Kayla dan Sulton, Kakak-Adik Penderita Talasemia Mayor

Limpa Membengkak, Seumur Hidup Transfusi Darah

Senin, 15 Desember 2014 – 18:10 WIB
SENYUM SEMANGAT : Kayla In’ami Nashiro (kanan) dan Ahmad Sulton Almusyafa. Foto: Septinda Ayu Pramitasari/Jawa Pos

jpnn.com - BU, nanti kalau sudah besar saya penginjadi dokter,’’ ungkap Kayla In’ami Nashiro kepada ibunya, Wahyu Asih Setyowati. Kalimat itu seperti celetukan biasa yang disampaikan seorang anak ketika ditanya cita-cita saat dewasa kelak. Namun, bagi Kayla, itu adalah sebuah keseriusan. Menjadi seorang dokter adalah impiannya.

Sang ibu pun memeluk tubuh mungil Kayla sambil mengelus lembut kepalanya. Pelukan tersebut dilakukan untuk meyakinkan bahwa impian itu kelak bisa terwujud. ’’Iya, Nak. Kenapa Kayla pengin jadi dokter?’’ tanya ibu.

BACA JUGA: Sensasi Memegang Awan di Singkawang

Kayla tersenyum. Dia mengatakan bahwa cita-citanya muncul lantaran hampir tiap bulan dirinya bertemu dengan dokter RSUD dr Soetomo. ’’Kayla kan sakit. Kayla pengin sembuh,’’ jawab Kayla. Ucapan gadis berusia 7 tahun itu seketika diamini ibunya.

Duduk di pangkuan Wahyu, Kayla membuka kembali pelajaran yang telah disampaikan gurunya di sekolah. Ya, Kayla adalah siswi kelas I SD di Surabaya Utara. Dia memang memiliki kebiasaan mempelajari materi-materi pelajaran yang didapat di sekolah atau sekadar bermanja-manja dengan sang ibu. Wajar, ibu Kayla adalah seorang guru privat paro waktu. Karena itu, saat senggang, belajar adalah hiburan yang menarik bagi keluarga tersebut.

BACA JUGA: Ciptakan Jasa Kurir ASI dan Konter Jualan Sabun Online

Sejatinya, Kayla, si kecil dengan semangat besar itu, adalah penderita talasemia mayor. Itu adalah jenis talasemia paling parah. Sebab, penderita penyakit tersebut harus menjalani transfusi darah rutin seumur hidup. Hemoglobin dalam tubuh mereka tidak mencukupi.

Di keluarga itu, bukan cuma Kayla yang menyandang talasemia. Adiknya, Ahmad Sulton Almusyofa, idem ditto. Mereka diketahui menderita talasemia pada 2011.

BACA JUGA: Kusuma Wijaya, Dosen Tamu di Singapura yang Juga Korban Peristiwa 1965

Saat itu Wahyu masih tidak tahu talasemia. Dia bercerita, Kayla saat berumur 2 tahun kerap mengalami radang tenggorokan dan infeksi saluran kencing. Ketika Kayla diperiksa di RS Haji Surabaya, dokter memvonisnya menderita tuberkulosis (TBC). Kayla pun harus menjalani pengobatan rutin selama enam bulan hingga penyakit tersebut sembuh.

’’Setelah itu, kondisinya membaik. Saya tenang,’’ ujarnya. Setelah itu, tidak ada gejala-gejala lain pada tubuh Kayla. Wahyu pun menganggap Kayla sehat seperti anak-anak normal lain.

Setelah itu, giliran Sulton yang sakit. Bocah yang kini berumur 5 tahun tersebut demam tinggi, kulitnya muncul bisul, dan perutnya membesar. Dia mengira anaknya terkena alergi susu. ’’Akhirnya saya membawanya ke RS Haji,’’ ungkap perempuan 31 tahun itu.

Di situlah, dokter mengatakan, ada kelainan darah pada tubuh Sulton. Dokter pun meminta agar Sulton diopname. Saat itu hemoglobin (Hb) Sulton hanya 5. Setelah kurang lebih seminggu rawat inap dan tiga kali transfusi darah, kondisi Sulton pun membaik. Limpa yang tadinya membesar sudah mengecil dan Hb kembali normal menjadi 13. ’’Saat itu belum ada observasi atau kecurigaan bahwa ada salah satu keluarga kami yang punya kelainan darah,’’ kisahnya.

Wahyu mengatakan, setelah tes laboratorium, baru diketahui bahwa Sulton menyandang talasemia. Selang beberapa hari, Kayla juga dites laboratorium. Hasilnya sama. ’’Dokter saat itu hanya bilang, anak saya bisa terus sehat kalau rutin transfusi darah,’’ ujarnya.

Karena itu, sejak didiagnosis talasemia, Kayla dan Sulton harus menjalani transfusi darah setiap bulan. Itu dilakukan seumur hidup. Padahal, biaya perawatan talasemia tidak sedikit. Setidaknya sekali transfusi membutuhkan empat kantong darah dengan biaya lebih dari Rp 500 ribu. Apalagi, Wahyu harus menghidupi keluarganya seorang diri lantaran telah bercerai dengan suaminya. Sang suami pergi sejak dua anaknya divonis talasemia.

