jpnn.com, BANJARMASIN - Ikatan Dokter Indonesai (IDI) perwakilan Kalsel menyambut gembira kabar yang menyebut MA (Mahkamah Agung) telah membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS).
“Mendengar adanya pembatalan ini, para dokter spesialis di Kalsel mengatakan bersyukur sekali. Memang masih ada minoritas yang menyayangkannya,” ucap Ketua IDI Kalsel, dr M Rudiansyah.
BACA JUGA: Bamsoet Dorong Terus Pencarian Korban yang Belum Ditemukan
Dia mengatakan semangat Perpres itu sebenarnya bagus. Yakni membuat pemerataan dokter-dokter spesialis di seluruh Indonesia. Khsusunya di daerah terpencil yang kadang belum ada dokter spesialisnya.
Namun, yang perlu diingat, sebutnya, wajib kerja para dokter spesialis ini kesannya seperti pemaksaan. Bahkan bertentangan dengan hak asasi manusia.
BACA JUGA: Bela Habib Bahar, Fadli Zon Disebut Membunuh Keadilan
“Patut di ingat, untuk sekolah mendapatkan titel spesialis, para dokter ada yang berdarah-darah mendapatkannya. Ada yang mandiri dengan menggelontorkan dana tak sedikit,” katanya.
Menurutnya, Perpres ini juga bertentangan dengan Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa. “Saya akui, banyak dokter spesialis yang mengeluh terkait Perpres ini. Apalagi mereka yang baru saja lulus,” terangnya.
BACA JUGA: Pengamanan Nataru Gambaran Kesiapan Polri Hadapi Pemilu
Belum lagi terkait dengan kesiapan daerah penugasan, terkait fasilitas yang mampu disediakan. “Belum lagi soal fasilitas. Kalau fasilitasnya tak lengkap. Program ini pun seperti tak ada manfaatnya,” ujar Rudi.
Seperti diketahui, sebagai wujud kehadiran negara dalam memenuhi dan memeratakan pelayanan medik spesialis yang bermutu serta terdistribusi secara merata di seluruh Indonesia, Presiden mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang WKDS dengan menetapkan Perpres No 4 Tahun 2017.
WKDS dicanangkan pemerintah dengan tujuan meratakan distribusi dokter spesialis di seluruh Indonesia.
Keputusan ini kemudian digugat Dokter Ganis Irawan, seorang dokter yang tengah menyelesaikan pendidikan spesialisasinya di Universitas Syah Kuala Banda Aceh, pada 7 September 2018.
Gutatannya atas WKDS akhirnya dimenangkan Mahkamah Agung (MA) pada Selasa (18/12). Dengan demikian para dokter spesialis terbebas dari WKDS yang tak ubah dengan kerja paksa.
Tiga hakim MA yakni Irfan Fachrudin, Is Sudaryono dan Supandi menyatakan Peraturan Presiden Nomor 04 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis itu bertentangan dengan UU Hak Asasi Manusia dan UU tentang pengesahan ketentuan ILO mengenai kerja paksa.
Ganis selaku penggugat (pribadi) mengucapkan rasa syukurnya atas putusan MA. "Kegiatan wajib kerja yang hanya dikenakan ke dokter spesialis sesungguhnya adalah peraturan yang diskriminatif dan berat sebelah. Apapun alasannya. Pendidikan dokter spesialis bukanlah pendidikan dengan ikatan dinas dan juga bukan pendidikan gratis," kata Ganis.
Pendidikan dokter spesialis di luar negeri, lanjutnya, dinilai sebagai pekerjaan dan digaji. Setelah lulus, juga tidak ada wajib kerja. "Di Indonesia aturannya beda sendiri," kata alumni Universitas Diponegoro, Semarang itu.
Selain menggugat melalui pengadilan, Ganis juga telah melaporkan Perpres WKDS itu ke Komnas HAM. Hasilnya, WKDS mengeluarkan rekomendasi bahwa ketentuan itu melanggar HAM. Rekomendasi itu sudah dikirimkan ke Presiden. Tetapi seiring berjalan nya waktu, rekomendasi tersebut tidak pernah dijalankan.
"Kita mengapresiasi putusan MA atas gugatan karena gugatan itu berangkat dari aturan hukum yang berat sebelah yang menimpa kepada satu profesi, yakni dokter spesialis. Mudah-mudahan dalam waktu 90 hari sesudah keputusan diterima Bapak Presiden, maka keputusan ini akan dijalankan," kata Ganis. (mof/ay/ran)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Resmikan Bandara Baru di Sulawesi Tengah
Redaktur & Reporter : Soetomo