jpnn.com - JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PTFI) tengah menjadi sorotan terkait dugaan permintaan saham dengan mencatut nama presiden dan wakil presiden oleh Ketua DPR Setyo Novanto. Saat menjadi perhatian publik inilah momen yang dianggap tepat untuk melakukan renegosiasi, khususnya memperbesar peran pemerintah Indonesia dalam kepemilikan saham di PT Freeport Indonesia.
Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan mengakui memang ada wacana rencana untuk mengambil alih sebagian besar atau seluruh saham di Freeport. Bahkan, dia dan tim KSP mengusulkan agar Freeport seperti blok Mahakam yang bisa diambil pemerintah.
BACA JUGA: Terdeteksi Bakar Lahan, Izin 47 Perusahaan sedang Dievaluasi
Saat ini, kata dia, desakan agar presiden segera melakukan negosiasi perpanjangan kontrak freeport datang dari banyak pihak. "Desakan-desakan untuk memperpanjang itu dari sana sini memang kami rasakan," imbuhnya.
Dia menegaskan, pemerintah sudah memiliki sikap yang jelas, untuk tidak melakukan negosiasi sebelum waktunya. Yakni dua tahun sebelum masa kontraknya habis (tahun 2019 red).
BACA JUGA: Keren.. Pencurian Ikan Diusulkan Pada Interpol Jadi Kejahatan Kelas Dunia
Saat ini, pemerintah sudah menelurkan kebijakan pelepasan saham Freeport melalui UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Selanjutnya, aturan itu kemudian diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014. Berdasar undang-undang dan PP itu, Freeport hanya diwajibkan mendivestasi 30 persen saham melalui pemerintah. Sejauh ini, saham pemerintah Indonesia di Freeport hanya sekitar 9,36 persen.
Bagaimana cara mengambil saham di Freeport? Ada dua skema bisa dijalankan. Pertama, melalui jalan nasionalisasi tanpa syarat. ”Ini cara preman dan tidak elegan. Pemerintah harus main cantik,” beber Simon F Sembiring, pengamat pertambangan.
BACA JUGA: Sepakat, Australia Tidak Akan Lagi Campuri Urusan Soal Hukum Indonesia
Pemerintah, kata mantan Dirjen Minerba kementerian ESDM itu, lebih terhormat menempuh skema kedua melalui platform divestasi. Di sini ucap Simon, pemerintah tinggal mengopi tindakan serupa yang pernah dilakukan terhadap PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).
Menguak memori edisi 2008 silam, pemerintah melaporkan Newmont Mining Corporation (NMC) dan Sumitomo Corporation sebagai pemilik saham NNT ke United Nations Commission on International Trade Law. Tindakan itu ditempuh karena pemegang saham NNT dinilai lalai dalam menjalankan kewajiban divestasi pada 2006-2007.
Sesuai perjanjian Kontrak Karya (KK) antara NNT dan pemerintah periode 1986, NNT wajib melakukan divestasi saham kepada pemerintah Indonesia pada akhir tahun kelima setelah operasi atau tepatnya 2005, sekurang-kurangnya 15 persen. Kemudian dilanjutkan di penghujung tahun keenam setidaknya 23 persen dan pada akhir tahun ketujuh sebanyak 30 persen.
Dengan rangkaian divests itu, di penghujung tahun kesepuluh, pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas Newmont yaitu 51 persen. ”Anehnya, kenapa pemerintah seperti tak kuasa berhadapan dengan Freeport. Bahkan, lucunya Freeport mengobrak-abrik pemerintah. Faktanya kasus ketua DPR dan Menteri ESDM,” kata Simon.
Problemnya mampukah sumber daya manusia (SDM) lokal menjalankan Freeport? ”Tenaga kita itu sudah sangat mampu. Perguruan tinggi banyak yang berkualitas. Hanya, mereka tidak diberi kesempatan dan peluang. Kalau pun misalnya, harus membayar orang asing tidak masalah,” urainya.
Diketahui, kontrak karya Freeport akan berakhir 2021. Perusahaan yang beroperasi sejak 1967 ini telah mengajukan perpanjangan kontrak, namun pemerintah di bawah Presiden Jokowi menegaskan, PTFI harus menunggu hingga 2019 jika ingin melakukan perpanjangan kontrak.
Anggota Komisi VII DPR Adian Napitupulu mendukung penuh jika di 2021 negara mengambil alih PT Freeport. Ia menegaskan jika sudah diambil alih, maka pemerintah akan banyak mendapat keuntungan.
