hidup Dini setiap bulan tidak sedikitUntuk biaya taksi menuju tempat praktik tusuk jarum, dirinya harus membayar Rp 140 ribu pulang pergiJadi, dalam sebulan hampir Rp 2 juta harus dikeluarkan hanya untuk biaya taksi
Biaya hidup di Wisma Lansia yang terdiri atas makan, minum, air, dan listrik mulai Januari 2009 akan naik menjadi Rp 2 juta per bulanJadi, dalam sebulan, dia membutuhkan biaya hidup minimal Rp 4 jutaUntuk memenuhi kebutuhan itulah, dia menjual lukisan-lukisannya
’’Royalti dari buku sangat kecil, sedangkan biaya hidup saya semakin bertambah usia malah semakin besar,’’ ungkap Dini yang menulis sejak di bangku kelas 3 SD itu
Menurut dia, royalti terakhir yang dia terima tidak sampai Rp 6 jutaItu merupakan royalti selama enam bulan untuk sejumlah buku yang diterbitkan sebuah penerbitan besar.
Meski untuk sementara berhenti menulis, sebenarnya aktivitas Dini di dunia sastra tidak berhentiDalam hard disk komputernya saat ini ada tiga naskah –sebuah novel dan dua seri cerita kenangan– yang sebenarnya siap diterbitkan
’’Kalau tabungan saya cukup, ya saya tinggalkan dulu melukisnyaKalau semua lukisan saya laku, saya janji meneruskan menerbitkan buku yang perlu sedikit dibongkar itu,’’ katanya(el)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Penghuni Barak, Empat Tahun setelah Tragedi Tsunami
Redaktur : Tim Redaksi