’’Saya anggap ini cobaan. Suami saya tidak terima kalau anak kami menderita talasemia,’’ ceritanya.

Saat ini Kayla dan Sulton masuk program Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mandiri. Biaya transfusi dan obat ditanggung pemerintah. ’’Kemarin sudah masuk BPJS. Alhamdulillah,’’ tambahnya.

Sudah hampir tiga tahun ini, dua anaknya menjalani transfusi darah di RSUD dr Soetomo. Wahyu selalu cekatan mengatur jadwal transfusi darah buah hatinya. Sebab, jika telat transfusi, dua anaknya lemas dan jantungnya merasa berdetak cepat karena sakit. Apalagi, darah yang dibutuhkan untuk transfusi anaknya adalah darah washed erythrocyte (WE) atau sel plasma yang paling bagus dalam tubuh dengan golongan darah O+.

’’Biasanya saya harus pesan dulu kalau sudah mendekati jadwal transfusi. Karena kalau mendadak, bisa jadi tidak ada darah yang cocok untuk anak saya,’’ jelasnya.

Wahyu menceritakan, pernah suatu ketika darah yang digunakan untuk transfusi anaknya berjenis packed red cells (PRC) atau sel darah merah utuh. Tetapi, darah tersebut tidak bisa diterima dalam tubuh dua buah hatinya. Alergi di kulit Sulton kembali muncul. Badan pun masih terasa lemas. ’’Paling tidak setiap bulan butuh delapan kantong untuk dua anak saya,’’ tambahnya.

Belum lagi, obat-obatan yang wajib diminum Kayla dan Sulton. Salah satunya adalah obat desferal (deferoxamine) atau obat untuk mengurai zat besi. Sebab, dampak transfusi darah adalah penimbunan zat besi. Jika tidak diurai, akan terjadi kerusakan hati, jantung, dan kelenjar hormon. Bahkan, untuk obat-obatan penunjang, Wahyu sering memberikan vitamin E agar kulit anaknya tetap halus dan tidak menghitam.

Meski memiliki penyakit parah, Kayla dan Sulton tetap ceria. Mereka justru tidak terlihat seperti orang sakit. Aktivitas mereka setiap hari justru sangat tinggi. Apalagi Sulton kerap mengikuti lomba di bidang seni tarik suara dan menari. Beberapa kali bocah kelahiran 9 Desember 2008 itu ditunjuk sekolah untuk mengisi acara pentas seni. Begitu juga di kegiatan rutin Perhimpunan Orang Tua Penderita Talasemia Indonesia (POPTI) Jawa Timur.

Bahkan, saat ditemui di rumahnya, kawasan Surabaya Utara itu, Sulton terus menunjukkan bakatnya di tarik suara dan menari. Beberapa lagu dangdut versi anak-anak juga dinyanyikannya. Misalnya, lagu Sakitnya Tuh di Sini. Bahkan, dia sempat menunjukkan kebolehannya menari balet.

’’Saya suka tampil di panggung. Bukan di rumah,’’ ungkap Sulton saat diminta orang tuanya menari balet. Maklum, rumah kontrakan mereka sangat sempit. Ukurannya cuma 5x4 meter.

Berbeda dengan Sulton, Kayla justru lebih pendiam. Namun, dia sangat menonjol di bidang akademis. Di sekolah, gadis kelahiran 17 April 2007 itu sering menjadi juara kelas. Kayla mengaku sudah mengetahui penyakit yang dideritanya. Karena itu, dia sangat sadar dengan kondisi tubuhnya yang rentan sakit.

Dia pun membatasi aktivitas fisik di sekolah maupun rumah. ’’Ibu yang kasih tahu, saya sakit talasemia,’’ katanya.

Kayla mengatakan sama sekali tidak minder dengan teman-teman di sekolah. Sebab, dia merasa memiliki teman yang bernasib sama. Bahkan, ketika transfusi darah, dia tidak merasa takut dan sakit. Dia justru menganggap hal itu hanya bermain dan berkumpul dengan teman-teman baru. ’’Di sana banyak teman,’’ tambahnya.

Penyakit talasemia membuat Kayla sering merasakan sakit pada jantungnya setiap malam. Bahkan, di sekolah dia sering sakit kepala dan perut. Kalau sudah begitu, dia harus beristirahat di kelas dan tidak bisa bermain bersama teman-temannya. Itu sebabnya, dia memilih belajar di kelas. ’’Biasanya kalau sudah lemas banget, saya langsung ditransfusi darah,’’ ujarnya.

Sejak kebiasaan bolak-balik ke rumah sakit untuk transfusi darah, dia berkeinginan menjadi dokter. Dia berharap bisa tumbuh dewasa dan berpendidikan tinggi. ’’Kalau pintar, saya pasti bisa jadi dokter kan, Bu?’’ ucap Kayla. Sang ibu pun tersenyum manis menyambut positif harapan sang anak. (*/c7/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Indahnya Curug Bajing, Air Terjun di Pekalongan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler