jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Kesehatan mengaku belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah membatalkan Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Meski demikian, Kemenkes sudah menyiapkan program baru.
Program WKDS bertujuan untuk meratakan distribusi dokter spesialis. Kemudian aturan itu digugat pada 7 September lalu. Alasannya, Perpres tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM). Pada 18 Desember, MA mengabulkan gugatan tersebut.
BACA JUGA: BKD Minta Formasi Khusus CPNS untuk Terima Dokter Spesialis
Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengatakan, pihaknya belum menerima salinan putusan dari MA sehingga tidak tahu pasal mana yang dibatalkan.
Meski demikian Kemenkes sudah memiliki langkah pengganti. ”Kebutuhan spesialis di daerah tinggi. Saya takut dengan hilangnya WKDS akan mengganggu penempatan spesialis,” katanya.
BACA JUGA: MA Batalkan Perpres Nomor 4 / 2017, Dokter Spesialis Senang
Usman telah berkonsultasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Kolegium Kedokteran Indonesia (KKI). Dari diskusi tersebut, muncul kesepakatan istilah wajib tidak akan dimasukkan. ”Digantikan pendayagunaan dengan insentif yang memadai,” ucap Usman.
Dia mengatakan program pengganti WKDS merupakan bagian wajib dari pendidikan dokter spesialis. Sehingga masuk dalam SKS. Diharapkan dokter akan semakin matang. Mereka yang mengikuti program ini mendapatkan insentif yang memadai.
BACA JUGA: Dokter Curhat soal Sulitnya jadi CPNS
Menurut Usman, pemerintah telah menyubsidi 30 persen untuk pendidikan kedokteran. Negara juga berhak mengatur pelayanan kesehatan.
”Dalam undang-undang, masyarakat berhak mendapat pelayanan kesehatan,” katanya. Usman menambahkan kalau tidak mengatur dokter spesialis maka Kemenkes justru salah.
Selain menyediakan SDM, Kemenkes berkomitmen untuk menambah fasilitas kesehatan. Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan bahwa sebelum pengiriman dokter spesialis ke daerah, pasti ada survei mengenai alat dan fasilitas kesehatan. “Sehingga mereka bisa mengamalkan ilmunya,” ucapnya.
Dirjen Pelayanan Kesehatan dr Bambang Wibowo SpOG(K) menambahkan bahwa Kemenkes telah membangun 61 rumah sakit pratama di seluruh Indonesia.
Sementera itu ketua Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) IDI dr Poedjo Hartono SpOG menyesalkan putusan MA. Alasannya, tidak ada unsur pemaksaan tetapi hanya pengaturan dalam distribusi dokter.
Dokter yang ikut program WKDS pun mendapatkan insentif dari pusat dan daerah. Selain itu, di tempat tujuan juga disiapkan rumah dinas. “Kami pertimbangkan juga keluarga dan jarak asal,” tuturnya.
Praktik di daerah menurutnya bukan berarti tidak bisa praktik. Sejalan dengan yang dikatakan Nila, Poedjo juga menuturkam bahwa ada survei di rumah sakit tujuan. ”Bahkan ada yang tiga bulan kami tarik karena daerah tidak kunjung memiliki alat,” bebernya.
Mantan ketua Perkumpulan Obsetri Ginekologi Indonesia (POGI) itu juga mengatakan bahwa pengiriman dokter spesialis membawa manfaat. Dia mencontohkan di Bawean, Jawa Timur, yang memiliki kemajuan dari sisi kesehatan.
”Angka kematian ibu di sana jadi nol. Ada dokter sepesialis di sana bisa melakukan tindakan medis. Tidak perlu harus dikirim keluar Bawean,” ucap Poedjo. (lyn/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Formasi Dokter Spesialis Tanpa Pelamar, Ini Penyebabnya
Redaktur & Reporter : Soetomo