jpnn.com, JAKARTA - Upaya China memperkuat diplomasi pertahanan di kawasan Asia Tenggara, termasuk pendekatannya ke Indonesia, dinilai sebagai langkah "pedang bermata dua."
Di satu sisi, China menawarkan kerja sama, namun di sisi lain tetap menunjukkan agresivitas dan terus mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS), termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna.
BACA JUGA: Apakah Bentrokan Indonesia dengan Kapal Tiongkok di Laut China Selatan Pertanda Konflik?
Indonesia pun diingatkan untuk tetap kritis dalam menyikapi langkah-langkah China tersebut. Topik ini dibahas dalam seminar "Diplomasi Pertahanan China di Asia Tenggara: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia" yang digelar di Jakarta, Kamis (31/10).
Dekan Fakultas Keamanan Nasional Unhan Mayjen TNI Pujo Widodo membuka diskusi dengan menyoroti pentingnya diplomasi pertahanan di Asia Tenggara mengingat persaingan ketat antara China dan Amerika Serikat (AS) di kawasan ini.
BACA JUGA: Bakamla Kembali Usir Kapal China yang Masuk Laut Natuna Utara
Menurutnya, Indonesia telah mengusulkan *Code of Conduct* untuk menahan ekspansi China, namun tantangannya adalah ketidaksatuan suara di antara negara-negara ASEAN.
"Indonesia selalu mengimbau agar negara-negara Asia Tenggara bersatu, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian," ujar Pujo.
BACA JUGA: Tekanan China Meningkat, Indonesia Diminta Perkuat Pertahanan di Natuna
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto menambahkan, intensitas persaingan antara AS dan China turut berdampak pada stabilitas kawasan, terutama karena tindakan China yang semakin agresif dalam satu dekade terakhir.
Dia mengungkapkan, baru-baru ini kapal penjaga pantai China kembali memasuki wilayah yurisdiksi Indonesia di Natuna. "Minggu lalu saja, Coast Guard China berulang kali terlihat di perairan Natuna, dan berhasil diusir oleh unsur Bakamla RI," ungkapnya.
Sementara itu, Laksda TNI (Purn) Budiman Djoko Said menyampaikan bahwa pendekatan China dalam meningkatkan pengaruh maritimnya menggunakan strategi pemotongan habis secara perlahan. Menurutnya, kekuatan maritim yang kokoh adalah fondasi dari diplomasi efektif.
"Tanpa kekuatan maritim, jangan coba-coba berdiplomasi," ujar Budiman yang juga menilai bahwa Indonesia dapat mengambil pelajaran dari China untuk memperkuat kekuatan maritim nasional.
Pakar hubungan internasional Ristian Atriandi Supriyanto, pembicara lain dalam seminar tersebut, mengamati bahwa China lebih banyak menggunakan diplomasi militer daripada diplomasi pertahanan yang murni.
Diplomasi militer ini, menurutnya, merupakan bagian dari agenda Partai Komunis China (PKC). Namun, dia juga melihat pentingnya diplomasi pertahanan dengan China sebagai upaya untuk membangun komunikasi dan mengurangi potensi ketegangan di laut.
"Diplomasi pertahanan mencerminkan sikap non-blok Indonesia," jelas Ristian, seraya menegaskan bahwa Indonesia tidak perlu menyamakan porsi diplomasi pertahanannya antara Barat dan China.
Kolonel Sugeng, dari Kementerian Pertahanan, menggarisbawahi pentingnya menjaga prinsip hukum internasional dalam kerja sama pertahanan dengan China. Dia menekankan bahwa komitmen Indonesia terhadap United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) harus tetap menjadi dasar penyelesaian konflik maritim di kawasan. (bjl/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi