jpnn.com - PUPU belum mampu menutupi kekecewaan, setelah dipecat oleh majikannya beberapa waktu lalu tanpa sebab musabab yang jelas. Di raut wajahnya terpancar emosi, juga kesedihan.
"Padahal saya tidak melakukan apa-apa. Saya tidak tahu salah saya di mana. Saya hanya tidak masuk kerja selama dua hari karena digigit anjing," katanya di sela-sela konferensi pers yang digelar Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (14/12).
BACA JUGA: Kayla dan Sulton, Kakak-Adik Penderita Talasemia Mayor
Diceritakan, peristiwa tersebut terjadi beberapa bulan lalu. Ketika hendak bekerja, dirinya digigit seekor anjing. Akibatnya, wanita paruhbaya ini mengalami demam tinggi. Ia pun kemudian menginformasikan kepada keluarga di mana ia bekerja, bahwa tidak masuk karena demam. Namun bukannya biaya perobatan yang diperoleh, sang majikan justru memecatnya.
"Saya cerita ke majikan, saya SMS. Dia malah enggak terima. Saya malah disebut mencemarkan nama baik. Peristiwa itu setelah satu setengah bulan saya bekerja," katanya.
BACA JUGA: Sensasi Memegang Awan di Singkawang
Karena tidak tahu mengadu ke mana, Pupu terima nasib. Setelah sembuh, ia kembali mencoba mencari pekerjaan sebagai PRT di apartamen, tempat di mana ia sebelumnya bekerja.
"Alhamdulillah saya diterima di Keluarga Korea. Tapi baru kerja dua hari saya dikeluarkan. Katanya di-black list sama mantan majikan. Selama saya bekerja sebagai PRT, tidak ada perjanjian kerja. Untuk perobatan juga tidak ada perjanjian apa-apa,” ujar wanita yang kini aktif dalam organisasi peduli PRT, Sapu Lidi ini.
BACA JUGA: Ciptakan Jasa Kurir ASI dan Konter Jualan Sabun Online
Apa yang dialami Pupu, menurut pegiat Jala PRT, Dinda NY, mungkin tidak setragis yang dialami almarhum Cici dan Yanti yang diduga tewas dianiaya majikan penyalur pekerja rumah tangga asal Medan, Syamsul, beberapa waktu lalu.
Atau tiga PRT lainnya di kediaman Syamsul di Jalan Beo, Medan Timur, masing-masing Endang Murdaningsih (55) asal Madura, Anis Rahayu (25) asal Malang, dan Rukmiani (43) asal Demak. Mereka disekap dan dipukuli, tanpa diberi makanan yang layak.
“Demikian juga dengan Nurhayati, PRT di Tangerang Selatan. Lima bulan bekerja, dia disiksa dan hanya diberi gaji Rp 300 ribu. Demikian juga dengan Sri Dewi dan Rohayati di Bekasi,” katanya.
Penderitaan para PRT, kata Dinda, benar-benar sangat tidak manusiawi. Bahkan itu terjadi di Ibu Kota DKI Jakarta, yang hanya berjarak seratusan meter dari Gedung DPR, tempat di mana wakil rakyat seharusnya berperan nyata melahirkan Undang-Undang Tentang Perlindungan PRT, yang hingga saat ini belum juga terbit.
“Seperti di Palmerah, itu PRT-nya baru berusia 15 tahun. Dia tidak saja dipukuli majikannya, bahkan sampai-sampai disuruh membersihkan susu yang tumpah dengan menjilatinya. Ini benar-benar tidak manusiawi dan jauh dari peradaban,” katanya.
Lebih menyedihkannya lagi, ujar Dinda, ketika kasus dilaporkan ke kepolisian, aparat berwenang yang seharusnya melindungi dan menegakkan hukum, malah menghentikan kasus tersebut.
“Kita protes terhadap penanganan kasus ini, tapi ditolak pengadilan. Ini menunjukkan PRT bekerja dalam situasi yang dikecualikan. Tidak ada payung hukum yang jelas. Karena itu UU Perlindungan PRT sangat mendesak. Harus ada pengakuan PRT sebagai pekerja, sehingga mereka memeroleh standar upah minimum yang sesuai,” katanya.
Bukan seperti saat ini, PRT masih dikecualikan dari jaminan ketenagakerjaan. PRT kata Dinda, harus diikuitsertakan dalam jaminan sosial.
“Bayangkan, PRT tidak boleh gunakan lift orang, tapi lift barang. Tak boleh menggunakan kursi majikan. PRT juga mendapat halangan berkomunikasi dan berorganisasi. PRT di aparteman dikunci, tidak pernah dapat pelatihan bahaya kebakaran. Dan pelatihan lain-lain,” katanya.
Dinda dan seluruh pegiat nasib PRT, berharap DPR pada Januari 2015 mendatang, dapat segera membahas RUU Perlindungan PRT. Sehingga nasib pekerja rumah tangga, tidak lagi dipandang sebelah mata.
Apalagi keberadaan mereka saat ini sangat dibutuhkan, terutama bagi keluarga pekerja. Baik dari golongan masyarkat berpengahasilan atas, maupun berpenghasilan rendah.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kusuma Wijaya, Dosen Tamu di Singapura yang Juga Korban Peristiwa 1965
Redaktur : Tim Redaksi