"Jika mengambil alih maka tidak ada kerugian bagi negara. Yang ada adalah keuntungan. Pertama adalah kita berdaulat sebagai bangsa, kita juga bisa alih teknologi," terangnya kepada Indopos.
Politisi PDIP ini juga mendesak PT Freeport segera melakukan divestasi kedua, sehingga sebagian sahamnya bisa dimiliki oleh negara. "Harus ada divestasi. Freeport harus lakukan itu di tahun ini. Jika tidak kita bisa menggugatnya (arbitrase). Karena ini salah satu cara pemerintah juga dapat untung jelang masa kontraknya berakhir hingga 2021 nanti," tegasnya menambahkan.
Pengamat dari Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara memandang wajar atas keinginan Freeport mendapatkan kepastian perpanjangan kontrak. Sebab, Freeport berinvestasi besar. Freeport berencana menggelontorkan investasi 17,3 miliar dolar AS yang akan digunakan untuk underground mining dan smelter.
Masalahnya, rencana investasi itu dipandang tak feasible. Pasalnya, periode kontrak perusahaan asal Paman Sam ini tinggal 6 tahun lagi. Secara sederhana, dengan mengglontorkan investasi sebesar itu sementara jeda kontrak tinggal beberapa tahun lagi, bisa saja Freeport belum mendapatkan dari investasi tersebut. “Jadi pemerintah perlu mempertimbangkan itu. Ini hal yang wajar,” katanya (19/11).
Meski dianggap wajar, Marwan ingin Indonesia sebagai negara pemilik sumber daya alam mendapat porsi yang layak sesuai konstitusi dan ikut berperan mengendalikan jalannya korporasi tambang Freeport.
”Kontrak diperpanjang, namun caranya harus berdaulat dan tetap menjaga martabat bangsa,” tegasnya.
Negosiasi harus dilakukan secara transparan dan menghasilkan yang terbaik bagi bangsa. Untuk, perlu lebih dulu penerbitan Perppu atau PP yang menyatakan bahwa sejak 2021-2025, Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas di Freeport. Dengan saham 9,3 persen yang saat ini dikempit pemerintah, itu tidak ada artinya.
Sebab, pemerintah tidak bisa menempatkan pengelola di Freeport. Nah, paling tidak Indonesia menguasai saham 30 persen sehingga negara visa menempatkan direksi. Untung jika saham pemerintah 51 persen sehingga bisa menjadi pengendali dan meletakkan direktur utama.
Ia mengusulkan pengambilalihan saham bisa dilakukan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atau BUMN lainnya. Cara ini jauh lebih strategis ketimbang jika melalui IPO.
Dalam Perppu atau PP juga perlu diatur yakni kenaikan besaran royalti yang wajib disetor Freeport, yakni dari 4 persen menjadi 6-7 persen. Menurut Marwan perubahan ketentuan yang selama ini sudah diatur dalam UU bisa saja diubah sejauh itu menguntungkan bangsa.
Pengamat energi dari Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menuturka ada yang menarik saat pengumuman sikap pemerintah soal perpanjangan Freeport disampaikan oleh Menkopolhukam bukan Menko Perekonomian.
”Keputusan (perpanjangan pada 2019) harusnya disampaikan oleh Menkoperekonomian. Karenanya ketika ini disampaikan oleh Menkopolhukam menjadi sangat menarik. Artinya publik bisa berasumsi bahwa karena Freeport sebuah perusahaan dari Amerika Serikat maka apabila terjadi reaksi keras dari Amerika maka ini bisa saja akan dihadapi secara politik dan keamanan,” katanya kemarin.
Membuat keputusan tidak memperpanjang kontrak Freeport, kata Sofyano pasti akan menimbukan reaksi keras dari pemerintah Amerika. Selain itu menunjukan ketidakadilan sikap pemerintah khususnya dikaitkan dengan perpanjangan kontrak Blok Mahakam yang telah terbukti kontrak dengan Total dan Inpex tidak dihentikan tetapi hanya merubah pola pembagian sahamnya saja.
Ketika untuk Freeport tidak diperpanjang kontraknya , maka itu dapat secara tegas dinyatakan bahwa Pemerintah Indonesia menolak adanya peran lanjutan Freeport pada penambangan emas di Indonesia. Seharusnya pemerintah lebih adil dalam bersikap ketika menghadapi persoalan Freeport dengan setidaknya membuat perlakuan yang sama dengan kasus Mahakam. (far/dil/lum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebut Pelindo II di Era Gus Dur Banyak Calo, RJ Lino Dicap Takabur
Redaktur : Tim Redaksi